oleh M.N. Latief
Dulu, di tahun 70-an, di Indonesia beberapa orang yang mulai gelisah dengan cara pembangunan pemerintah Soeharto membentuk perkumpulan-perkumpulan. Kegiatannya, diskusi, maklum mereka adalah mahasiswa, muda-mudi yang hidup bergelimang teori dan konsep. Kelompok-kelompok diskusi ini menjamur sampai mereka menyadari bahwa hanya dengan diskusi masalah pembangunan tidak akan selesai. Akhirnya, mereka mulai merumuskan apa yang ada dalam pikiran dan perdebatan mereka menjadi suatu konsep tanding pembangunan versi pemerintah orde baru. Penggeraknya adalah keinginan untuk mempromosikan dan melibatkan masyarakat dalam pembangunan. Mereka inilah cikal bakal LSM atau ornop yang sekarang berkembang pesat di Indonesia. Walaupun ada yang mengatakan cikal bakal NGO di Indonesia telah muncul pada masa pra kemerdekaan, namun generasi 70-an merupakan generasi yang menancapkan ”ideologi alternatif” bagi pembangunan di Indonesia.
Pasca reformasi, LSM atau NGO menjamur, perkembangannya sangat pesat. Fokus dan kegiatannya beragam, visi, misi, pendekatan, dan isu yang dikembangkannya tak terbilang banyaknya. Dari banyak ragam NGO, kita sering membedakan jenis NGO ini dalam 2 (dua) kategori. Pertama adalah NGO yang bergerak dalam bidang community development, menggunakan pendekatan mikro dalam mencoba memecahkan persoalan sosial. Mereka suka mengerjakan proyek-proyek pengembangan sosial ekonomi pedesaan, melakukan pendampingan pada industri rumah mikro dan menengah. Mereka percaya pada kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalahnya sendiri. David Corten menyebut mereka sebagai small scale, self reliance local development.
Jenis kedua adalah NGO yang bergerak pada bidang advokasi. Jenis NGO ini percaya bahwa untuk merubah tatanan masyarakat yang tidak adil, maka tekanan harus diberikan pada kebijakan. Mereka berusaha merubah kebijakan-kebijakan penyebab ketidakadilan. David menyebut mereka sebagai generasi sustainable system development. Mereka percaya bahwa masalah mikro dalam masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan masalah politik pembangunan nasional. Maka penanggulangan masalah pembangunan hanya bisa dimungkinkan jika ada perubahan struktural. David Corten menambahkan satu lagi kategori NGO, yaitu NGO people movement. Mereka berusaha agar terjadi transformasi struktur sosial masyarakat dan setiap sektor pembangunan yang mempengaruhi kehidupan. Visi dasarnya adalah cita-cita tercapainya dunia baru yang lebih baik, karena itu perlu melibatkan semua penduduk dunia.
Kritik Terhadap NGO
Namun, kadang kala model advokasi kasus yang dilakukan NGO harus mendapatkan otokritik dari kita. Pada awalnya advokasi banyak diidentifikasikan dengan kegiatan reclaiming, unjuk rasa, vergadering, kesemuanya menunjukan pelibatan massa rakyat dalam proses advokasi. Perkembangannya menunjukan bahwa advokasi sekarang lebih didominasi oleh kegiatan riset, kampanye, penyusunan counter paper dan kegiatan elitis lain. Bermacam kegiatan ini muaranya adalah menjauhkan rakyat dari medan juangnya. Bahkan banyak pihak mengartikan bahwa advokasi ala NGO secara sistematis membunuh semangat perlawanan dan daya kritis masyarakat. Advokasi NGO telah menempatkan advokasi ala rakyat menjadi aktifitas yang tertinggal dan tidak berkembang.
Bahkan parahnya, NGO menebar hegemoni baru pada rakyat. Melahirkan patron baru atau sengaja melahirkan patron baru, karena jika ada rakyat yang berpatron padanya maka eksistensi lembaga akan semakin besar. Jika sudah seperti ini, rakyat menjadi terkotak-kotak, terfragmentasi dan sulit untuk menggalang persatuan yang lebih luas. NGO tidak menemukan titik temu komunikasi antar organisasi rakyat selain kepentinggannya sendiri. Mereka mendekap erat komunitas yang telah menjadi dampingannya dan tidak mau berkomunikasi dengan organisasi lain.
Di sisi lain, independensi NGO juga rentan terhadap intervensi dan komando dari penyandang dana yang tentu memiliki banyak kepentingan.
Gerakan Perbaikan
Salah satu gagasan untuk melakukan memperbaiki praktek NGO adalah dengan ekstrim menghilangkan eksistensi kelembagaan NGO. Sebagai fasilitator rakyat, cukup individu-individu yang memiliki perhatian terhadap gerakan rakyat. Mereka akan lebih efektif membentuk kesadaran politik rakyat.
Gagasan tersebut memang radikal, ingin memangkas peran entitas yang mengganggu akselerasi perjuangan rakyat. Bagi mereka yang mengusung gagasan ini, menyingkirkan satu elemen yang membawa pengaruh buruk lebih baik dari pada membiarkan gerakan sosial membusuk.
Terlepas dari kritik tersebut, ada baiknya kita juga berpikiran bahwa baik buruk peran NGO dalam konstelasi gerakan sosial di tanah air tidak dapat begitu saja dihapuskan. NGO telah menjadi salah satu potongan puzzle gerakan sosial. Dia seolah telah mempunyai lapak tersendiri dalam perkembangan gerakan sosial. Jika dia tidak ada, maka tidak lengkap sketsa gerakan sosial di tanah air. Tanpanya, tidak ada skema saling melengkapi dalam sketsa gerakan sosial. Tidak ada yang bisa seluwes NGO. Bahkan konon, gerakan pra kemerdekaan diawali dengan perkumpulan-perkumpulan voulenterism yang kurang lebih sama dengan generasi pertama NGO di Indonesia.
NGO mempunyai peran yang cukup berarti dalam pembangunan gerakan sosial di Indonesia. Dalam hal advokasi misalnya, kasus-kasus sengketa agraria di Jawa banyak yang didampingi oleh NGO. Mereka melakukan banyak peran pada awal-awal penanganan kasus, mulai dari pendidikan kritis, pengorganisasian, kampanye, mengorganisasi aksi, sampai menyusun kronologi kasus secara lebih sistematis dan informatif. Mereka membawa kasus-kasus publik yang awalnya hanya menjadi problem sekelompok masyarakat, menjadi kasus yang dimengerti masyarakat umum dan menjadi perhatian publik. Belum lagi NGO yang berhasil melakukan ”intervensi” ke pemerintah. Mereka banyak menyumbang ide untuk merubah wajah bengis otoritarianisme menjadi wajah yang lebih manis. Konsep pembangunan partisipatif yang kini sedang ramai dijalankan pemerintah sadar atau tidak sadar adalah hasil sumbang saran dari kelompok NGO ini.
Namun, legitimasi etik dan sejarah ini bukan berarti menghentikan proses kritik yang berjalan. Pegiat NGO juga harus menyadari bahwa sekuat-kuatnya patron, suatu saat dia akan mengalami keruntuhan. Sekuat-kuatnya hegemoni, suatu saat ada kontra hegemoni yang muncul dan menghabisinya. Sebisa-bisanya NGO mempengaruhi pemerintah, suatu saat dia akan jatuh juga dalam pelacuran intelektual dan hanya menjadi legitimasi penguasa.
Dari kondisi inilah, NGO yang mentasbihkan dirinya sebagai salah satu pelaku gerakan sosial di Indonesia dan dunia harus melakukan reposisi, memperbaiki cara pandang dan perilakunya.
Salah satu poin penting dalam pembangunan gerakan sosial adalah menjaga stamina gerakan. Hal ini didasari bahwa perjuangan untuk menegakkan hak dan kedaulatan membutuhkan waktu yang panjang dan energi yang luar biasa.
Titik awal perubahan dan perbaikan pada NGO pada kesiapannya untuk melebur dan menguatkan gerakan rakyat. Tidak lagi ada subordinasi bagi gerakan rakyat dari NGO pendampingnya.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa memperbaiki NGO adalah dengan membalikan pandangan negatif dan perilaku kontraproduktif pada gerakan rakyat.
Pegiat NGO harus secara konsisten memulai sebagai rekan kerja organisasi rakyat, bukan lagi mengintervensi dan mengarahkan perjuangan. Dinamika internal organisasi rakyat dan kecerdasannya didorong untuk memimpin perjuangannya sendiri.
Thursday, February 8, 2007
Mengapa Kami Masih Bekerja di NGO
Labels:
Edisi Advokasi,
Opini
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment