Monday, February 12, 2007

Bu Giyem, Emping Melinjo dan Kemandirian Petani

Oleh MN. Latief

Dusun Cerean, Kemawi, akhir 2006. Kami berniat mendatangi rumah Bu Giyem, pelopor pengrajin empling Melinjo di desa Kemawi, kecamatan Somagede, Banyumas. Tak sulit mencarinya, semua tukang ojeg di gerbang desa Kemawi, kenal baik sosok ini. “Oh…tahu mas, bu giyem Mbah Carik kan? Sing nggawe emping kae mbok?”, jawaban para tukang ojek saat kami tanya arah menuju rumah bu Giyem. Tanpa ragu, mereka segera menunjukan jalan.
Waktu bertandang, rumahnya sedang direnovasi, agak berantakan, potongan kayu bertebaran disana-sini. ”Eternitnya sudah pada rusak, sering buat kejar-kejaran kucing sama tikus” ujar Bu Giyem, sambil mempersilahkan kami masuk.

Nama lengkapnya Sugiyem, umurnya sudah lebih dari setengah abad. Dia diperistri oleh mantan Carik di Desa Kemawi, karena itulah dia sering juga ikut-ikutan dipanggil oleh tetangganya Mbah Carik. Biasanya, istri orang penting di desa mempunyai seabreg kegiatan, tapi bagi bu Giyem bukan itu alasan satu-satunya untuk aktif berkegiatan di desanya.
”Saya itu orangnya tidak bisa diam, harus ada sesuatu yang saya kerjakan” ujarnya. Maka dia terlihat sangat menikmati berbagai kesibukan, mulai dari menjadi ketua kelompok Sekar Mulya, Dasawisma, arisan, bahkan dia menjadi ketua PKK desa, jabatan yang biasa dipegang oleh istri kepala desa.

Aktifitasnya di kelompok Sekar Mulya inilah yang mengantarnya menjadi ”pengusaha” emping. Awalnya, mereka berkenalan dengan BABAD, sebuah NGO di Purwokerto yang bergerak dalam pemberdayaan dan usaha ekonomi rakyat. Dengan NGO ini, mereka belajar berkelompok dan berorganisasi dengan lebih rapi, menggunakan prinsip-prinsip manajemen usaha tani. Kelompok Sekar Mulya kemudian menentukan kegiatan utamanya, yaitu mengembangkan usaha pasca panen yang berbasis sumber daya lokal.

Awalnya kegiatan kelompok ini sama dengan kelompok-kelompok tani lain yang didampingi oleh yayasan BABAD, berusaha menguatkan aspek produksi pertanian. Mulai dari bertanam Jahe Gajah, pembibitan tanaman usia panjang, membuat pupuk organik, mengelola lahan kelompok dan menanaminya dengan sayur mayur. Namun apa daya, sekian usaha telah dilakukan, namun hasil maksimal dari pengelolaan lahan belum juga didapat. Belum lagi urusan domestik yang menyita banyak waktu ibu-ibu ini, maka pekerjaan mengelola lahan dan mengembangkan pertanian kelompok terabaikan. Karena itulah mereka beranjak mencari usaha lain. Terpikir oleh Bu Giyem untuk mengembangkan usaha pasca panen Emping Melinjo. Pilihan ini bukan tanpa alasan, salah satu anggota kelompok pernah sukses mengembangkan usaha ini, namun karena kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, usaha ini tidak diteruskan. Dari hasil analisis usaha pun terlihat bahwa pengolahan melinjo mempunyai prospek pasar yang cukup besar, bahkan berapapun jumlah emping yang dihasilkan pasar masih tetap bisa menyerapnya. Masyarakat Kemawi biasanya membutuhknan emping dalam jumlah besar untuk acara-acara hajatan, selain konsumsi harian mereka.

Rantai Pertanian
Usaha pasca panen, menurut logika Pertanian Berkelanjutan yang dikembangkan oleh yayasan pendamping mereka adalah salah satu bagian penting dalam rantai pertanian berkelanjutan selain rantai produksi dan distribusi. Pengolahan hasil pertanian secara mandiri diyakini mampu meningkatkan value added produk, selain menyiasati sifat-sifat rentan hasil pertanian, seperti mudah rusak, tidak tahan lama, tidak tahan gesek, dan rentan terhadap perubahan cuaca.
Kemawi mempunyai cadangan Melinjo cukup melimpah. Setiap musim panen, daerah ini bisa menghasilkan 21 ton. Jika musim sedang bagus, dalam setahun bisa tiga kali panen. Dengen perhitungan ini, Bu Giyem yakin usahanya tidak akan kekurangan bahan baku.
”Untuk membuat 30 kg emping tiap bulan melinjo dari kemawi sudah cukup, tidak perlu nyari di desa lain” ungkap bu Giyem. Bahan baku dibeli dari petani langsung, tiap kilogram melinjo yang sudah dikupas kulitnya dihargai Rp. 2.250-Rp.2500, biji melinjo belum dikupas dihargai Rp. 500,-. Emping yang mereka hasilkan tergolong emping yang berkualitas bagus, mereka mengistilahkan dengan kualitas super. Cara pembuatannya sederhana, hanya butuh ketekunan. ”Tidak ada rahasianya mas” ungkap bu Giyem.

Proses pembuatan emping dimulai dari memisahkan biji dari kulit Melinjo. Biji melinjo yang masih bercangkang kemudian digoreng dengan pasir, bukan dengan wajan biasa, tapi sangan sejenis wajan yang terbuat dari tanah liat. Setelah itu, cangkang dibuang dan biji melinjo yang berwarna putih dipipihkan dengan cara dipukul. Satu keping emping dibuat dari 3 buah biji Melinjo, karena itulah berat melinjo menyusut, tiap satu kuintal Melinjo hanya menghasilkan 30 kg emping. Dengan kapasitas produksi saat ini, mereka belum mampu memenuhi pasar luar desa. ”Buat mencukupi permintaan di sini saja kami sudah kewalahan” ujar Bu Giyem.

Kemandirian dan Pertanian Masa Depan
Usaha Bu Giyem dan kelompok Sekar Mulya belum lagi berkembang besar, namun ada semangat untuk mengembangkan perekonomian keluarga berbasis sumber daya lokal. Inilah awal kemandirian, memulai dengan apa yang dimiliki, mengembangkan dan mendapatkan hasil darinya. Bu Giyem dan kelompoknya telah memberikan teladan yang baik. ”Memulai sesuatu memang dari hal yang kecil, tidak bisa langsung besar dan membawa keuntungan, apalagi usaha seperti ini, kita harus benar-benar sabar dan ulet” papar Bu Giyem.

Total produksi 30 Kg perbulan belum cukup untuk di”ekspor”, kecuali satu permintaan khusus dari Bandung, itupun karena pesanan salah seorang tetangga yang sedang membuka warung kecil-kecilan disana. Oh ya..setiap kilogram emping melinjo kualitas kelas 1 dihargai Rp. 18.000, untuk kualitas kelas 2 dijual dengan harga Rp. 15.000,- Perbedaan kualitas disebabkan karena rasanya, kualitas kelas 1 biasanya berwarna putih, rasanya gurih, terasa melinjo-nya dan lebih mengembang waktu digoreng. Sedangkan kualitas nomor 2 Emping berwana agak kelam, rasa melinjonya agak samar dan tidak mengembang sempurna jika digoreng.
Bu Giyem dan kelompoknya sedang berusaha memotong rantai pertanian yang selama ini membelenggu petani. Mereka memangkas jalur distribusi produk pertanian dan mengolahnya menjadi barang siap konsumsi. Sedikit demi sedikit mereka menggeser peran tengkulak dalam rantai pemasaran produk pertanian, menggantikannya dengan kemandirian, kerja keras petani untuk menghasilkan keuntungan yang sebanding dengan kerja keras petani.[]

2 comments:

Muhaimin said...

Bos Minta Artikelnya Ya......Terimakasih.

Anonymous said...

itu empingnya dijual mentah atau mateng?