Thursday, March 6, 2008

Lidah Yang Terjajah *

Oleh Tri Hadiyanto Sasongko

Selamat Datang Penjajah Baru


Telah banyak studi yang menunjukkan bahwa kapitalisme dan komersialisasi pangan** telah menembus ke ranah konsumsi. Sebagai contoh, Ritzer (1996), Setiawan (2003), Baudrillard (2004), Schlosser (2004), dan Jatmiko (ed) (2005) memaparkan bahwa telah terjadi proses kapitalisme dan komersialiasi komoditi*** pangan yang dimotori oleh berbagai perusahaan multinasional. Salah satu contoh yang paling nyata adalah menjamurnya berbagai resoran siap saji di seluruh penjuru dunia. Kini hampir tidak ada kota-kota besar di berbagai negara yang tidak disinggahi oleh McDonald’s, Kentucky Fried Chicken dan sebagainya. Contoh lainnya adalah makin membanjirnya produk pangan instan mulai dari toko swalayan hingga pasar tradisional. 


Salah satu kunci sukses kapitalisme dan komersialisasi pangan adalah homogenitas atau keseragaman. Bagi restoran siap saji, homogenitas dalam konteks ini berarti mereka memberikan produk dan layanan yang sama persis pada lokasi yang beraneka macam (Schlosser, 2004: 6-7). Dengan demikian, seseorang akan mendapatkan rasa yang sama, pelayanan yang sama, hingga suasana yang sama di mana pun ia makan. Bagi produk pangan instan homogenitas juga menjadi senjata utama kaum kapitalis. Produk pangan instan biasanya dilengkapi dengan berbagai bumbu yang telah ditakar ukurannya serta petunjuk cara memasaknya. Hal ini meminimalkan terjadinya perbedaan pemasakan dan penyajian yang biasa terjadi pada pangan tradisional. 

Homogenitas ini, menyebabkan orang susah sekali mendapatkan pangan asli yang benar-benar berbeda yang masih memiliki karakter aslinya (Ritzer, 1996: 136-137). Tanpa sadar, banyak orang yang telah membiarkan lidahnya terjajah oleh berbagai pangan cepat saji dan instan. Salah satu cirinya adalah ketika orang mulai terbiasa membeli dan memakan panganan (terutama pangan cepat saji) yang memiliki rasa dan aroma yang seragam dan mulai melupakan keanekaragaman cita rasa dan aroma panganan tradisional yang kaya akan berbagai bumbu tradisional. Yang paling mengerikan, penjajahan versi kapitalisme pangan kini tidak datang melalui tindakan yang represif dan melalui todongan senjata, tetapi melalui bujuk rayu yang manis (namun beracun) melalui pencitraan (iklan) besar-besaran di media massa.

Homogenisasi adalah “Budaya Baru”
Para penjajah baru yang bernama homogenisasi pangan masuk melalui pencitraan komoditi (iklan) yang ditawarkan melalui berbagai iklan di media massa. Salah satu citra yang ditawarkan adalah citra modern dan gaya hidup baru. Ada penciptaan “norma baru” di masyarakat seolah-olah membuat orang menjadi begitu udik, kampungan dan ketinggalan zaman bila belum pernah menyantap pizza, hamburger, serta berbagai produk instan lainnya. Pangan siap saji dan instan dianggap pangan elite oleh sebagian besar masyarakat kita (Khudori, 2005: 85). Kapitalisme industri pangan memang sangat lihai. Mereka berhasil “menciptakan kebudayaan”. Makan, bukan hanya urusan perut, melainkan juga gaya hidup (Redana, 1997). Dengan menyantap pangan siap saji atau produk instan konsumen bukan hanya akan terasa kenyang, namun juga akan terdongkrak kelas sosialnya (karena mampu menyantap “pangan elite”).

Pola makan di kota besar berubah dari pola tradisional yang banyak mengandung karbohidrat dan serat ke arah pola makan dengan kandungan protein, lemak, dan garam yang tinggi tetapi miskin serat. Melalui promosi besar-besaran di media masa, pola konsumsi dijajah oleh kapitalisme. Kredonya adalah kepraktisan. Tidaklah mengherankan bila kini banyak produk instan menjamur di mana-mana. Produk mie instan misalnya, disinyalir oleh Eviandaru dkk, (2001) telah muncul sebagai pangan alternatif pengganti nasi. Hal tersebut didasari pada suatu kenyataan bahwa telah terjadi penurunan konsumsi beras pada masyarakat berpenghasilan relatif tinggi karena beras telah menjadi bahan inferior (Amang dan Sawit, 2001). Bila kini kita masih mendengar istilah “belum makan jika belum makan nasi,” bukan tidak mungkin kelak kita akan mendengar istilah “belum makan jika belum makan mi instan”

Homogenisasi pangan tersebut pada akhirnya menciptakan homogenisasi pola makan. Hal ini telah terjadi pada era Orde Baru dengan program pemberasan nasional yang dimulai sejalan dengan dibentuknya Bulog pada tahun 1966. Keanekaragaman pola makan yang khas dari berbagai suku dan daerah di Indonesia secara perlahan menghilang dan bergeser ke satu jenis pangan, yaitu beras. Beras, yang kemudian diolah menjadi nasi, pada perkembangannya menjadi “kultus”. Pepatah mencari sesuap nasi menunjukkan bahwa nasi memiliki nilai yang sangat tinggi di masyarakat dan dianalogikan dengan rezeki. 

Mi Instan: Konstruksi Modernitas
Khusus untuk mi instan, produk ini memang bukan hanya menjadi idola bagi konsumen, namun juga menjadi primadona bagi para produsen. Alasannya? Jelas karena besarnya keuntungan yang dijanjikan. Contohnya adalah PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Per 30 September 2007 Indofood telah meraih consolidated net sales mencapai Rp19.67 triliun, 22.7 % lebih tinggi bila dibandingkan dengan Rp16.04 triliun pada tahun lalu. Tak mengherankan jika dalam sepuluh tahun terakhir, konsumsi bahan pangan dari terigu meningkat sangat pesat. Indonesia mengimpor gandum sekitar 4 ton setahun. Konsumsi terigu itu dipakai untuk industri bahan pangan bakmi basah (32%), mi instan (20%), biscuit (20%), roti (15%), mi telor (8%) dan sisanya 5% dikonsumsi langsung oleh masyarakat. (Khudori, 2005: 160-161).

Populernya mi instant disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya adalah gencarnya pencitraan produk tersebut melalui iklan di media massa. Lewat pencitraan visual, sebuah produk mi instan mengklaim dirinya sebagai makanan keluarga. Iklan tersebut menampilkan sosok-sosok yang mewakili berbagai kalangan, mulai dari seorang kiai, anak-anak, wanita karier, buruh bangunan, mahasiswa, petani dan sebagainya. Pencitraan tersebut merupakan upaya untuk mengukuhkan produknya sebagai makanan yang “menembus batas kelas sosial”. Makanan yang tidak memalukan dikonsumsi kelas atas, sekaligus terjangkau oleh kelas bawah. 

Pengiklanan tersebut secara khusus mampu menanamkan beragam citra pada produk yang ditawarkan yang memanipulasi konsumen untuk terus-menerus menggunakan produk mereka (Featherstone, 2001: 33-34). Sebuah iklan mi instan lainnya di televisi sangat menekankan pada sisi kepraktisan dan siap disantap tanpa persiapan waktu yang lama. Mi instan juga mudah disajikan oleh siapa saja, termasuk oleh anak lelaki, sehingga tidak mengharuskan perempuan untuk menghabiskan waktunya bekerja di dapur, sebagaimana dikonstruksikan oleh budaya patriarki selama ini. Perpendekan cost waktu ini membuat perempuan bisa mengalokasikan waktu dan tenaga untuk kegiatan lain guna memperbesar benefit. Bagi kaum miskin, efektivitas waktu ini sering menjadi pertimbangan utama. Meskipun terkesan merupakan suatu pemborosan, namun efektivitas waktu yang didapat membuat kaum miskin (terutama perempuan) dapat mengalokasikan waktunya untuk kegiatan lain yang menghasilkan uang. 

Hal yang paling dahsyat adalah munculnya kecenderungan pergeseran pola makan dari beras ke gandum. Dalam survei yang dilakukan oleh Eviandaru dkk (2001) menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran pola makan dari nasi ke panganan non nasi. Sebanyak 24,9% responden menyatakan bahwa nasi atau bukan nasi, bergizi atau tidak bergizi, sudah tidak lagi menjadi pertimbangan utama. Para responden mengakui bahwa kandungan gizi mi instan masih kurang, sehingga 49,5% responden masih perlu menambahkan telur atau daging dalam penyajiannya. Bahkan setengah dari mereka sadar bahwa mengkonsumsi mi instan berisiko terhadap kesehatan lantaran bahan pengawet di dalamnya. Anehnya, mereka justru menjadikannya sebagai makanan pokok sehari-hari (Eviandaru dkk, 2001). Dalam konteks ini alasan yang paling mendasar adalah mengonsumsi mi instan adalah keefisienan, dan kenyang.

Dari sisi daya saing, mi instan dipandang mewakili produk pangan yang modern yang diolah dengan metode yang modern pula. Lewat pencitraan ini mi instan dianggap dan dikonstruksikan memiliki nilai lebih dibandingkan makanan lokal (tradisional) yang diolah secara sederhana. Daya saing mi instan juga tercermin pada minimalisasi risiko salah atau perbedaan penyajian, seperti yang biasa terjadi pada masakan lokal (Khudori, 2005: 166). Homogenisasi ini bukan hanya semakin mempertinggi tingkat ketergantungan desa pada produk-produk dari luar, namun juga telah mematikan produksi panganan tradisional di kawasan tersebut 

*) Diambil dari artikel Jurnal Analisis Sosial Vol 11 No. 1 April 2006 dengan judul Jeratan Pangan Global dengan penulis yang sama
**) Ketika pangan diperjualbelikan untuk menumpuk keuntungan sebesar-besarnya.
***) Komoditi, dapat diartikan sebagai benda-benda yang memiliki nilai ekonomi (Appadurai 1986).

2 comments:

Anonymous said...

Mate. Blog ini adalah luar biasa. Bagaimana saya membuat tampilan ini bagus?

Agus@ kayu jabon said...

mampir nich...
menarik sekali blog anda dan saya menyukainya..
salam....