Thursday, March 6, 2008

Lidah Yang Terjajah *

Oleh Tri Hadiyanto Sasongko

Selamat Datang Penjajah Baru


Telah banyak studi yang menunjukkan bahwa kapitalisme dan komersialisasi pangan** telah menembus ke ranah konsumsi. Sebagai contoh, Ritzer (1996), Setiawan (2003), Baudrillard (2004), Schlosser (2004), dan Jatmiko (ed) (2005) memaparkan bahwa telah terjadi proses kapitalisme dan komersialiasi komoditi*** pangan yang dimotori oleh berbagai perusahaan multinasional. Salah satu contoh yang paling nyata adalah menjamurnya berbagai resoran siap saji di seluruh penjuru dunia. Kini hampir tidak ada kota-kota besar di berbagai negara yang tidak disinggahi oleh McDonald’s, Kentucky Fried Chicken dan sebagainya. Contoh lainnya adalah makin membanjirnya produk pangan instan mulai dari toko swalayan hingga pasar tradisional. 


Salah satu kunci sukses kapitalisme dan komersialisasi pangan adalah homogenitas atau keseragaman. Bagi restoran siap saji, homogenitas dalam konteks ini berarti mereka memberikan produk dan layanan yang sama persis pada lokasi yang beraneka macam (Schlosser, 2004: 6-7). Dengan demikian, seseorang akan mendapatkan rasa yang sama, pelayanan yang sama, hingga suasana yang sama di mana pun ia makan. Bagi produk pangan instan homogenitas juga menjadi senjata utama kaum kapitalis. Produk pangan instan biasanya dilengkapi dengan berbagai bumbu yang telah ditakar ukurannya serta petunjuk cara memasaknya. Hal ini meminimalkan terjadinya perbedaan pemasakan dan penyajian yang biasa terjadi pada pangan tradisional. 

Homogenitas ini, menyebabkan orang susah sekali mendapatkan pangan asli yang benar-benar berbeda yang masih memiliki karakter aslinya (Ritzer, 1996: 136-137). Tanpa sadar, banyak orang yang telah membiarkan lidahnya terjajah oleh berbagai pangan cepat saji dan instan. Salah satu cirinya adalah ketika orang mulai terbiasa membeli dan memakan panganan (terutama pangan cepat saji) yang memiliki rasa dan aroma yang seragam dan mulai melupakan keanekaragaman cita rasa dan aroma panganan tradisional yang kaya akan berbagai bumbu tradisional. Yang paling mengerikan, penjajahan versi kapitalisme pangan kini tidak datang melalui tindakan yang represif dan melalui todongan senjata, tetapi melalui bujuk rayu yang manis (namun beracun) melalui pencitraan (iklan) besar-besaran di media massa.

Homogenisasi adalah “Budaya Baru”
Para penjajah baru yang bernama homogenisasi pangan masuk melalui pencitraan komoditi (iklan) yang ditawarkan melalui berbagai iklan di media massa. Salah satu citra yang ditawarkan adalah citra modern dan gaya hidup baru. Ada penciptaan “norma baru” di masyarakat seolah-olah membuat orang menjadi begitu udik, kampungan dan ketinggalan zaman bila belum pernah menyantap pizza, hamburger, serta berbagai produk instan lainnya. Pangan siap saji dan instan dianggap pangan elite oleh sebagian besar masyarakat kita (Khudori, 2005: 85). Kapitalisme industri pangan memang sangat lihai. Mereka berhasil “menciptakan kebudayaan”. Makan, bukan hanya urusan perut, melainkan juga gaya hidup (Redana, 1997). Dengan menyantap pangan siap saji atau produk instan konsumen bukan hanya akan terasa kenyang, namun juga akan terdongkrak kelas sosialnya (karena mampu menyantap “pangan elite”).

Pola makan di kota besar berubah dari pola tradisional yang banyak mengandung karbohidrat dan serat ke arah pola makan dengan kandungan protein, lemak, dan garam yang tinggi tetapi miskin serat. Melalui promosi besar-besaran di media masa, pola konsumsi dijajah oleh kapitalisme. Kredonya adalah kepraktisan. Tidaklah mengherankan bila kini banyak produk instan menjamur di mana-mana. Produk mie instan misalnya, disinyalir oleh Eviandaru dkk, (2001) telah muncul sebagai pangan alternatif pengganti nasi. Hal tersebut didasari pada suatu kenyataan bahwa telah terjadi penurunan konsumsi beras pada masyarakat berpenghasilan relatif tinggi karena beras telah menjadi bahan inferior (Amang dan Sawit, 2001). Bila kini kita masih mendengar istilah “belum makan jika belum makan nasi,” bukan tidak mungkin kelak kita akan mendengar istilah “belum makan jika belum makan mi instan”

Homogenisasi pangan tersebut pada akhirnya menciptakan homogenisasi pola makan. Hal ini telah terjadi pada era Orde Baru dengan program pemberasan nasional yang dimulai sejalan dengan dibentuknya Bulog pada tahun 1966. Keanekaragaman pola makan yang khas dari berbagai suku dan daerah di Indonesia secara perlahan menghilang dan bergeser ke satu jenis pangan, yaitu beras. Beras, yang kemudian diolah menjadi nasi, pada perkembangannya menjadi “kultus”. Pepatah mencari sesuap nasi menunjukkan bahwa nasi memiliki nilai yang sangat tinggi di masyarakat dan dianalogikan dengan rezeki. 

Mi Instan: Konstruksi Modernitas
Khusus untuk mi instan, produk ini memang bukan hanya menjadi idola bagi konsumen, namun juga menjadi primadona bagi para produsen. Alasannya? Jelas karena besarnya keuntungan yang dijanjikan. Contohnya adalah PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Per 30 September 2007 Indofood telah meraih consolidated net sales mencapai Rp19.67 triliun, 22.7 % lebih tinggi bila dibandingkan dengan Rp16.04 triliun pada tahun lalu. Tak mengherankan jika dalam sepuluh tahun terakhir, konsumsi bahan pangan dari terigu meningkat sangat pesat. Indonesia mengimpor gandum sekitar 4 ton setahun. Konsumsi terigu itu dipakai untuk industri bahan pangan bakmi basah (32%), mi instan (20%), biscuit (20%), roti (15%), mi telor (8%) dan sisanya 5% dikonsumsi langsung oleh masyarakat. (Khudori, 2005: 160-161).

Populernya mi instant disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya adalah gencarnya pencitraan produk tersebut melalui iklan di media massa. Lewat pencitraan visual, sebuah produk mi instan mengklaim dirinya sebagai makanan keluarga. Iklan tersebut menampilkan sosok-sosok yang mewakili berbagai kalangan, mulai dari seorang kiai, anak-anak, wanita karier, buruh bangunan, mahasiswa, petani dan sebagainya. Pencitraan tersebut merupakan upaya untuk mengukuhkan produknya sebagai makanan yang “menembus batas kelas sosial”. Makanan yang tidak memalukan dikonsumsi kelas atas, sekaligus terjangkau oleh kelas bawah. 

Pengiklanan tersebut secara khusus mampu menanamkan beragam citra pada produk yang ditawarkan yang memanipulasi konsumen untuk terus-menerus menggunakan produk mereka (Featherstone, 2001: 33-34). Sebuah iklan mi instan lainnya di televisi sangat menekankan pada sisi kepraktisan dan siap disantap tanpa persiapan waktu yang lama. Mi instan juga mudah disajikan oleh siapa saja, termasuk oleh anak lelaki, sehingga tidak mengharuskan perempuan untuk menghabiskan waktunya bekerja di dapur, sebagaimana dikonstruksikan oleh budaya patriarki selama ini. Perpendekan cost waktu ini membuat perempuan bisa mengalokasikan waktu dan tenaga untuk kegiatan lain guna memperbesar benefit. Bagi kaum miskin, efektivitas waktu ini sering menjadi pertimbangan utama. Meskipun terkesan merupakan suatu pemborosan, namun efektivitas waktu yang didapat membuat kaum miskin (terutama perempuan) dapat mengalokasikan waktunya untuk kegiatan lain yang menghasilkan uang. 

Hal yang paling dahsyat adalah munculnya kecenderungan pergeseran pola makan dari beras ke gandum. Dalam survei yang dilakukan oleh Eviandaru dkk (2001) menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran pola makan dari nasi ke panganan non nasi. Sebanyak 24,9% responden menyatakan bahwa nasi atau bukan nasi, bergizi atau tidak bergizi, sudah tidak lagi menjadi pertimbangan utama. Para responden mengakui bahwa kandungan gizi mi instan masih kurang, sehingga 49,5% responden masih perlu menambahkan telur atau daging dalam penyajiannya. Bahkan setengah dari mereka sadar bahwa mengkonsumsi mi instan berisiko terhadap kesehatan lantaran bahan pengawet di dalamnya. Anehnya, mereka justru menjadikannya sebagai makanan pokok sehari-hari (Eviandaru dkk, 2001). Dalam konteks ini alasan yang paling mendasar adalah mengonsumsi mi instan adalah keefisienan, dan kenyang.

Dari sisi daya saing, mi instan dipandang mewakili produk pangan yang modern yang diolah dengan metode yang modern pula. Lewat pencitraan ini mi instan dianggap dan dikonstruksikan memiliki nilai lebih dibandingkan makanan lokal (tradisional) yang diolah secara sederhana. Daya saing mi instan juga tercermin pada minimalisasi risiko salah atau perbedaan penyajian, seperti yang biasa terjadi pada masakan lokal (Khudori, 2005: 166). Homogenisasi ini bukan hanya semakin mempertinggi tingkat ketergantungan desa pada produk-produk dari luar, namun juga telah mematikan produksi panganan tradisional di kawasan tersebut 

*) Diambil dari artikel Jurnal Analisis Sosial Vol 11 No. 1 April 2006 dengan judul Jeratan Pangan Global dengan penulis yang sama
**) Ketika pangan diperjualbelikan untuk menumpuk keuntungan sebesar-besarnya.
***) Komoditi, dapat diartikan sebagai benda-benda yang memiliki nilai ekonomi (Appadurai 1986).

Baca selengkapnya...

Sekarang Saatnya Pemerintah Melindungi Petani

Wawancara dengan Prof. Dr. Ir. Sunarto, MS, Penemu Varietas Kedelai Slamet dan Sindoro


Sekitar bulan Januari 2008 lalu, 5.000 pengusaha tahu tempe di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi berunjuk rasa hari ini di depan Istana Negara, Jalan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Mereka menuntut pemerintah untuk menurunkan harga kedelai. Protes petani dan tak efektifnya penghapusan bea masuk membuat produsen tempe tahu hingga hari ini masih harus membeli kedelai dengan harga mahal.

Setidaknya semua ini menjadi gambaran dari sebuah kebijakan yang terlalu bergantung pada komoditas pertanian impor. Pemerintah belum bisa memenuhi kebutuhan pangan masyarakat secara mandiri. Sebenarnya, kaum akademisi lokal sudah mengembangkan jenis benih kedelai yang bisa dimanfaatkan oleh petani. Salah satunya adalah dosen Jurusan Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Beberapa tahun lalu beliau menemukan varietas kedelai yang bisa tahan ditanam dilahan masam. Namun hal itu belum dimanfaatkan secara maksimal oleh petani. Semua tergantung selera pasar.


Berikut ini cuplikan wawancara eksklusif kru Tegalan dengan sang penemu kedelai varietas Slamet dan varietas Sindoro, Prof. Dr. Ir. Sunarto, MS, yang ditemui di ruang kerjanya yang sederhana dan sesak dengan buku, di Kampus Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Apa yang melatarbelakangi Bapak untuk mengembangkan varietas kedelai Slamet dan Sindoro ini?
Tanah masam di Indonesia sangat luas hingga puluhan juta Ha, itu harus diberdayakan. Tetapi harus diperbaiki dulu karena mengandung aluminium yang bisa menyebabkan keracunan. Tanah tersebut diperbaiki (ameliorasi) dihilangkan sifat fisik dan kimianya, misalnya diberi kapur, pupuk (phosphate). Baru bisa diberdayakan. Kalau tidak diperbaiki kondisinya, tanaman bisa stress. Saya berpikir, apakah ada diantara varietas kedelai yang ada terutama yang memiliki sifat tahan terhadap aluminium. Setelah diteliti ada 1 varietas Dempo (tetua) yang memiliki sifat ketahanan terhadap tanah. Varietas ini kemudian disilangkan dengan varietas Wilis yang memiliki sifat berdaya hasil tinggi untuk mendapatkan keturunan yang baik. Melalui program pemuliaan tanaman diperoleh sejumlah galur harapan. 

Maksudnya?
Dari hasil persilangan dihasilkan beberapa jenis yang memiliki sifat-sifat yang masih berubah. Nah, setelah sifatnya tetap di ambil untuk dilakukan uji mulitilokasi di Sumatra Barat, Lampung, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Tengah dan Timur masing-masing dua lokasi dihasilkan dua bibit unggul di lahan yang ada di Jawa Tengah. Kemudian saya daftarkan ke Badan Benih Nasional Departemen Pertanian yang kemudian dilepas dengan nama kedelai Slamet dan Sindoro. 

Kenapa namanya mengambil dari nama gunung Prof? 
Diambil dari nama gunung karena pada waktu itu tahun 2003 pendaftaran benih harus menggunakan nama gunung. 

Apa kelebihan dari varietas ini?
Kelebihan varietas Slamet bisa ditanam dimana saja, tidak hanya untuk lahan masam. Hasilnya juga lumayan banyak. Varietas Slamet bisa menghasilkan 2,23 ton per hektar, sedangkan varietas Sindoro menghasilkan 2 ton per hektar. 

Sudah didistribusikan dimana saja?
Persoalan distribusi sebenarnya tergantung dengan selera petani. Varietas sudah didistribusikan oleh Departemen Pertanian. Daerah yang memakai varietas ini Bengkulu, Musi (Banyuasin), sebuah LSM di Kalimantan Tengah minta 1 ton untuk ditanam di 25 hektar. Kebumen sudah mulai menanam, tempatnya di Kecamatan Kewarasan, Gombong dan Bulus Pesantren, kemudian Kecamatan Susukan, Banjarnegara dan Pemalang. Banyumas juga sudah. Kemarin minta benih sekitar 5 ton. Untuk persebaran benih masih ada kendala.

Kendalanya apa Prof?
Umumnya petani lebih suka yang umur pendek dan bijinya besar. Padahal hasilnya belum tinggi. Selain itu cara bertaninya mungkin belum pas, entah karena penyuluhnya atau petani yang salah menerapkan. Petani juga tidak biasa menyimpan benih dalam jangka panjang, jadi mereka masih tergantung pada bantuan benih dai pemerintah. Saya juga ikut menyuluhkan tentang penyimpanan benih selama 1 tahun. Pola pikir petani lebih suka menanam daripada menyimpan sendiri, nyari gampangnya. Kualitas kedelai impor juga lebih baik daripada kedelai lokal. 

Apa pendapat Profesor tentang kenaikan harga kedelai sekarang?
Itu tadi, pasar masih tergantung pada kedelai impor yang disukai karena bijinya besar. Efeknya, sewaktu harga impor murah yang diuntungkan adalah pengrajin tempe dan tahu, yang dirugikan adalah petani kedelai. Hal itu membuat petani enggan menanam kedelai karena tidak termotivasi harga. Hanya menjadi tanaman samben (sambilan-Red) saja. Sekarang harga impor naik, yang menjerit pengrajin tempe dan tahu. Petani kedelai memiliki peluang, asal tidak digarap dengan asal-asalan.

Harapan buat petani di wilayah?
Melihat harga yang baik ini, harapan saya petani jangan segan-segan menanam. Dipelihara dengan baik, kena hama juga dikendalikan dan diberi pupuk.

Harapan untuk pemerintah?
Menjaga kestabilan harga kedelai, kestabilan harga itu penting. Kebijakan impor juga dibatasi secara bertahap sambil menunggu peningkatan produksi petani. Lama-kelamaan hapuskan impor, kita swasembada.

Wawancara oleh Andreas Nugroho PS

Baca selengkapnya...

Dusta Membawa Dosa Industri Pangan

Oleh Barid Hardiyanto*

"Ini bibit lokal mas, benihnya bisa ditanam lagi. Kalau yang satu ini buatan pabrik dan benihnya nggak bisa ditanam lagi", ujar salah seorang petani hutan yang menanam jagung menjelaskan kepada saya saat "jalan-jalan" mendukung pekerjaan Serikat Tani Hutan Banyumas-Pekalongan (Stan Balong) membangun jaringan petani hutan se Jawa. Apa yang diungkapkan seorang petani di atas, merupakan cerminan pengalaman yang juga dialami oleh banyak petani lainnya. Benih lokal yang beredar secara turun-temurun dipastikan bisa untuk benih pembibitan. Sebaliknya yang terjadi jika benih tersebut "buatan pabrik". Kenapa hal ini dapat terjadi?

Logika sederhana dari para pengusaha besar; tak ada lain dan tak bukan selain keuntungan. Untuk meraup keuntungan terbesar maka jalan terbaik adalah memunculkan ketergantungan konsumen. Dengan ketergantungan itulah, maka konsumen ’dipaksa’ untuk membeli barang yang dijual pengusaha tersebut. Hal ini akan tetap bertahan dan si pengusaha tentunya akan untung besar.

Ketergantungan hanyalah sekelumit dari dosa dari dusta industri pangan. Dalam buku "Dusta Industri Pangan - Penelusuran Jejak Monsanto" (Isabelle Delforge: 2003) dijelaskan berbagai macam dusta –baca : dosa-. Apa yang dilakukan oleh Mosanta dengan kata lain adalah meminggirkan petani. Dalam buku tersebut diceritakan, Pertama, kebohongan klaim. Klaim Monsanto dan juga perusahaan-perusahaan besar lain yang juga "disentuh" dalam buku tersebut mengatakan bahwa mereka bekerja untuk menyediakan pangan untuk dunia, untuk masa depan, untuk pemenuhan pangan, untuk panen yang berlimpah, untuk tanaman dan hasil yang lebih baik, dan lain-lain: "Saat ini, ada makanan dan minuman untuk semua orang. Produksi global cukup untuk diperoleh oleh setiap manusia hampir dua kilogram makanan setiap hari: 1 kilogram sereal, sayur dan bijian, lima ratus gram daging, susu dan telur, serta lima ratus gram buah dan sayur. Semua itu cukup untuk membuat semua penduduk dunia kenyang. Sepanjang sejarah, tak pernah komunitas manusia mendapatkan makanan sebanyak itu setiap orangnya selain pada awal abad 21 ini [hal.:194]". Ironisnya: "Saat ini, planet bumi memiliki 6 milyar penduduk. Di antaranya, hampir 800 juta mengalami kelaparan dan dua milyar menghadapi kekurangan pangan [hal.:194].". Penyebabnya: "Sekitar 1,22 milyar orang diperkirakan berpenghasilan kurang dari satu dolar setiap harinya. Penyebab terbesar kemiskinan mereka, justru diperkirakan akibat tergusur dari alat produksi pangan, seperti tanah, air, kredit, dan akses produksi –yang sekarang dikuasai oleh industri pangan, pen.[hal.: xxii]."

Kedua, pematenan hak. Bibit tanaman yang telah direkayasa secara genetika dipatenkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Hal ini melupakan begitu saja jasa dan hasil kerja bergenerasi-generasi petani selama berabad-abad untuk menyeleksi, mengembangkan, membudidayakan, dan menjaga varietas-varietas tanaman yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia -tanpa peduli pada urusan hak paten-. Akibat hak paten ini: "Di Kanada, perusahaan itu memberikan denda 115 dolar per acre, atau sekitar 194 Euro per hektar untuk kasus petani yang menggunakan benih tanpa membeli. Pada tahun 1996, Monsanto bahkan telah membayangkan untuk menginspeksi selama tiga tahun ladang-ladang dan gudang-gudang pertanian [hal.: 9]."


Ketiga, polusi dan racun genetika. Rekayasa genetik yang dilakukan oleh industri pangan akan berakibat pada timbulnya polusi dan racun genetik. "Karena angin, serbuk sari itu dengan mudah berpindah dalam jarak yang mengesankan. Organisasi Les Amis de la Terre menemukan serbuk sari colza transgenik di dalam sarang lebah yang berjarak 5 km dari ladangnya di mana colza itu berasal. Sekali di dalam, gen-gen pengembara itu dapat ditemukan di dalam spesies berbeda. Tanaman lobak liar menjadi resistan terhadap herbisida setelah berada di dekat colza yang resistan terhadap herbisida itu. Penemuan lain di Inggris juga telah memperkuat kekhawatiran melihat polusi genetika yang tak terkendali berlipat ganda [hal.:43]." Maka jangan heran jika Roundup Ready produksi Monsanto mengakibatkan: "gangguan kesehatan serius pada para pekerja yang menanganinya (iritasi pada kulit, rasa mual, serangan pada paru-paru), dan herbisida itu dalam jangka panjang akan meracuni makanan yang diproduksi. Pada bulan Maret 1999, peneliti-peneliti Swedia menyatakan bahwa herbisida itu meningkatkan risiko kanker dan merekomendasikan studi epidemiologik untuk masalah tersebut (hal.: 37]."

Sekali lagi, tulisan di atas hanyalah sebagian saja dari dusta-dosa yang dilakukan industri pangan. Dan seperti yang kita ketahui bersama yang akhirnya banyak mengalami keterpurukan adalah petani (Indonesia). Lantas?
Nampaknya ungkapan petani berikut ini bisa menjadi rujukan: "... Kami menolak teknologi, sebagaimana halnya dengan bio-teknologi, ketika ia bertujuan untuk memperbudak para petani dan mengisi kantung perusahaan-perusahaan multinasional! [hal.:181]."

* Direktur Eksekutif "Prakarsa" Learning Centre (PLC), Purwokerto

Baca selengkapnya...

Prahara Melambungnya Harga Kedelai; Kegagalan Kebijakan Pangan yang Mengancam Pemenuhan Gizi Rakyat

Oleh Andreas Nugroho PS

Swasembada kedelai pada tahun 1992 dengan produksi nasional yang mencapai 1,8 juta ton seakan-akan tinggal cerita, karena tidak ada perhatian dari pemerintah untuk mengamankan harganya. Produksi kedelai terus menurun dari tahun ke tahun.

Indonesia memiliki sumber karbohidrat dan protein yang sangat beragam dan sangat banyak yang dapat dimanfaatkan untuk pangan rakyat. Namun, ketidakseriusan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat secara mandiri menyebabkan ketergantungan yang luar biasa terhadap bahan pangan impor.
Kenaikan harga sejumlah bahan pangan yang merupakan sumber protein seperti tempe, tahu, telur dan susu saat ini berdampak pada meningkatnya jumlah masyarakat yang mengalami gizi buruk.
Hal ini merupakan peringatan bagi pemerintah untuk memperhatikan tingkat kecukupan gizi masyarakat. Jika kondisi tersebut dibiarkan, maka dalam jangka panjang akan menghasilkan generasi yang pertumbuhan fisik maupun kecerdasannya buruk. Konsumsi protein hewani yang terdapat dalam susu, daging, telur dan ikan per kapita per tahun rakyat Indonesia perlu segera ditingkatkan karena sangat menentukan kualitas pertumbuhan fisik dan kecerdasan bangsa.

Kondisi tersebut diperparah dengan masuknya kedelai impor dari AS yang bebas bea masuk, sehingga kedelai petani semakin terpuruk karena tak mampu bersaing lagi. Dahulu di era tahun 1980-an, pengrajin tempe dan tahu lebih menyukai kedelai lokal. Seiring masuknya kedelai impor lama-kelamaan pengrajin lebih menyukai kedelai impor. Pada tahun 1999, harga kedelai dalam negeri sebesar Rp2.300/kg sementara kedelai dari AS masuk ke Indonesia dengan bea masuk impor nol persen sehingga bisa dijual sebesar Rp1.700/kg. Pada tahun 1992 luas lahan pertanaman kedelai di tanah air mencapai 1,4 juta ha dengan produksi 1,8 juta ton. Namun saat ini hanya 600 ribu ha dengan produksi 600 ribu ton.

Sema’un, ketua Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (PRIMKOPTI) wilayah Banyumas mengakui kesulitan yang dialami oleh pengrajin tahu tempe di kabupaten Banyumas. “Kondisi pengrajin tempe agak berkurang kesejahteraannya. Saya prihatin dengan kenaikan harga kedelai yang mengakibatkan produksi menurun,” ujar bapak 10 anak ini.Semenjak harga kedelai merambat naik pada pertengahan tahun 2007 lalu, produksi industri tempe secara perlahan menurun. Pengrajin tempe di kawasan Pliken ini, mengungkapkan hal serupa. Menurut dia, jika memaksa memproduksi tempe dalam jumlah besar, kerugian yang akan dialami produsen juga akan semakin banyak. "Semua pengrajin di Pliken menurunkan omzetnya, jika tidak bisa bangkrut," katanya. Dari sekitar seribuan industri tahu tempe yang terdapat di kawasan Banyumas pada tahun 1980-an, kini hanya tersisa sekitar tujuh ratus pengrajin.
Beliau mengungkapkan bahwa pada saat subsidi untuk pengrajin dicabut pada tahun 1997 menyebabkan koperasi tak terurus sampai sekarang. Akibatnya, distribusi bahan baku tidak jelas karena koperasi sempat vacuum. Bahkan gedung kantor koperasi di kawasan Dukuh Waluh, Purwokerto yang jarang digunakan pun disewakan untuk kepentingan salah satu partai.

Ketergantungan kedelai impor
Semula kenaikan harga kedelai impor mencapai Rp 7.800 per kg-nya. Namun saat ini turun menjadi Rp7.600 per kg. Sedangkan harga kedelai lokal dari semula Rp 7.600 per kg, saat ini turun menjadi Rp7.400 per kg. “Impor bahan baku juga harus dari Amerika, tidak seperti dulu bisa impor dari Cina atau negara lain,” jelas Pak Ma’un. Menurut bapak berusia 80 tahun ini, pengrajin tidak begitu paham dengan penyebab kondisi ini. Mereka hanya mengikuti perkembangan dari pemberitaan di televisi tentang kenaikan harga kedelai. “Ini karena masalah globalisasi. Njenengan lebih ngerti lah (Anda pasti lebih mengerti; red),” imbuhnya.

Ketergantungan terhadap kedelai impor bertambah parah, ketika kedelai lokal juga produksinya berkurang. Indikasinya karena harga di pasaran yang tidak seimbang dengan biaya produksi, pasokan kedelai lokal tidak cukup untuk memenuhi permintaan pengrajin. Menurut guru besar Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Prof. Dr. Ir. Sunarto, MS, berkurangnya pasokan kedelai lokal ini sebagai akibat dari menurunnya minat petani menanam kedelai. ”Petani enggan menanam kedelai karena tidak termotivasi harga. Hanya menjadi tanaman samben saja,” ujarnya.
Kualitas kedelai impor juga lebih baik daripada kedelai lokal. Sewaktu harga impor murah yang diuntungkan adalah pengrajin tempe dan tahu, yang dirugikan adalah petani kedelai. Hal itu membuat petani enggan menanam kedelai karena tidak termotivasi harga. Pada umumnya petani lebih menyukai varietas kedelai yang umur pendek dan bijinya besar. Petani juga tidak biasa menyimpan benih dalam jangka panjang (1 tahun) jadi mereka masih tergantung pada bantuan benih dari pemerintah. Ketika harga kedelai impor naik, yang menjerit pengrajin tempe dan tahu. Petani kedelai memiliki peluang untuk meningkatkan produksinya.
Di sisi lain, disitribusi kedelai lokal juga buruk sehingga kurang mencukupi pasokan bahan baku bagi pengrajin tahu tempe. “Saya pernah kulakan sampai ke daerah Gunung Kidul (DI Yogyakarta) untuk memenuhi kebutuhan,” ujar Pak Ma’un menimpali.

Pemerintah gagap menanggapi
Dalam berita yang dilansir dari liputan6.com, beberapa petani kedelai di Demak, Jawa Tengah, Kamis (24/1), membakar hasil panen mereka. Ini sebagai bentuk protes atas kebijakan pemerintah yang menetapkan harga kedelai di tingkat petani sebesar Rp 5.500 per kilogram. Harga ini dianggap petani terlalu rendah sebab tidak sebanding dengan ongkos produksi. Mereka berharap harga ideal adalah Rp 6.000 per kilogram sehingga bisa memperoleh keuntungan di saat kedelai mahal.
Protes petani dan tak efektifnya penghapusan bea masuk membuat produsen tempe tahu hingga hari ini masih harus membeli kedelai dengan harga mahal. Setidaknya semua ini menjadi gambaran dari sebuah kebijakan yang terlalu bergantung pada komoditas pertanian impor. Unjuk rasa petani kedelai ini menjadi dilema bagi pemerintah sehingga serba salah dalam bertindak. Mematok harga kedelai dianggap terlalu murah oleh petani. Padahal, pemerintah turut bertanggung jawab menjaga harga kedelai agar produsen tempe tahu tetap berproduksi. Sudah saatnya pemerintah kembali memperhatikan masalah pangan bagi masyarakat.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri yakni dengan melakukan perluasan lahan pertanaman komoditas pangan tersebut. Khusus untuk kedelai pemerintah harus segera membuat kebijakan-kebijakan yang efektif. Pertama, melakukan intervensi yakni pengelolaan pajak atau bea masuk dan pengelolaan hambatan perdagangan.
Kedua, melalui operasi pasar. Operasi pasar juga sempat dilakukan untuk minyak goreng. Khusus untuk Bulog pemerintah meminta Bulog untuk bersiap-siap jika suatu saat mendapat penugasan khusus untuk menyeimbangkan pasar kedelai. Bulog harus membangun lagi network-nya, membangun kerja sama dengan supllier, karena untuk bentuk persiapannya dia harus listing di pasar komoditas supaya bisa membiayai minimum 6 bulan untuk persiapan itu. Bulog harus mengimpor kedelai maka diperlukan dana sekitar Rp 200 miliar dengan subsidi Rp 1.000 per kg.

Namun upaya pemberian subsidi tersebut masih terhambat alur birokrasi. Pihak Kementrian Koperasi dan UMKM masih melangkah dalam tahap pendataan pengrajin tahu tempe di daerah-daerah. “Saya sempat didatangi oleh orang dari Kementrian Koperasi dan UMKM untuk di data sebagai syarat untuk pencairan subsidi,” cerita Pak Semaun, pengrajin tempe dari Pliken, Banyumas.

Baca selengkapnya...

Pangan Sehat nan Ramah Lingkungan

Oleh Wiwiek Irnawati

Modernisasi ternyata tidak selalu menguntungkan bagi kesehatan. Kemudahan teknologi bisa menyebabkan manusia malas bergerak, sehingga mudah terjadi penumpukan lemak yang berdampak kepada berbagai penyakit. Meningkatnya daya beli memudahkan akses terhadap berbagai menu makanan mewah yang justru tinggi lemak, protein, gula, dan garam yang menimbulkan berbagai penyakit degeneratif. Tubuh kita merupakan refleksi nyata dari apa yang kita makan. Dengan makanan sehat, dihasilkan tubuh yang sehat pula.

Berdasarkan kenyataan itu, kini dunia berpaling kembali ke pangan organik. Telah terbukti, pangan yang dihasilkan melalui cara bertani tradisional (alami) mengandung nilai gizi, rasa, dan tingkat keamanan yang jauh lebih baik daripada pola pertanian modern yang banyak menggunakan senyawa-senyawa kimia.

Meskipun pangan organik (organic foods) merupakan ungkapan yang salah, sebab semua makanan baik nabati maupun hewani yang berasal dari makhluk hidup dan mengandung unsur karbon didalamnya dapat dikatakan sebagai pangan organik. Namun demikian sepertinya masyarakat sudah familiar dengan istilah dan definisi itu.

Pangan organik dapat dikatakan sebagai pangan yang diproduksi dengan sedikit mungkin atau bebas sama sekali dari unsur-unsur kimia. Seperti penggunaan pupuk, pestisida, dan obat-obatan. Pupuk yang digunakan pun terbuat dari bahan-bahan alami, berupa kotoran hewan dan kompos, sedangkan pestisidanya sendiri menggunakan bahan yang terbuat dari tembakau, buah maja, atau daun sereh. Lebih jauhnya lagi mengenai pangan organic yakni yang memenuhi pedoman persyaratan internasional yang ditentukan, misalnya tidak menggunakan bibit rekayasa genetika atau GMO (Genetic Modified Organism) dan teknologi iradiasi untuk mengawetkan produk. Dengan demikian semua proses produksi dilakukan secara alami, dari budi daya hingga pengolahannya.

Peertanian Organik dan Kedaulatan Petani

Tetapi lebih jauhnya lagi, menurut Baridul Islam, mantan staf LPPLSH, pangan organik yang tentunya diproduksi oleh petani organik ini bertujuan untuk membangun kedaulatan petani. Dimana seperti yang kita ketahui selama ini petani selalu bergantung pada kepentingan modal-modal diluar sana. Lalu dengan bertani secara organik, para petani ini mampu mengontrol sendiri apa yang mereka lakukan. Artinya tak lagi tergantung oleh pihak manapun.

Kedua, bentuk perlawanan terhadap zat kimia bagi lingkungan. Karena seperti yang juga telah diketahui selama ini, penggunan bahan kimia yang terus-menerus dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Terutama pengaruhnya terhadap tanah dan senyawa disekitarnya sendiri.

Ketiga, adalah perlawanan terhadap kepentingan-kepentingan kapital (modal). Tersedianya pupuk urea, SP46, bahkan lima panca usaha tani yang dicanangkan pemerintah pada masa orde baru adalah bentuk-bentuk dari kepentingan ini. Dan kalau mau dikaitkan lagi, maka ini tentunya terkait sekali dengan masalah kedaulatan petani, seperti yang disebutkan diatas.

Faktanya kesadaran petani Indonesia akan kecenderungan pangan organik ini masih rendah. Apalagi bila melihat keuntungan-keuntungan nya. Misalnya apa yang di kandung dalam sayur dan buah, yakni zat besi, seng, kalsium, dan fosfor yang dapat mencegah serangan radikal bebas dan berbagai jenis kanker. Kecenderungan menggunakan pestisida kimia secara berlebihan diluar standar yang telah ditetapkan. Sehingga membuat beberapa hasil penelitian menunjukkan, masih banyak produk pertanian Indonesia yang mengandung residu pestisida di atas batas maksimum.

Masih tingginya kadar pestisida kimia pada produk pertanian di Indonesia menyebabkan masih sulitnya produk itu sendiri untuk dipasarkan ke mancanegara. Mengapa ini terjadi, padahal ke depan, semua produk pertanian harus mendapat sertifikat organik? Terlebih lagi untuk daerah Jawa Tengah sendiri, sosialisasinya telah dilakukan dari Bumiayu, Tambak Sogra (Purwokerto), hingga Purworejo.

Tantangan Produksi Pangan Organik
Alasan yang kemudian mengikuti pertanyaan diatas adalah, Condro Wibowo, Msi, selaku Kapuslit pangan dan gizi, Lemlit (Lembaga Penelitian) Unsoed, mengatakan petani belum terbiasa dengan cara ini (pertanian organik), lalu ketersediaan pupuk organik belum seperti pupuk-pupuk kimia. Meskipun mahal, pupuk-pupuk kimia ini selalu tersedia dipasaran. Tidak seperti pupuk organik yang memang harus produksi sendiri, dan ini memakan waktu yang agak lama (sekitar 2 minggu). Kemudian yang terakhir adalah pasar yang menyerap. Karena harga produk hasil pertanian organik ini cenderung lebih mahal, maka pangsanya pun terbatas.

Bahkan hasil panen organik dari Lemlit Unsoed sebagian di kirim ke Yogi International House, pusat makanan organik yang masih mentah maupun yang sudah jadi asal Kanada yang perwakilannya ada di Jakarta. Mahalnya pangan organik ini menurut Condro Wibowo lagi, tak terlepas dari produksinya yang masih sedikit. “ Logika ekonomi saja yang dipakai, makin sedikit barang kan makin mahal”, ujarnya menjelaskan.

Oleh karena itu pemasarannya pun belum bisa sampai ke masyarakat luas, sebab petani masih enggan dengan mekanisme ini (pertanian organik). Apalagi bila melihat fakta gagal panen yang lebih potensial ketimbang pertanian ala chemical. Dengan logika ini saja, dapat dilihat alasan mengapa hasil dari pertanian organik jadi lebih mahal daripada pertanian chemical. Imbasnya akhirnya yang dapat menjangkau pun hanya masyarakat yang berada.

Lebih memprihatinkan lagi, para petani organik ini sendiri sebagian masih belum bisa mengkonsumsi produknya sendiri terkait masalah harga tadi. Petani-petani ini biasanya masih mengkonsumsi barang yang ada dipasaran sebab harganya lebih murah. Dan menurut mereka sebagian uangnya dapat memenuhi kebutuhan yang lain.

Semestinya hal ini bisa saja tak terjadi apabila sebagian besar petani sadar akan pentingnya pertanian organik ini, dan berbondong-bondong beralih kesana. Selain manfaat-manfaatnya sudah terlihat seperti diatas, biayanya produksinya pun lebih sedikit. Tetapi ini memang membutuhkan waktu yang lama (sekitar 7 tahunan) untuk mencapai taraf itu mengingat tanah-tanah petani ini sudah berpuluh-puluh tahu terdzalimi oleh bahan-bahan kimia.

Pangan Sehat dan Kesejahteraan
Dr. Ir. Made Astawan, dosen jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB dalam Kompas Kamis 27 Desember 2001, mengatakan dalam jangka panjang, harga pangan organik akhirnya menjadi lebih murah karena biaya produksi menurun. Semua itu akan berdampak pada meningkatnya taraf kesehatan, usia harapan hidup, dan tentu saja produktivitas kerja. Negara juga menghemat devisa yang selama ini digunakan untuk membeli pupuk dan pestisida kimiawi.

Tentunya ini butuh dukungan dari semua pihak, tak hanya petaninya saja namun juga masyarakat, bahkan negara. Karena yang diuntungkan dari program ini tak hanya petani saja melainkan semua pihak yang terkait seperti yang disebutkan tadi. Program sosisalisasi pentingnya pertanian organik ini semestinya lebih digalakan lagi, pihak yang berkepentingan dan terkait menjaadi salah satu yang harus bertanggung jawab atas hal ini. Meskipun sebagian telah melakukan tanggung jawabnya itu, namun sepertinya kepedulian terhadap petani organik-nya sendiri masih kurang.

Ini yang kemudian perlu perbaikan yang lebih signifikan. Artinya subsidi bagi petani jenis ini harusnya lebih digalakan juga, agar dapat menunjang hidup petani itu sendiri. Sehingga dapat menunjang kehidupan masyarakat luas juga. Sebab ada asumsi yang mengatakan bahwa pangan sehat adalah hak semua orang.

Baca selengkapnya...

Go Organic!; Tren Kembali ke Alam dalam Produksi Pertanian

Oleh : Widoro dan Andreas Nugroho PS

Bagi orang yang ingin hidup sehat, tentunya harus mengkomsumsi makanan yang sehat bagi tubuh. Pangan sehat tidak hanya persoalan empat sehat lima sempurna, akan tetapi juga pangan yang layak konsumsi. Artinya tidak hanya mengandung zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi terbebas dari zat yang berbahaya bagi tubuh manusia. Namun, hal ini bukanlah yang mudah karena menyangkut bagaimana bahan makanan tersebut di produksi.

Saat ini, banyak produsen pangan yang dalam proses produksi mengabaikan unsur kesehatan bagi tubuh manusia. Produsen pangan lebih mengedepankan kuantitas dan daya tarik saat penyajiannya. Penyebab utamanya adalah tuntutan pasar, dimana bahan pangan telah menjadi komoditi ekonomi yang menjanjikan keuntungan berlipat bagi produsennya. Sementara kebutuhan akan pangan saat ini bukan saja kebutuhan pokok, akan tetapi juga cita rasa dan gengsi bagi pengkomsumsi.

Di sisi lain, ongkos produksi bahan makanan terutama bahan makanan pokok terus beranjak naik. Hal ini akibat lahan pertanian talah dipacu untuk terus berproduksi menggunakan benih tanaman rekayasa dan obat-obatan kimia. Namun, kita terlambat untuk menyadarinya. Cara produksi bahan makanan yang demikian menghasilkan bahan makanan yang tidaklah sehat bagi tubuh manusia. Bila dikomsumsi secara terus-menerus dalam jangka waktu tertentu, karena ikut larutnya residu-residu kimia buatan dalam tubuh manusia.

Kondisi tersebut diperparah maraknya bahan makanan kemasan, yang tentunya tidak lebih baik dari bahan makan yang diproduksi dengan model pertanian kimia. Petani sebagai produsen pangan pokok bagi kita masih berkutat dengan ’kemalasan’ untuk merubah cara produksinya yang menghamburkan bahan kimia buatan pabrik. Butuh keyakinan dan perjuangan keras untuk merubah itu semua.

Di negara lain, masyarakatnya mulai berpaling kembali ke pangan sehat terbukti dari data yang diperoleh dari Jepang tingkat penjualan produk pangan organik di Australia meningkat hingga USD 1,6 miliar atau naik 30% PAD tahun 2004. Di Jepang naik hingga USD 16 miliar. Melihat kenyataan tersebut, beberapa lembaga di kabupaten Banyumas yang melakukan pengembangan ke arah pertanian dengan memproduksi pangan yang sehat.

Gatra Mandiri
Gatra Mandiri sebuah lembaga Non-Profit telah memulai untuk membangun semangat petani merubah kondisi tersebut. Menurut Nasruddin, direktur Gatra Mandiri mengungkapkan Filosofinya pertanian organik adalah kemandirian petani dengan meningkatkan sarana produksi agar tidak tergantung dengan pihak lain. “Selama ini petani selalu menjadi objek penderita dari siklus pangan”, tegasnya. Biaya produksi mahal, sedang harga hasil panen murah.
Kedua, kondisi tanah negeri yang sudah parah, karena penggunaan pupuk kimia yang merusak tanah. “Dulu tanah di sawah dalamnya sedengkul, sekarang dibawah dengkul. 30 tahun kemudian berapa?” ujarnya bersemangat. Berlandas pada analisa dan pemahamnya hal tersebut adalah salah satu skenario kapitralisme global. Lahan menjadi tidak produktif, selanjutnya dijual dengan murah dan lahan pertanian-pun beralih fungsi menjadi lahan perumahan atau industri. Akibatnya produksi pangan menurun dan selanjutnya impor bahan makanan pokok adalah jawaban mengimpor pilihan terakhir pemerintah.
Oleh karena itu, Gatra mandiri mengajak ptani untuk kembali mengolah dengan tanah cara organik. Menurutnya kesalahan masa lalu adalah penggunaan pupuk kimia yang membunuh mirkro organisme yang ada di tanah. Penggunaan pupuk kimia hanya merangsang pertumbuhan, tidak menyuburkan tanah. Pupuk organik digunakan untuk memberi makan mikro organisme di dalam tanah, untuk mengembalikan kesuburan tanah.
Sebagai langkah awal, Gatra Mandiri berusaha merubah pola pikir di petani. Hal ini dilakukan karena masih banyak petani yang menggarap lahan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. “Untuk mengarah ke pertanian organik harus dilakukan secara bertahap”, ungkap pria berkacamata ini.

Kompleet (Komunitas Peduli Slamet)
Kompleet memulai pengembangan ke arah gerakan pertanian lestari sejak tahun 2002. Pilihan gerakan tersebut dilatarbelakangi kondisi petani sebagai produsen pangan tetap miskin, tetapi pelaku pasar makmur dan kaya raya. Kondisi berikutnya, pangan lokal yang juga pangan alternatif semakin menghilang. Hal tersebut berimbas pada ketahanan pangan.
Posisi petani harus dikembalikan sebagai produsen yang sesungguhnya dan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pupuk kimia. “Sebelum kita belum ngomong soal pangan sehat tetapi bagaimana caranya memerdekakan petani yaitu melepaskan ketergantungan”, ujar Mas Kuncung, Direktur Kompleet.
Keunggulan dari produk Kompleet adalah harga yang rasional, bisa di akses oleh semua orang, karena makanan sehat memang hak semua orang. Menurut Laki-laki bernama lengkap Dani Armanto ini sementara lembaga baru dalam tahap pengorganisasian. Pada satu sisi, Kompleet membangun kelembagaan dan manajemennya produksi, di wilayah lain Bumi Arta sebagai CV yang memproduksi pangan sehat. “Sementara waktu baru ngomong soal produksi, Bumi Arta sebagai CV yang memproduksi protein yang sehat dalam jangka panjang,”. Tujuan yang ingin diperoleh adalah petani yang mandiri. “Efek positif yang diharapkan kemudian yaitu sistem pemasaran yang sehat, petani juga sehat, lingkungan termasuk lahan dan sistem irigasinya juga sehat”’ ujarnya menutup pembicaraan.

Lembaga Penelitian Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman (Lemlit Unsoed)
Hampir serupa Lemlit Unsoed, Purwokerto juga memberikan kontribusinya bagi pertanian organik. Lemlit Unsoed mempunyai program pengembangan ke arah produksi pangan sehat sekaligus strategi pemasaran. Hasil panen organik dari Lemlit Unsoed-pun sebagian dikirim ke Yogi International House, pusat makanan organik yang masih mentah maupun yang sudah jadi yang berasal dari Kanada. Menurut Dr. Ir. V Prihananto, Msi, ahli pangan sehat, untuk urusan pangan masyarakat itu terbelah menjadi dua. Ada trend di masyarakat agar sehat membeli makanan dengan melihat label atau tanggal kadaluarsa. Orang-orang tersebut sadar bahwa makanan harus sehat. Tapi ada juga yang tidak, membeli asal harganya murah saja. “Masalah pangan sehat juga erat kaitannya dengan masalah kemiskinan,” ujar pria yang berusia 44 tahun ini.
Lebih lanjut dosen mata kuliah Fortifikasi Pangan Untuk Pemenuhan Gizi ini menjelaskan bahwa secara makro ada beberapa hal yang menjadi pikiran. Secara makro menurut data tahun 2005 Indonesia mengalami kelebihan penggunaan energi secara nasional. Secara mikro konsumsi pangan rendah sebagai akibat adanya kesenjangan ekonomi dan pendidikan. Maka, secara akademis dapat dilihat bahwa Indonesia sedang mengalami krisis pangan.
Sebagai solusi alternatif, mencari bahan baku pengganti. Misalnya kasus naiknya harga kedelai, bahan pengganti misalnya kacang-kacangan. Pemerintah dan akademisi sedang mengembangkan diversifikasi pangan yang diarahkan ke pengembangan pangan lokal. Pangan lokal tersebut misalnya umbi-umbian, akan digalakkan lagi menjadi alternatif pilihan untuk mengatasi masalah ketahanan pangan. “Tahun ini (2008; red) akan ditetapkan menjadi PP,” ungkap bapak dari dua anak ini memberikan bocoran.
Harapan dari diversifikasi pangan adalah perekonomian masyarakat naik. Sasaran utamanya adalah kebiasaan masyarakat untuk mengkonsumsi pangan. Masyarakat harus dibiasakan mengkonsumsi pangan lokal sejak kecil,” ujar bapak yang akarab dipanggil Pak Pri ini. Beliau mengharapkan kalangan akademisi menuntut pemerintah untuk menggunakan hasil riset yang belum dimanfaatkan dan membuat suasana yang stabil dan kondusif. Hal tersebut dibarengi peran serta akademisi, masyarakat dan LSM yang sinergis untuk membangun ketahanan pangan di Indonesia.

