Monday, February 12, 2007

Permasalahan Pemasaran Produk Pertanian di Banyumas: Studi Kasus Desa Kemawi, Kec. Somagede

Oleh Widya K.


Penduduk Desa Kemawi, desa yang berada di perbukitan Serayu Selatan ini sudah sepatutnya bersyukur atas rahmat dan karunia Sang Pencipta yang telah menumbuhkan berbagai jenis tanaman dari tanah-tanah pekarangan maupun kebunnya sebagai sumber kehidupannya. Desa ini berpenduduk 5.530 orang yang terbagi dalam 1.378 KK., sebagian besar menjalani profesi sebagai petani dan pengrajin gula kelapa, sehingga sektor pertanian niscaya menjadi tumpuan penghidupan utama bagi mereka. Kemawi, memang cukup beruntung, setelah sempat berjaya dengan komoditas cengkeh pada akhir 80-an, meskipun belum ada komoditas yang diakui masyarakat dapat menggantikan, namun beranekaragam jenis tanaman yang saat ini dibudidayakan telah dapat memberikan kontribusi pendapatan yang cukup layak bagi kelangsungan hidup keluarga petani.

Berdasarkan survey pemasaran produk pertanian yang dilakukan Babad, diketahui bahwa sedikitnya terdapat 21 produk pertanian yang biasa diperdagangkan di Kemawi dengan volume/jumlah produksi yang masih terbatas hingga yang melimpah ruah, sehingga saat pada musim panen tertentu (panen raya) seringkali dihargai murah oleh tengkulak[1] maupun pengepul.[2] Sebagian besar produk yang dihasilkan Kemawi berasal dari tanaman tahunan, karena kondisi ekofisiologisnya, dengan tanah podzolik merah kuning dan kondisi iklim dataran tinggi kering yang ada lebih mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman tersebut dibandingkan tanaman pangan dan sayuran yang banyak di budidayakan di wilayah lain di Kec. Somagede. Kondisi ini justru menguntungkan, karena beberapa komoditas seperti pala, cengkeh, kopi, melinjo, durian, duku dan jahe menjadi jenis komoditas unggulan yang jarang bahkan tidak ditemui di wilayah Kabupaten Banyumas lainnya.

Walaupun, tidak menghasilkan tanaman padi sebagai bahan makanan pokok, penduduk Kemawi tetap bisa membiayai kebutuhan pangan harian dari hasil penjualan gula kelapa. dan warung hidup yang dikelolanya di sekitar rumah (pekarangan). Rata-rata kepala keluarga (KK) dapat memproduksi gula kelapa sebanyak 3-4 kg per hari. Sementara itu, tanaman palawija (kacang tanah, ketela pohon); tanaman obat (jahe); tanaman rempah (pala, cengkeh, kopi, lada); tanaman hutan (melinjo, petai, jengkol) dan tanaman buah-buahan (duku, durian, kelapa) menjadi sumber pemasukan lain bagi kebutuhan yang lebih besar seperti biaya sekolah, biaya kesehatan dan pemeliharaan rumah. Adapun, tanaman kayu (albasia, jati, mahoni, sonokeling, akasia) baru dipanen saat petani membutuhkan biaya dalam jumlah besar, seperti investasi (membeli tanah, sawah), pernikahan, kesehatan, dan pembangunan rumah.

Roda perekonomian pada sektor pertanian berjalan dengan adanya jual-beli antara petani sebagai produsen dengan lembaga pemasaran (tengkulak, pengepul). Sebagian besar tengkulak merupakan penduduk Kemawi, sehingga sebagian besar dari mereka juga menjadi pemilik warung untuk menyediakan kebutuhan petani sehari-hari. Jadi ketika mereka membeli hasil petani, terutama gula kelapa, biasanya dibarter/ditukar dengan barang yang dibutuhkan oleh petani. Berdasarkan Kecamatan Somagede dalam Angka Tahun 2005, di Kemawi terdapat 43 warung yang tersebar di 16 dusun, maka di setiap dusun terdapat sekitar 2-3 warung. Menurut Pujo, salah satu pedagang di dusun Cerean, transaksi atau jual-beli yang lazim dipraktekannya adalah tebas atau ijon. Menurut penuturannya, tanaman yang sering dijual secara tebas oleh petani adalah cengkih, petai, jengkol, pala, melinjo, durian, dan duku jika hasil produksi tanamannya melimpah; dan kayu jika jumlahnya sedikit. Khusus, untuk komoditas cengkih, pala dan melinjo, ia melakukan nilai tambah dengan menguliti buah dan pengeringan, sehingga harga jual ke pengepul menjadi lebih tinggi. Pada musim panen raya, ia bisa mengepul 1 ton buah cengkeh basah dan sekitar 5 kuintal pala basah. Sementara itu, tanaman yang sering di-ijon-kan oleh petani adalah cengkih dan pala. Praktek ini dilakukan jika ada petani yang sedang benar-benar membutuhkan uang, sehingga semata-mata bukan untuk mencari keuntungan akan tetapi juga memberikan bantuan.