Lembaga Pengembangan Potensi dan Keswadayaan BABAD
Lembaga Pengembangan Potensi dan Keswadayaan BABAD mengembangkan metode program pengelolaan usaha tani lahan kering dan lahan basah. Menurut Widya, program tersebut melibatkan masyarakat sebagai mitra penyedia tenaga kerja dan informasi tentang pola budidaya yang dilakukan di daerah tersebut. Pengelolaan usaha tani diperlakukan sebagai Unit Usaha, dengan Manajer Unit sebagai penanggungjawab pengelolaan dari perencanaan usaha, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pelaporan.
Program ini dijalankan karena tingginya biaya produksi akibat efisiensi dan efektivitas usaha tani masih rendah, infrastruktur pertanian yang masih buruk, telah hilangnya pengetahuan dan ketrampilan lokal budidaya di tingkat pengelolan dan masyarakat, dan keterbatasan pengembangan teknologi budidaya yang sesuai untuk daerah tersebut. Kondisi-kondisi tersebut menjadikan rendahnya nilai tukar produk pertanian, sehingga pertanian yang menjadi pekerjaan utama sebagian masyarakat jutru menjauhakan dari tujuan kesejahteraan.
Tahap yang perlu dilewati untuk proses konversi lahan dari lahan konvensional ke lahan LEISA adalah proses pemulihan lahan, penyediaan bahan-bahan pupuk organik dan pestisida organik dan kepemilikan ternak untuk menyediakan bahan organik bagi tanaman. Lembaga bersama masyarakat juga mengujicobakan beberapa jenis tanaman antara lain padi, cabai rawit, kacang panjang, kacang tanah, ubi jalar, terong, dan caisin.

Dalam pandangan lembaga kerjasama dalam bidang usaha tani perlu mengembangkan beberapa faktor, antara lain pasar dan kemampuan produksi di tingkatan petani. Hal tersebut penting karena saat ini persoalan-persoalan yang tengah dihadapi petani adalah rendahnya posisi tawar petani dalam menentukan harga produk yang dihasilkannya dan masih rendahnya nilai tambah yang dapat dilakukan petani untuk meningkatkan pendapatannya. ” Selain mengembangkan pertanian sehat, untuk menopang kegiatan tersebut saat ini Yayasan BABAD, mengembangkan program kemitraan ternak dan peningkatan pengetahuan petani melalui akses informasi melalui internat dengan pembukaan Sanggar Belajar Komunitas di desa Pegalongan dan Pasirmuncang.

Produksi pangan dengan menjaga keseimbangan alam adalah upaya menciptakan lingkungan yang sehat, mayarakat yang sehat dan sistem pemasaran yang sehat. Sekaligus membangun ketahanan pangan, yang berarti melestarikan budaya dan tanaman lokal, umbi-umbian seperti gembil, tiwul harus dibangkitkan lagi dan menjadi pangan alternatif. Pertanyaannya adalah apa dan bagaimana peran pemerintah pemangku utama kepentingan untuk membangun kedaulatan dan kemandirian petani ?

Baca selengkapnya...

Subekti: Sayuran Organik Dapat Memperpanjang Umur

Oleh Wiwiek Irnawati

Bagi petani lulusan Biologi tahun 2004 Unsoed ini, memproduksi pangan organik banyak manfaatnya. Selain bertani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, salah satu ladangnya yang terletak di desa Ketenger, Baturraden juga menjadi salah satu tempat bagi penelitian mahasiswa Fakultas Pertanian Unsoed.

Awalnya, Subekti datang ke Purwokerto hanya berniat untuk kuliah saja, setelah diterima di Universitas Jenderal Soedirman, fakultas Biologi pada tahun 1995. Beti, panggilan akrab kawan-kawan selain kuliah, dia juga aktif dalam beberapa kegiatan ektra kampus. Tidak hanya mata kuliah saja yang pelajari, banyak pengetahuan yang dia peroleh diluar bangku sekolahnya. Aktivitas-aktivitasnya tersebut yang membimbing dia untuk menggeluti pertanian organik bersama kawan-kawannya di Fakultas Pertanian pada tahun 2000. Namun, aktivitasnya tersebut belum terlalu serius seperti saat ini. Keseriusan itu muncul setelah perkenalannya dengan Pak Gatot, seorang petani organik yang bertempat tinggal di kabupaten Purbalingga.

“Kalau ditanya pilihan tentunya, tak ada yang memilih atau bercita-cita menjadi petani, tapi karena proses bareng temen-temen aja,”ujar Beti yang menyelesaikan gelar sarjananya pada tahun 2004 ini. “Apalagi dengan background studynya ga nyambung,” imbuhnya. Setelah kembali dari mencoba peruntungannya di kota Surabaya, pada tahun 2005 dia kembali ke Purwokerto untuk menekuni pertanian organik. Ada dua alasan dia menekuni pertanian organik, pertama karena peluang pasar yang masih terbuka dan harganya yang lebih menguntungkan, walaupun pasarnya masih eksklusif akan tetapi belum ada penyuplainya. Kedua, melihat tren kesehatan saat ini, untuk pengidap penyakit-penyakit tertentu oleh dokter untuk mempercepat proses penyembuhan direkomendasikan untuk mengkonsumsi padi dan sayuran organik.

Hal diatas dibuktikan, eksistensinya sampai sekarang dia masih bisa berproduksi sayuran organik dan terserap selalu habis dipasaran. Laki-laki dengan penampilan rambut panjangnya menyerahkan hasil kebun sayurnya yang terletak di desa Melung, Baturraden kepada rekanannya yang berperan sebagai promotor sekaligus penjual langsung ke konsumen. Pengiriman hasil kebunnya dilakukan pada pagi hari, agar kesegarannya masih terjaga. Hasil kebunnya berupa sawi hijau, pak coi, kangkung, dan wortel. Tetapi khusus untuk wortel belum bisa terus-menerus seperti yang lainnya. Alasannya, masa tanam yang lebih lama dibandingkan yang lain. Setiap ikat untuk sawi hijau, pak coi maupun kangkung. Sistem penjualannya saat ini masih dengan sistem kontrak, dengan dropping sayuran organik per mingguan.

“Alhamdulillah sampai sekarang masih berjalan dengan baik, bahkan pesanan semakin meningkat,” ungkapnya. Hal yang paling berat memulai usaha sayuran organik adalah proses pemulihan lahan dan merintis pasarnya, karena harganya relatif mahal dan biasanya pasarnya masih dalam bentuk jaringan, dan tidak terpromosi dengan bagus akibat kekurangan modal. Menurutnya, menggeluti bidang ini (sayuran organik) tak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya saja, akan tetapi sebagai bentuk pedulinya terhadap lingkungan.. “Saat ini sudah saatnya gerakan perbaikan lingkungan terus dikampanyekan,” ujar laki-laki yang juga aktif dalam jaringan aktivis lingkungan hidup ini.

Selanjutnya di juga memaparkan bahwa, membedakan sayuran organik dan non-organik bukanlah hal yang mudah, apalagi bagi orang yang tidak pernah bersentuhan langsung dengan hasil pertanian organik. Namun, pada umunya warna sayuran organic terlihat lebih muda dibandingkan dengan yang non-organik dan apabila gagangnya (sawi hijau misalnya) dipatahkan, ia akan lebih mudah patah dan berbunyi ketika patah. Sedangkan untuk sayuran non-organik biasanya lebih lentur, bila dipatahkan, dan warnanya pun lebih tua dibandingkan dengan sayuran jenis organik. Namun untuk beras sendiri memang sangat sulit membedakannya. Untuk kasus ini hanya dapat dilihat dari pelabelan ‘organik’ pada kemasannya, serta rasa dan masa basi ketika sudah dimasak.

Selain bertani, Bekti juga aktif melakukan kampanye kepada petani-petani setempat di Baturraden. Tujuannya tentu saja agar petani-petani tadi beralih pada petanian organik ini. Namun, kendala utamanya budaya instan yang sudah merasuk dalam kehidupan sehari-hari petani. Sementara mengelola pertanian organik juga membutuhkan ketelatenan sendiri.

Kendala lain adalah penyediaan pupuk dan pestisida alami, serta ketahanan pupuk dan pestisida itu sendiri. “Kalau pas hujan, pestisida tadi kan luntur, sehingga harus dilakukan penyemprotan lagi,” katanya. Tak hanya itu, proses pembuatan pestisida dan pupuknya sendiri juga memakan waktu yang agak lama, sehingga menyulitkan bagi petani yang harus terus tetap kontinyu dalam penyediaan produknya bagi konsumen. Hal ini bagai Bekti adalah dinamika dalam aktivitasnya menggeluti pertanian organik.

Saat ini salah satu agenda utamanya adalah bagaimana mengkampanyekan kepada masyarakat untuk mencoba mengkomsumsi beras dan sayur organik dan mendorong pemerintah daerah untuk menetapkan kebijakan sehingga mendorong petani untuk berproduksi secara organik. Subekti, saat ini juga aktif dalam jaringan petani organik di kabaupten Banyumas maupun Jawa Tengah.

Baca selengkapnya...

Monday, December 17, 2007

Air untuk Kehidupan

Kehidupan, konon hanya ada di planet bumi. Di planet inilah ada kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Planet lain dalam tata surya tidak ada kehidupan seperti di bumi ini. Mereka mati. Menurut para ahli, kehidupan di bumi ini ada karena terdapat unsure udara dan air, unsure paling penting penentu kehidupan. Di planet lain, tidak ada unsure ini, maka tidak ada kehidupan di sana. Hal ini dulu sering kita dengan waktu kita mendapat pelajaran IPA, jaman kita sekolah dari SD sampai perguruan tinggi, kita diberi tahu jika air adalah unsure utama pembentuk kehidupan di muka bumi.Kesadaran kita tentang air berbeda dari jaman kita kecil. Dulu kita asyik saja bermain air, dus-dusan sampai mata memerah dan kulit legam. Sekarang kita menyadari bahwa tanpa air irigasi sawah kering dan tak berproduksi. Tanpa air ledeng yang mengalir lancar, keluarga-keluarga di kota tergangu irama kehidupannya. Bahkan di kota-kota besar, setiap keluarga harus menyiapkan rupiah dalam jumlah yang tidak sedikit untuk menghadirkan beberapa jerigen air di dapur. Kita juga mulai dengan serius berteriak tidak setuju ketika hutan banyak digunduli, karena kita tahu hutan adalah spon raksasa penyimpan air.
Secara alamiah, air menempati posisi yang unik bahkan sentral dalam kehidupan kita. Vandanashiva seorang aktifis lingkungan dunia menyebut air sebagai matrik budaya dan dasar kehidupan, karena itulah air harus dijaga dengan benar agar kehidupan manusia tidak terganggu. Dalam pandangan yang lebih kapitalistik, Ismail Serageldin, wakil direktur Word Bank pada tahun 1995 mengatakan, dimasa depan perang bukan lagi disebabkan oleh persengketaan minyak, barang tambang yang hanya bisa diperoleh dengan mengebor sedalam ribuan kilometer ke dalam perut bumi, perang masa depan dipicu oleh air. Sesungguhnya, ada landasan etik pengelolaan air. Karena semua orang di dunia membutuhkannya, air tidak boleh dikelola selayaknya komoditas yang bisa mendatangkan keuntungan besar.Pertanyaannya adalah mengapa air menjadi memiliki nilai ekonomi sedemikian tinggi?

Baca selengkapnya...

Isyarat Krisis Air di Banyumas

Oleh Muhammad N. Latief

Pertengahan tahun 2006, pada diskusi yang diselenggarakan oleh salah satu harian lokal, direktur baru PDAM pada waktu itu mengungkapkan gagasan untuk menggunakan air sisa pemutar turbin PLTA Ketenger Baturaden, Banyumas sebagai salah satu sumber air bakunya. Mewnurutnya, air Kali Banjaran adalah solusi semua persoalan air bersih di Banyumas, persoalan pelayanan pada pelanggan akan teratasi, bisa menambah pelanggan baru sebanyak-banyaknya, bahkan bisa “mengekspor” air bersih ke kabupaten tetangga dalam rentang waktu puluhan tahun mendatang.

PDAM Banyumas saat ini mengelola air dengan debit 607 l/dt pada musim penghujan dan 529 l/dt serta 470 l/dt pada musim penghujan dan turun sampai dengan 390 l/dt pada musim kemarau khusus untuk kota Puwokerto. Mereka melayani lebih dari 11.000 pelanggan. Dengan kondisi ini wajar bila PDAM melakukan upaya-upaya untuk menambah pasokan air bakunya.
Bagi petani yang menggantungkan hidup pada sawah dan irigasi, rencana ini adalah berita buruk yang mengancam kelangsungan usaha tani mereka. Saat ini, air Kali Banjaran digunakan oleh hampir 20 % sawah irigasi tekhnis di Banyumas yang luasnya mencapai 10.509 ha. Karena itulah mereka menolak pengambilan air dari hulu sungai banjaran untuk air minum walaupun hanya 100-300 liter/detik.

Anatomi Konflik Sumber Daya Air
Konflik antara PDAM Banyumas dan petani-petani di daerah hilir Kali Banjaran menandai babak baru krisis dan konflik air di Banyumas. Selama ini, kita sering mendengar petani sering berebut air, ronda air pada saluran tersier maupun kuarter irigasi sebagai konflik atas sumber daya air secara terbuka. Dalam konflik ini, petani berperan sebagai korban sekaligus pelaku konflik air. Babak baru krisis air ini ditandai munculnya konflik antara petani dengan korporasi (PDAM) yang ramai diberitakan media. Selain itu juga mulai terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan air kemasan walaupun dalam skala kecil, seperti di Desa Pancasan Kecamatan Ajibarang dan Kecamatan Sumbang. Konflik horisontal antar petani mulai berubah menjadi konflik vertikal, antara masyarakat dengan negara sebagai pengambil kebijakan pengelolaan air yang berkolaborasi dengan pemilik modal.

Sekilas, konflik ini muncul dari sulitnya pemenuhan kebutuhan air minum masyarakat kota berhadapan dengan kebutuhan pemenuhan air irigasi petani dan bisa dikategorikan sebagai konflik horizontal. Tetapi, jika kita lebih teliti, dapat dilihat bahwa dasar konflik ini adalah konflik vertikal antara masyarakat yang membutuhkan air (air bersih maupun air irigasi) dengan pengambil kebijakan sumber daya air.
Keterlibatan korporasi yang bersekutu dengan negara memunculkan kecurigaan berlakunya gagasan neoliberal dalam pengelolaan air. Ismail Serageldin, wakil direktur Word Bank pada tahun 1995 mengatakan, dimasa depan perang bukan lagi disebabkan oleh persengketaan minyak, perang masa depan dipicu oleh air (Shiva.2002). Dulu air dipandang sebagai public goods yang harus dipelihara bersama-sama dan haram diperjual-belikan, bahkan air disebut sebagai matrik budaya dan dasar kehidupan (Shiva; 2002). Gagasan neoliberal merubah cara pandang terhadap air sebagai barang dagangan yang bisa mendatangkan keuntungan besar.

Pembangunan Tidak Berwawasan Lingkungan
Jika dianalisis lebih jauh, konflik sumber daya air mempunyai beberapa sebab. Pertama sentralisasi pemenuhan kebutuhan air bersih lewat PDAM, pada satu sisi memang merupakan bentuk dari tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat. Namun, skema ini tidak melihat daya dukung lokal dan pola dasar pemenuhan air masyarakat. Tradisi dan kearifan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air terganti dengan budaya instan. Masyarakat kita tak lagi mengandalkan sumur dangkal sebagai pemasok kebutuhan air, padahal dulunya di sekitar sumur pasti tumbuh rimbun pohon penahan air. Dengan budaya inilah, masyarakat kita tidak kesulitan air jika kemarau tiba.

Kedua, di Banyumas, segala aktifitas yang bisa mengakibatkan krisis air sudah berjalan. Ambil contoh aktifitas penebangan hutan produksi Perhutani di sekitar Gunung Cendana dan Bunder berkontribusi pada penurunan debit air Kali Banjaran, pengelolaan hutan oleh perusahaan ini juga menimbulkan konflik sosial ekonomi dengan masyarakat sekitar hutan. Contoh lain, penambangan limestone (batu gamping) di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang yang sudah sampai pada tahap menimbulkan resiko bencana ekologis. Belum lagi 18 potensi bahan galian lain, dari andesit sampai emas tinggal menunggu investor yang mengeksplorasinya.
Ketiga pemerintah daerah hanya mementingkan tercapainya target Pendapatan Asli Daerah (PAD). Rejim PAD ini melakukan segala daya upaya untuk mendatangkan pendapatan, termasuk mendatangkan investasi sebesar-besarnya. Keberhasilan otonomi daerah menurut mereka tergantung seberapa besar Pemerintah Daerah menghasilkan pendapatan dan mendatangkan investasi. Demi mengejar PAD, pembangunan ruko dan bangunan besar lain tak terkendali, menggusur lahan pertanian dan menutup saluran irigasi.

Selain masalah diatas, siklus hidrologis air telah mengalami perubahan ekstrem, manusia modern telah merusak dan menghancurkan kapasitas bumi untuk menerima, menyerap dan menampung air. Industri, dan pertanian tidak ramah lingkungan mengeringkan ekosistem dan meningkatkan penggunaan bahan bakar minyak yang menjadi penyebab utama polusi dan perubahan iklim global.

Sekarang, tinggal kita yang memilih, akan segera mengalami krisis lingkungan atau berpikir tentang konservasi dan bersahabat dengan alam. Pilihan pertama mungkin mudah dilakukan dan sesuai dengan pola pikir rejim otonomi daerah, karena pilihan inilah yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan naiknya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pilihan kedua? Hanya orang-orang yang berpikir yang melakukannya?

Baca selengkapnya...

Mujamil dan Cara Adil Membagi Air

Oleh Widoro


Cerita bermula ketika warga Dusun Rabuk, Desa Baseh, Kecamatan Karanglewas,Kabupaten Banyumas sering bertengkar gara-gara rebutan air bersih. Ini merupakan fenomena aneh karena desa ini terletak di lereng Gunung Slamet bagian barat daya yang berlimpah air. Seperti umumnya desa di lereng gunung, warga desa ini mempunyai pasokan air dari titik-titik mata air. Untuk menyalurkan air ke rumah-rumah, mereka membangun bak-bak penampungan yang dialirkan melalui pipa ke rumah-rumah penduduk.Rupanya, distribusi air dengan sistem ini mempunyai banyak kelemahan. Air yang diperoleh masing-masing rumah tidak rata. Ada rumah yang memperoleh air berlimpah, namun banyak juga rumah yang alirannya crat-cret alias tidak lancar. Saluran model seperti ini rawan kecurangan, jika ada rumah yang ingin memanfaatkan air berlebih , warga tinggal mengganti pipa dengan diameter lebih besar, dan rumahnya akan kebagian air dalam jumlah yang berlimpah. Selain itu, model penyaluran air seperti ini mudah bocor dan rusak. Hal inilah yang menjadi pangkal konflik, distribusi air yang tidak merata. Saking seringnya konflik, penduduk punya plesetan banyu bersih jadi banyu brisik (air bersih jadi air keributan).

Mujamil (52) adalah seorang guru agama yang pernah tinggal di dusun ini sebelum menetap di Grumbul Singosari Kulon, Desa Singosari, Kecamatan Karanglewas. Beliau tergerak hatinya untuk menyelesaikan konflik dan berpikir keras untuk mencari solusi permasalahan. Pak guru ini teringat sistem bejana berhubungan yang diterapkan oleh Pertamina untuk mendistribusikan minyak. Kebetulan sebelum menjadi guru agama, beliau pernah bekerja di Pertamina UP IV CIlacap. Mujamil akhirnya menemukan teknik jitu untuk membagi air dalam jumlah sedikit secara adil dengan teknologi murah. Berkat teknologi baru yang dirintisnya ini, Mujamil dapat membawa perdamaian bagi masyarakat di desanya yang mulanya sering bertengkar karena rebutan air.

Berbekal pengalaman teknik pasang-memasang pipa, pada tahun 1995 Mujamil dan beberapa warga melakukan ujicoba penerapan teknik bejana berhubungan untuk mendistribusikan air.Cara kerja teknik ini sederhana, hanya dengan memahami sifat air dan udara. Prinsip fisika inilah yang digunakan Mujamil untuk menjalankan alatnya. Setelah air ditampung di bak penampungan, air disalurkan melalui jaringan pipa ke lokasi-lokasi rumah penduduk dengan pipa paralon yang ditanam, mirip jaringan pipa PDAM. Pada beberapa titik sebelum air masuk ke rumah penduduk, air dimasukan ke dalam tabung T untuk mengatur sirkulasi udara dan tekanan air.

Di tabung inilah, sistim bejana berhubungan bekerja. Bejana ini menstabilkan tekanan air yang berbeda pada masing-masing rumah karena perbedaan lokasi dan ketinggian. Jadi setelah melewati bejana ini, air yang keluar dari pipa dan selang sama derasnya, tidak ada lagi rumah yang airnya mancur-mancur dan rumah yang aliran hanya crat-cret. Agar kuat, beberapa tabung bejana dikelilingi tembok semen, mirip tugu. Jadi, jangan heran jika bertandang ke desa ini akan banyak melihat tugu di sudut-sudut desa.

Kata murah yang disebut di awal tulisan pun terbukti, untuk membangun satu tabung T yang berisi bejana berhubungan, biaya yang dikeluarkan tidak sampai Rp. 1 juta. Kecuali jika ingin tugu pelindung bejana lebih kuat, biaya tersebut ditambah dengan harga pembelian bahan-bahan bangunan plus ongkos tukang batu. Penerapan teknik bejana berhubungan ala Mujamil inipun mengakhiri cerita konflik air di desanya. 

Replikasi
Setelah masalah bagi-membagi air di Grumbul tempat dia dulu tinggal selesai, Mujamil ingin menerapkan teknik yang sama di desa tempatnya sekarang tinggal, yakni Desa Singosari tanah kelahirannya. Beliau juga tergerak ingin menjadi putra desa yang baik, membaktikan diri untuk masyarakat.

Mulai tahun 1996 dia menerapkan teknik bejana di Grumbul Singosari Kulon, tentu dengan modifikasi di sana-sini, menyesuaikan dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Untuk proyeknya di desa ini, Mujamil beruntung mendapatkan bantuan dari salah satu lembaga sosial di Purwokerto, disamping swadaya masyarakat yang terbilang besar. Proyek distribusi air di daerah inipun berhasil.

Keberhasilannya membuat masyarakat Grumbul sebelah tempat tinggalnya, Singosari Wetan, ingin mereplikasi teknik tabung tersebut. Kebetulan waktu itu ada proyek pemerintah untuk desa tertinggal, namanya Proyek Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT). Usulan untuk membangun proyek diajukan pada pemerintah, sayangnya PEMKAB Banyumas merespon negative. Menurut pemerintah waktu itu, teknik tersebut tidak menjamin keberhasilan proyek. Namun keberhasilan bejana berhubungan di Grumbul sebelahnya membuat tekad masyarakat Grumbul Singosari Wetan membatu. Pemerintah akhirnya menurunkan tim dari Dinas Bina Marga dan Dinas Cipta Karya untuk melakukan riset. Hasilnya, sesuai dengan keinginan masyarakat, kedua dinas tersebut merekomendasikan penerapan teknik bejana berhubungan untuk system distribusi air desa. 

Mujamil sekarang menjadi ahli hidrologi “amatiran”. Dia senang dengan sebutan amatiran, padahal karyanya membawa perubahan besar bagi masyarakat di 3 daerah yang berhasil menerapkan system distribusi air bejana berhubungan. Dia sekarang sedang melayani “konsultasi” pembangunan proyek serupa dari para Pimpro desa tetangganya yaitu Desa Beji, Baseh dan Kedung Banteng, ketiganya berada di Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Banyumas. 
Dia juga sedang berkhidmat menyelesaikan studi strata satu (S1) pada salah satu sekolah tinggi di Purwokerto.“Untuk memenuhi syarat kedinasan” ujarnya. Peraturan sekarang memang mengharuskan guru agama Sekolah Dasar (SD) menyandang gelar sarjana agar bisa lolos sertifikasi profesi. 

Menambah Pendapatan Desa
Dari sekian banyak daerah yang mengaplikasikan penemuannya, menurut beliau ada satu desa yang masuk dalam kategori mencapai keberhasilan besar. Keberhasilan ini dicapai di Desa Panembangan, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas pada tahun 2000-an. Di desa ini, dengan debit air 10 liter/detik air bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan 300 keluarga. Karena air masih tersisa, jaringan distribusi air dilebarkan sampai desa sebelah, Pernasidi. Sekali lagi Mujamil membuktikan teknologinya mampu mencukupi kebutahan air bahkan di dua desa dengan debit yang tidak terlalu besar.

Satu lagi inovasi yang dilakukan di dua desa terakhir. Masing-masing dipasangi meteran, mirip meteran pada pelanggan PDAM. Dengan perhitungan meteran tadi, pelanggan dikutip biaya pemakaian, tentu dengan tarif yang jauh lebih rendah dari tarif air PDAM. Jika dirata-rata masing-masing pelanggan setiap bulan membayar sekitar Rp. 5000 sampai Rp. 10.000 atas air yang dipakainya. Pemerintah desa pun senang, ada tambahan pendapatan yang bisa digunakan untuk pembangunan lain. 

“Kami hanya takut, suatu hari nanti debit air benar-benar berkurang drastis”, ujar Mujamil ketika ditanya tentang ancaman kelangsungan teknologi ini. Memang, Kabupaten Banyumas semakin hari semakin mendekati ancaman krisis air. Pada bulan Agustus 2007, jumlah mata air di Kabupaten Banyumas hanya tinggal 500 titik, padahal di tahun 2002 jumlah mata air mencapai 3.002 titik. Inilah sebab utama krisis air bersih di 57 desa Banyumas belakangan ini.
Ide, kreativitas dan kerja keras Mujamil telah dirasa manfaatnya, namun ada pekerjaan besar yang menanti untuk diselesaikan. Pekerjaan itu adalah konservasi dan menjaga agar alam tetap menyediakan air yang cukup bagi masyarakat. Diperlukan komitmen dan keseriusan pemerintah serta masyarakat untuk mengajukan program-program pembangunan yang tidak kontraproduktif dengan upaya pelestarian alam.

Apakah Mujamil ingin mempatenkan penemuannya? Bapak 4 anak ini belum berpikir ke arah sana. Dia hanya ingin karyanya banyak dimanfaatkan orang untuk kebaikan bersama. Namun, dia juga tidak gampang memberikan rahasia tekniknya. Dia tidak mengijinkan rahasian tekniknya ditulis di media massa. 

“Takut ada pihak-pihak yang mengkomersialisasikan” katanya. Jadi, jika ingin mengetahui lebih detail tentang teknik distribusi air dengan bejana berhubungan, datang saja ke rumahnya, di Desa Singosari, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas. Dia dengan gembira akan bercerita tentang penemuannya, sepanjang tidak untuk kepentingan komersial.

Baca selengkapnya...

Banyumas yang Mengering

Oleh
Muhammad N. Latief

Ini kejadian rutin di Purwokerto, khususnya di perumahan-perumahan yang menjadi pelanggan PDAM. Tiap memasuki bulan kemarau, sekitar bulan Juli, aliran ledeng ke rumah mereka crat-crit, tidak lancar dan hanya air mengalir beberapa jam sehari. Termasuk perumahan di seputar Universitas Jenderal Soedirman, yang berjarak hanya beberapa kilometer dari daerah resapan air di Baturaden.


“Dua tahun saya ngontrak di GS (Perum Griya Satria), tiap kemarau, mandi selalu ngungsi”, ujar Priyo (22 th), mahasiswa FISIP Unsoed asal Tegal. Priyo juga mengaku sering begadang, menunggu ember dan bak mandinya terisi penuh. Di perumahan tempat dia tinggal, biasanya ledeng kembali mengalir tengah malam sampai dini hari.


Keluhan sama juga diungkapkan oleh Heri (35 th) seorang PNS di Balai Pelelangan Ikan Cilacap yang tinggal di perumahan Tanjung Elok Purwokerto. Jika memasuki musim kemarau, ledeng di rumahnya tidak pernah lancar. “Kalau sudah terang (kemarau) repot mas” ujarnya.

Masalah pada PDAM
Ketika ditanya apa penyebabnya, serentak mereka menuding PDAM Banyumas sebagai biang keladi masalah ini. Menurut mereka, BUMD ini tidak memiliki skema alternative untuk mengatasi keluhan pelanggan yang tiap tahun berulang.

“Masa dari tahun ke tahun tidak pernah ketemu solusinya?”, ujar Heri. 
PDAM Banyumas memang pantas pusing. Kondisi perusahaan tak cukup menggembirakan, saat ini kapasitas produksi mereka 517,98 Liter/detik. Dengan kapasitas itu, mereka hanya bisa melayani 66,91 persen di Kota Purwokerto, 42,90 persen dari kota se Kabupaten Banyumas, dan 15,2 persen dari Kabupaten Banyumas, itupun dengan layanan yang pas-pasan bahkan cenderung kurang. 

Kesulitan yang dihadapai PDAM adalah sumber air baku yang semakin sulit didapat. Data yang diperoleh dari Bagian Konservasi Sumber Daya Hutan dan Lingkungan (DKSDHL), Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Banyumas, membenarkan alas an ini. Pada bulan Agustus 2007 jumlah mata air di Kabupaten Banyumas hanya tinggal 500 titik, padahal di tahun 2002 jumlah mata air di Kabupaten Banyumas mencapai 3.002 titik. Secara umum inilah penyebab utama krisis air bersih di 57 desa Banyumas akhir-akhir ini.

Selain persoalan pasokan air baku, 30 persen sarana prasarana produksi dan distribusi air milik PDAM dalam kondisi rusak, usia peralatan teknis itu telah lebih dari 20 tahun, bahkan ada berapa peralatan peninggalan pemerintah colonial Belanda yang masih digunakan. Problem-problem tersebut menumpuk dan sulit diatasi, pada akhirnya, pelangganlah yang tiap tahun merasakan ledeng yang macet, dan air yang crat-crit, keruh, bahkan berbau.

Kekeringan Parah
Kabupaten Banyumas dengan topografi wilayah yang berbukit-bukit memang memungkinkan terjadi kekeringan di musim kemarau. Terdapat 40 desa yang tersebar di 12 kecamatan di Banyumas yang menjadi langganan kekeringan. 12 kecamatan itu adalah Kebasen, Rawalo, Sumpiuh, Tambak, Kalibagor. Kecamatan lainnya Wangon, Somagede, Rawalo, Cilongok, Jatilawang, Ajibarang, dan Gumelar.

Kekeringan di tahun 2007 ini lebih parah dari tahun kemarin, di Kecamatan Tambak dan Sumpiuh, pada bulan Agustus 2007 sudah mengalami instrusi. Intrusi adalah gejala alam berupa masuknya air asin ke daratan. Gejala ini disebabkan rendahnya permukaan air tawar. Selain itu, kejadian ini juga dipicu oleh rusaknya klep pengatur pembuangan, sehingga air laut samudra hindia yang berjarak 30 km dari sebelah selatan kecamatan tersebut masuk ke sungai-sungai dan akhirnya meresap ke sumur warga. Biasanya intrusi terjadi saat kemarau mencapai puncaknya, kisaran bulan November, tapi tahun ini intrusi sudah terjadi di bulan Agustus. 
Secara umum disebutkan dalam surat surat edaran Provinsi Jawa Tengah No. 360/8476 tertanggal 14 Juli 2003 bahwa, 29 kabupaten di Jawa Tengah mengalami kekurangan air bersih. Di karesidenan Banyumas dan Pekalongan terdapat 9 kabupaten yang mengalami kekurangan air. Tercatat 327 desa di 57 kecamatan yang tersebar di Kabupaten Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga dan Cilacap mengalami kekurangan air bersih.

Dampak paling terasa adalah kesulitan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari. Di desa Kedungwuluh Lor, Kecamatan Patikraja misalnya, Selama musim kemarau, mereka harus mencari ke sejumlah mata air di luar desa yang jarak tempuhnya mencapi 1,5 km. Sementara bantuan air bersih dari PEMKAB Banyumas hanya berkisar 4000 liter. Jumlah tersebut tidak cukup untuk memasok kebutuhan ribuan warga. Akibatnya, pembagian air bantuan pemerintah selalu diwarnai dengan rebutan air, dan keluhan tidak memperoleh jatah air bersih. Masyarakat di Kecamatan Sumpyuh warga terpaksa memilih mencari air ke desa tetangga yang letaknya sekitar 3-5 km. Bahkan sebagian dari mereka mencari air hingga ke Rowokele dan Ayah di Kabupaten Kebumen.

Kekeringan juga mengancam kondisi ketersediaan pangan. Pada minggu pertama Agustus 2007 kekeringan di Jateng sudah melanda sekitar 108.000 hektar lahan sawah dengan kondisi puso sekitar 10 persen. Akibatnya, pada tahun 2007 ini, produksi padi diperkirakan menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ramalan II 2007 menunjukkan angka perkiraaan produksi padi dalam setahun hanya sebesar 8,38 juta ton dengan luas panen selama tahun 2007 hanya seluas 1,56 juta hektar. Berbeda dengan tahun 2006, angka produksi mencapai 8,73 juta ton, angka tertinggi sejak tahun 2000. keberhasilan ini berkat dkungan curah hujan, saat itu jumlah lahan panen mencapai 1,66 juta hektar dengan kondisi puso hanya 6.000 hektar.

Kerusakan Ekosistem
Kekeringan dimusim kemarau dan banjir di musim hujan sepertinya sudah menjadi agenda rutin dalam kehidupan kita. Jika sudah seperti ini, bukan lagi fenomena alam biasa. Kenyataan ini merupakan akibat dari ketidakseimbangan ekosistem, sebabnya adalah kerusakan lingkungan yang parah. Masyarakat kadang salah memahami, kekeringan dan banjir sering dianggap bencana alam, padahal bencana-bencana alam ini bukanlah suatu kondisi yang begitu saja terjadi, tetapi akibat yang muncul dari akumulasi berbagai kerusakan di bumi.
Data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banyumas menunjukan kerusakan ekosistem banyak dipicu oleh aktifitas ekonomi manusia. Penebangan hutan menjadi salah satu sebab kerusakan alam. Menurut Wisnu Hermawanto, Kepala Dishutbun, setiap hari ada sekitar 500 meter kubik kayu di Banyumas yang ditebang. Jumlah tersebut setara dengan 1.500 batang pohon. Padahal, mata air membutuhkan sedikitnya 400 batang pohon sebagai penyimpan air. Jika tidak ada upaya serius untum menghentikan penebangan dan reboisasi, Wisnu memperkirakan dalam jangka waktu 5 tahun ke depan, di Banyumas sudah tidak ada lagi mata air.

Penebangan memberikan implikasi buruk bagi hutan, padahal hutan memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan air, berpengaruh terhadap perubahan iklim mikro, dan mampu mencegah terjadinya bencana-bencana longsor, banjir, serta melindungi kawasan di bawahnya dari angin ribut. Akibat minimnya hutan, air hujan tidak dapat tertahan sehingga lari ke lahan yang lebih rendah dengan menggerus lapisan tanah atas (top soil) yang subur. Kondisi ini memaksa petani untuk memberi pupuk kimia agar tanahnya subur. Dampaknya, berbagai zat kimia tersebut mencemari air tanah dan mempersulit warga memperoleh air bersih.
Selain kerusakan hutan, penyedotan air tanah turut memberi andil bagi kekeringan. Kualitas dan kuantitas air merosot akibat penyadapan besar-besaran guna memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, rumah sakit, hotel, dan restoran.

Upaya Konservasi yang Serius
Sesungguhnya, tidak sulit untuk mencegah terjadinya kerusakan ekosistem. Kita hanya memerlukan komitmen dan keingingan yang kuat untuk melaksanakan konservasi secara konsisten. Masalahnya sekarang, lingkungan tidak pernah dilihat dalam bagian yang intergral dalam pembangunan. Lingkungan telah dieksploitasi demi meningkatkan devisa dan mendongkrak pendapatan baik di daerah maupun secara nasional, namun upaya tersebut tidak dibarengi dengan penyelamatan dan rehabilitasi.

Menurut Dani Armanto, coordinator Komunitas Peduli Slamet (Kompleet) perlu langkah-langkah strategis dalam memulai usaha penyelamatan lingkungan. Pertama adalah membangun padangan bahwa lingkungan adalah bagian integral dari pembangunan. “Dampak pembangunan ekonomi terhadap lingkungan, social dan budaya harus diperhatikan. Harus ada kerangka dan mekanisme untuk meminimalisir dampak buruk pembangunan”, ujar Dani.

Investasi juga harus mendapat perhatian yang serius. Kadang investasi justru menjebak masyarakat sehingga menumpulkan kemampuan masyarakat untuk memobilisasi sumberdaya yang dimiliki. Bahkan, investasi juga medorong masyarakat untuk melepas asset yang dimiliki. Kawasan wisata Baturaden misalnya, di daerah tersebut, sebagai besar tanah sudah dimiliki oleh investor, masyarakat berbondong-bondong menjual tanahnya untuk mendapat keuntungan yang besar dalam waktu singkat. Akibatnya, masyarakat di daerah tersebut tidak dapat menjadi pemain utama dalam usaha yang banyak ada disana, mereka hanya menjadi pemain pingiran dan bertebaran di sector informal. Pemerintah tidak harus selalu mengandalkan investasi untuk membiayai pembangunan daerah, namun ada kerangka untuk memaksimalkan penggunaan asset-asset yang dimiliki masyarakat.

Untuk mengembalikannya, perlu dilakukan penataan ulang struktur agraria. Reforma agraria adalah langkah untuk mengembalikan kemampuan produksi masyarakat dalam bidang pertanian sebagai pondasi utama pembangunan daerah. Langkah dalam redistribusi asset juga harus diikuti kebijakan yang berpihak pada pembangunan pertanian misalnya, proteksi, pengembangan kapasitas sumber daya manusia petani. 

Di kalangan elit pemerintahan baik legislative maupun eksekutif juga harus dilakukan gerakan pembersihan dari mafia-mafia perijinan dan proyek. Mereka inilah yang merusak kerangka pembangunan daerah. Mereka hanya mengejar keuntungan sesaat tanpa mempertimbangkan pembangunan daerah yang berkelanjutan.













Baca selengkapnya...

Keruhnya Pengelolaan Air Bersih

Oleh Dimas Herjun

Meskipun Indonesia dikaruniai banyak air dengan curah hujan yang relatif tinggi, namun kelangkaan air tetap terjadi di berbagai daerah. Banyak warga yang kesulitan mengakses air bersih. Air bersih menjadi kebutuhan mendasar yang tak terpisahkan dari hidup dan kehidupan manusia.

Berbagai upaya untuk mengatasi kelangkaan air bersih ini pun sebenarnya telah dilakukan warga seperti dengan memperdalam sumur bor atau bahkan membuat sumur bor baru. Seperti yang dialami oleh Rifan (30), salah sorang warga Jln. Gunung Slemet, Kelurahan Grendeng, Kecamatan Purwokerto Utara, “Ini sudah yang kedua kali saya ngebor sumur, mas. Yang pertama airnya berminyak, baru yang terakhir ini setelah pindah agak ke timur rumah airnya agak lumayan bersih.” Terkadang sungai menjadi pilihan alternatif lainnya, walaupun banyak sungai yang terbilang tidak jernih.

Tak jauh berbeda dengan warga yang menjadi pelanggan PDAM. Walaupun telah membayar untuk pasokan kebutuhan air bersih, ternyata permasalahan untuk mendapatkan air bersih masih menjadi problematika yang tak kunjung selesai. Bahkan terus berulang dari tahun ke tahun. Dari sedikitnya jumlah air yang keluar dari kran hingga bau tak sedap dan keruhnya air yang keluar. Khususnya jika masa paceklik air di musim kemarau datang.

“Khususnya jika kemarau, air yang keluar sedikit sekali.” Ungkap Benny, seorang warga Kecamatan Purwokerto Timur. “Terkadang airnya malah keruh dan bau, jadi tidak bisa dipakai untuk keperluan sehari-hari.” Ujarnya menambahkan. Setidaknya pengalaman seperti inilah yang dialami oleh sekitar 500 pelanggan PDAM di wilayah Purwokerto.

Menanggapi hal ini, Direktur Utama PDAM Kabupaten Banyumas, Ahmad Hussein, menyatakan bahwa bau dan keruhnya air hanya sementara. “Hanya terjadi di awal-awal saja, tidak lama. Setelah kurang lebih 1 sampai 2 minggu keadaan airakan kembali normal.” Tekannya. Kondisi seperti ini menurutnya di sebabkan karena PDAM menyalakan sumber air yang berasal dari sumur dalam yang menjadi pasokan tambahan PDAM Banyumas karena mengecilnya debit air yang dihasilkan dari sumber mata air.

Bau air yang dialirkan PDAM ke pelanggan menurut Pak Hussein adalah bau yang berasal dari kandungan besi (Fe) dalam air. Namun menurutnya air ini masih aman karena masih berada pada batas ambang aman untuk dikonsumsi. “Kondisi air dengan kandungan Fe 1mg ini secara fisik memang bermasalah di masyarakat, yaitu air yang keruh dan berbau besi, namun masih aman untuk diminum.” Papar bapak paruh baya ini tegas.

Bertolak dari adanya keluhan yang dialami oleh pelanggannya, PDAM sebagai perusahaan penyedia air bersih, mengakui keterbatasannya dalam mengolah air dari sumur dalam. “PDAM hanya mampu membatasi kadar Fe yang tinggi dalam air dari sumur dalam hingga batas ambang aman konsumsi yaitu 1mg.” jelasnya.



Berbeda dengan air dari sumber mata air yang sudah jernih sehingga dapat langsung disalurkan setelah diberi gas Klor pada reservoir.”Dari sumber mata air langsung dimasukkan ke reservoir, karena air sudah jernih, jadi tinggal diklorinasi untuk menghilangkan bakteri, kemudian di salurkan kepada pelanggan”. Tutur Direktur Teknis PDAM, menjelaskan. Air dari sumur dalam harus melalui beberapa tahap aerasi lebih panjang untuk mendapatkan kualitas air yang layak konsumsi. “Pada sumur dalam, karena airnya belum sepenuhnya jernih maka, dilakukan proses pengendapan dan penyaringan, agar air menjadi jernih seperti pada sumber mata air, sebelum diklorinasi dan dialirkan ke pelanggan.” Ujarnya lagi.

Menurut penjelasn Pak Hussein, tahapan-tahapan aerasi tersebut merupakan tindakan yang dilakukan untuk memperoleh air bersih yang berkualitas bagi pelanggannya. Selain melakukan tahapan- tahapan pengolahan air di reservoir, PDAM dalam usaha menjaga kualitas airnya juga melakukan kerjasama dengan lembaga lain, yaitu Laboratorium Dinas Kesehatan Banyumas. ” Dalam melakukan pengelolaan air bersih di wilyah Banyumas Dinas Kesehatan (DinKes) selalu melakukan koordinasi berkala dengan dinas dan instansi terkait, seperti salah satunya adalah dengan PDAM selaku pengelola air minum.” Jelas Ibu Siwi Utami Kepala Bagian Sanitasi (PPTK Pengendalian dampak dan resiko pencemaran lingkungan) Dinas Kesehatan Kab. Banyumas.

“DinKes dan PDAM melakukan kordinasi kerjasama secara berkala untuk merlakukan pengecakan terhadap sumber mata air yang dikelola oleh PDAM. Dalam hal ini Dinas kesehatan menyediakan jasa laboratorium pengujian sample kualitas kadar air layak minum. Sample air ini dilakukan oleh petugas yang ada di puskesmas-puskesmas terdekat dengan daerah pengambilan sample air.” Lanjut Ibu ramping berkerudung ini.

Berkenaan dengan pengambilan sample uji coba air agaknya terjadi ketidak percayaan di antara dinas yang bekerjasama. Terlihat dari bentuk pola kerjasama yang terbangun antara PDAM dengan DinKes. Salah satunya tentang penentuan dimana tempat yang harus diambil sample airnya. Menurut Bu Siwi, pihaknya menunggu pemberitahuan terlebih dahulu dari PDAM. “Penentuan tempat pengambilan sample air dilakukan melalui koordinasi antara DinKes dengan PDAM dengan maksud agar pengambilan sample tepat di wilayah air yang dikelola oleh PDAM, bukan yang lain,” ujarnya. Hal tersebut, menurut ibu muda ini, adalah untuk meminimalisir kesalahan pengambilan sample air. “Ada ketkutan yang diambil bukan dari sumber yang dikelola PDAM,” lanjutnya.
Di sisi lain, pihak PDAM sendiri mengakui bahwa sebenarnya telah memiliki tenaga ahli dan laboratorium sendiri untuk pengujian kualitas air. Namun tetap bekerjasama dengan DinKes hanya bermaksud untuk mencocokkan hasil uji coba. “Kami sebenarnya sudah punya petugas dan laboratorium sendiri. Kerjasama dengan DinKes hanya untuk keperluan pencocokkan hasil sample. Apakah sama atau tidak?” ungkap pak Hussein.

Permasalahan lain juga terlihat ketika beralih pada kauntitas air bersih yang berkaitan dengan ketersediaan sumber mata air. Pak Ahmad Hussein enjelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan air 40.000 pelanggannya, yang 22.000 diantaranya berada di wilyah Purwokerto, pihaknya telah menemukan setidaknya lima sumber mata air baru di daerah Baturraden, Ajibarang dan Sokaraja. Usaha penemuan sumber air baru ini dilakukan karena sumber-sumber air terdahulu debit airnya telah jauh berkurang, bahkan ada kemungkinan kemungkinan menghilang. Sehingga upaya pencarian sumber baru harus terus dilakukan.

Walaupun sebenarnya, ketika merujuk pada penjelasan dari Ir. Zahnir, M.Pd, M.Si, Kepala Bidang Pelestarian Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Banyumas. Pencarian ini tidak harus terjadi jika perawatan terhadap sumber mata air dan sumber air lainnya dilakukan dengan benar. “Di sekitar daerah mata sudah seharusnya ditanami dengan pohon-pohon besar yang berakar tunggang. Karena akar dari pohon itu akan membantu menahan air, sehingga mata air tetap terjaga baik pada musim hujan dan kemarau sumber mata air tidak akan kekurangn air karena masih memiliki simpanan air yang di tahan oleh pohon-pohon besar tersebut,” Ia juga mlanjutkan bahwa, “Penanaman pohon-pohon besar di sekitar sumber air ini wajib dilakukan jika tidak ingin mata air tersebut menghilang,” tegas bapak berperawakan gempal ini.

Berbeda dengan pendapat Dirut PDAM, dia mengatakan bahwa kondisi sumber mata air tergantung dari hutan yang ada di atasnya dan penanaman pohon-pohon besar hanya akan mengganggu. “Kondisi sumber mat air tergantung pada kondisi Hutan sebagai penyuplai asupan air bagi sumber mata air. Pananaman pohon-pohon besar disekitar sumber mata air hanya akan menggangu, karena pohon-pohon tersebut akan menyerap air dan menguapkannya. Sehingga untuk penghijauan disekitar sumber mata air hanya dilakukan atas dasar estetika lingkungan semata,” ungkapnya.

Melihat ketidakharmonisan koordinasi antar lembaga pelayan masyarakat dalam satu lembaga payung bernama Pemerintah Daerah seperti ini. Nampaknya susah bagi masayarakat untuk membangun kepercayaan terhadap mereka. Sehingga sudah saatnya masyarakat untuk berusaha sendiri atas kesejahteraannya.[]

Baca selengkapnya...