Menurut Junaedi, Ketua KSM Sekar Kuning, budaya tebas dan ijon, telah menjadi hal yang akrab bagi petani Kemawi, bahkan telah mendarah daging. Petani lebih menyenangi menjual secara tebas karena mereka tidak perlu melakukan pekerjaan tambahan (pemetikan hasil) ketika panen tetapi sudah langsung menerima uang cash, “nyingget pegawean Mbak, dadi bisa nyekel gawean liyane” ujarnya sambil tersenyum. Alasan lain yang sering diutarakan untuk lebih memperkuat pilihan cara penjualan tebas adalah mereka membutuhkan sejumlah uang yang harus dipenuhi dalam tempo waktu yang cepat.”Dadi nek wohe wis katon abang-abang utawa mateng , ya cepet-cepet bae ditawakna maring tengkulak Mbak, apa maning nek wis kudu mbayar utang, yang langsung bae cepet-cepet didol,” penjelasannya lebih lanjut. Beberapa petani, seiring dengan perbaikan infrastruktur jalan dan kemudahan untuk memperoleh akses kendaraan kredit pun memilih untuk menjual langsung hasil buminya ke Pengepul di Kecamatan. Dua sentra pengepul yang sering dikunjungi petani maupun tengkulak Kemawi adalah Sokawera dan Somagede. Infrastuktur jalan yang telah diperbaiki pada akhir 2003, diakui sangat berkontribusi dalam pemasaran produk mereka karena bisa lebih mendekatkan mereka ke pasar (jarak Desa Kemawi ke pasar terdekat sekitar 10 km) dan memudahkan mereka dalam memperoleh informasi pasar produk. Pak Junaedi mencontohkan, Saat panen petai kemarin ia bisa mengetahui harga jual petai di Sumpiuh lebih mahal dibandingkan Sokawera yaitu Rp 6.000,- per bendel, jadi terdapat selisih Rp 1.000,- per bendel dibandingkan harga yang ditawarkan oleh Pengepul di Sokawera Rp 5.000,-, walupun sebenarnya harga keduanya sangat murah. Hal ini memang salah satu kelemahan produk pertanian, karena produk pertanian yang cenbderung homogen dan diproduksi secara massal mudah diperoleh dari produsen (petani) mana saja, sehingga jika petani menaikkan harga, pembeli dapat mencari dari produsen laiinya. Walaupun melakukan penjualan sendiri ke pengepul, sebagian besar produk pertanian tetap dijual secara mentah karena mereka “sungkan” (tidak telaten) untuk melakukan pasca panen produk. Walaupun, harga beli yang diterima murah, dan sering dikeluhkan, praktek ini tetap dijalankan hingga sekarang.

Salah satu tengkulak (pengepul di tingkat desa) yang sudah memulai usahanya sekitar tahun 1985, Salud, menuturkan, sekitar awal tahun 2002, persaingan pemasaran di wilayah Kemawi cenderung lebih berat. Hal itu disebabkan banyak tengkulak baru yang mulai ikut bermain untuk turut mengais rezeki. Pria yang telah menekuni profesi pedagang selama 13 tahun ini menuturkan bahwa saat ini, dia mengkhususkan diri untuk menampung hasil gula kelapa dari petani di sekitar tempat tinggalnya (dusun Wanacala,Wanasari dan Wates) untuk dipasarkan ke luar kota, Yogyakarta dan dijual ke pengepul kecamatan, Pak Hodo, di Somagede. Sebelumnya, ia juga mengepul berbagai macam produk pertanian yang dihasilkan di Kemawi seperti petai, cengkeh, melinjo, jengkol, duku, kayu dan sebagainya, bahkan ia mendatangi lokasi-lokasi panen di wilayah Kemawi untuk mencari barang. Ketika itu, ia bisa mengepul hingga 0,9-1 ton melinjo per hari, atau cengkeh sekitar 1 kwintal basah per hari. Khusus, komoditas gula kelapa, per hari tidak kurang dari 4 kwintal dapat ditampungnya, bahkan pada saat tertentu ia bisa mengepul sebanyak 9 kuintal per hari. Namun, saat ini dapat mengepul gula kelapa sebanyak 2,5 kuintal saja sudah disyukuri. “Yah rejeki kan kudu dibagi-bagi ya Mbak, masak sing liyane mlarat bae, inyong dhewek-dhewek makmur kan kurang bener”, candanya. Untuk mempertahankan petani pemasok gula, mau tidak mau ia harus menyediakan uang untuk memenuhi kebutuhan petani terlebih dahulu. Nampaknya, ini pilihan satu-satunya untuk mempertahankan produsen gula, ujarnya sambil tertawa. Diakui, olehnya semenjak perbaikan infrastruktur jalan, mulai banyak penduduk Kemawi yang menjual langsung dagangannya ke pengepul di bawah (Sokawera dan omagede) dengan motor kreditan, mengurangi pendapatannya. Untuk tambal sulam, pendapatan yang hilang, karena petani kini tidak lagi menjual barang kepadanya, ia kini menjual jasa transportasi.

Ditanya tentang praktek ijon, pria beranak tiga ini, menuturkan, bahwa dirinya sudah jarang sekali melakukannya. Menurutnya, praktek ijon lebih banyak menguntungkan salah satu pihak, sehingga pihak lain banyak dirugikan. Ia melakukan ijon, jika kondisi petani yang meminta ijon memang benar-benar membutuhkan. Menurutnya, keuntungan ijon mirip riba, sedangkan riba diharamkan oleh agama, jadi ketika ia melakukan ijon. Beberapa petani mulai meninggalkan praktek ijon saat ini, tambahnya.

Nampaknya praktek-praktek jual-beli atau pemasaran produk pertanian yang ada di Kemawi, sudah sedemikian mapan sebagai pilihan cara terbaik petani menjual produknya kepada pembeli. Bahkan ketika petani sebenarnya merasa dirugikan dengan nilai tukar rendah dari tengkulak/pengepul, mereka tetap memilihnya, karena tidak ada alternatif cara lain yang lebih baik atau menjanjikan bahwa cara lain ini dapat memberikan nilai tukar yang lebih tinggi bagi produk mereka. Selain itu, akses dan informasi pasar yang lebih luas juga belum bisa diperoleh oleh petani, disamping sifat individual petani untuk melakukan jual-beli. Transaksi yang terjadi memang tidaklah sesederhana tentang petani menjual produk kepada orang lain, akan tetapi rentetan ketergantungan petani kepada tengkulak/pengepul juga merupakan salah satu jerat yang sulit untuk dilepaskan begitu saja oleh petani, seperti pinjaman atau kredit dari lembaga pemasaran yang bersifat mengikat sehingga memperlemah kedudukan petani dalam proses penentuan harga. Pola pikir yang ada dan gaya hidup yang dipilihnya ikut berkontribusi di dalamnya, sehingga pengelolaan aset-aset yang dimiliki habis untuk membiayai pola dan gaya hidup konsumtif.

Untuk permasalahan pemasaran di Kabupaten Banyumas secara luas, nampaknya Pemda melalui Dinas terkait belum bisa menjembatani kebutuhan ini. Pasar lelang Barlingmascakeb sepertinya belum bisa menyentuh persoalan mendasar petani, seperti penyediaan akses pasar dan bagaimana meningkatkan posisi tawar petani dalam pasar. Beberapa hal yang telah diperankan Dinas terkait untuk meningkatkan posisi tawar petani adalah program pelatihan pasca panen untuk memberikan nilai tambah pada bentuk. []

[1] Tengkulak adalah salah satu lembaga pemasaran yang secara langsung berhubungan dengan petani.
[2] Pengepul atau pedagang pengumpul adalah pembeli komoditi pertanian dari tengkulak

No comments: