Friday, August 31, 2007

Darmakeradenan ; Makmur dari Kapur?

Oleh Muhammad N. Latief

Jika melintas di jalan raya Ajibarang-Gumelar pastikan anda berhati-hati. Pasalnya banyak truk besar lalu lalang, selain sering diselimuti kabut putih. Truk mengangkut bongkahan-bongkahan bahan baku kapur sementara kabut putih adalah sisa pembakaran kapur tohor. Truk dan kabut putih merupakan “efek” dari eksplorasi pertambangan batu gamping yang dilakukan di kanan kiri jalanan itu. Jika tidak berhati-hati, salah-salah anda bisa tercium oleh atau terperosok jurang karena jarak pandang yang pendek.
Di wilayah ini terdapat gugusan perbukitan yang memanjang kurang lebih 4 km, berada di 3 kecamatan, Ajibarang, Gumelar, Pekuncen dan wilayah ini adalah daerah kaya sumber daya alam, khususnya batu gamping. Masyarakat menyebutnya dengan nama Igir Badak. Dinas Pertambangan Kabupaten Banyumas memperkirakan total cadangan limestone yang bisa dieksplorasi sekitar 442.181.173 ton. Jumlah tersebut hanya cadangan di Desa Darmakeradenan, desa dan kecamatan lain belum dihitung. Bisa dipastikan total cadangan batu gamping di perbukitan tersebut jauh melebihi angka yang dikeluarkan pemerintah.
Masyarakat di sekitar perbukitan gamping, khususnya desa Darmakeradenan sudah terbiasa mengolah batu gamping tersebut menjadi kapur tohor, bahan inilah yang nantinya diolah menjadi kapur putih yang biasa digunakan untuk campuran adonan semen, labur( sejenis kapur tembok), bahkan campuran makanan ternak.
“Dari saya kecil sampai sekarang, bukit kapur itu ya ajeg, kayaknya nggak kurang-kurang, padahal tiap hari pasti ada yang mbledug” ujar Karsim (40 th).
Saat ini di Desa Darmakeradenan, paling tidak ada 50 buah tobong. Tobong adalah tempat pengolahan dan pembakaran batu gamping menjadi kapur tohor. Tiap tobong bisa menghasilkan sekitar 40 M² kapur per minggu. Dari tiap meter kubik kapur yang dihasilkan, Pemkab Banyumas kebagian jatah melalui pajak bahan galian C sebesar 15 % dari hasil penjualan kapur. Jika dikonversi dengan harga kapur di pasaran sekarang, pemerintah Kabupaten Banyumas memperoleh konstribusi sekitar Rp. 15.000,- per M³ kapur. Namun, sampai sekarang belum ada laporan yang pasti tentang pendapatan daerah dari sektor ini.
Setiap kali obong membutuhkan paling tidak 12 truk batu gamping, tiap rit gamping dibeli seharga Rp. 70.000. Batu gamping ini dibeli dari para pemilik tanah yang kebetulan memiliki lahan bergamping, atau kepada Perhutani jika batu gamping diambil dari hutan.
Cadangan batu gamping di desa Darmakradenan terdapat di beberapa grumbul, antara lain di grumbul Pegawulan, Karangpucung, Angkruk dan Darma. Di grumbul Angkruk lokasi batu gamping terletak di wilayah Perhutani mempunyai panjang 1.475,00 M, Lebar 540,93 M, tebal 188,00 M berat jenis 2,2 kg, kawasan ini mempunyai cadangan batu gamping sebesar 164.499.999 ton. Dari penelitian yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan Kabupaten Banyumas, bahwa batu gamping di grumbul ini memiliki kualitas paling baik, kadar CaO-nya mencapai 53,5 %. Di Karang Pucung dan Pegawulan, terdapat cadangan batu gamping dengan panjang 1.200,00 m, lebar 261, 12 m, tebal 188 m, berat jenis 2,20 kg, jadi cadangan di kawasan ini adalah 67.499.520 ton.
Batu gamping juga dapat dimanfaatkan untuk membuat klinker, bahan ini adalah bahan dasar pembuatan semen portland. Batu gamping di Grumbul Angkruk inilah yang paling baik untuk dijadikan klinker, karena kadar CaO-nya tinggi. Dengan cadangan yang melimpah, jika di daerah tersebut dibangun pabrik semen tipe 1 dengan kapasitas 1,5 juta ton/tahun dengan tekhnologi yang kurang lebih sama dengan PT. Semen Nusantara, tambang dan pabrik nanti akan bertahan selama 176 tahun. Sungguh menggiurkan untuk menambah pundi-pundi PAD. ”Potensinya sangat besar, namun belum ada investor yang serius mengembangkan sektor ini” ujar Bambang Udoyo, Kasi Pertambangan Umum DISAIRTAMBEN Banyumas.
Masa Keemasan
Pada tahun 80-an, kapur Darmakradenan memasuki masa kejayaannya. Pada tahun-tahun itu, tiap tobong bisa menghasilkan 40 ton kapur dalam sehari. Juragan-juragan kapur bermunculan, dan tiba-tiba saja di Darmakradenan berdiri bangungan-bangunan megah pada juragan itu. Selain menjadi juragan, tenaga kerja di desa itu juga terserap dalam kegiatan eksplorasi dan pengolahan batu gamping.
Menurut Rasiman, seorang mantan penambang, obong (membakar batu gamping) marak mulai tahun 60-an. Waktu itu baru terdapat beberapa tobong. ”Saya sempat lama bekerja sebagai tukang obong” ujar kakek 3 cucu ini.
Permintaan kapur meningkat, dan cadangan batu gamping di Darmakradenan terbilang banyak, maka masyarakat desa itu berbondong-bondong menjadi juragan dan pekerja pertambangan kapur. Awalnya mereka mengambil bongkahan batu gamping dengan cara manual, cangkul, linggis dan perkakas lain digunakan untuk ndukir. Seiring dengan meningkatnya permintaan, untuk memenuhi batu gamping didapat dengan meledakan bukit, maka aktifitas menambang batu gamping ini sering juga disebut mbledug, karena sering terdengar dhuar-dhuer ledakan. Dalam sehari mereka bisa 2 kali obong, tiap kali obong bisa menghasilkan 20 ton kapur.
Pada tahun 2005 total nilai yang mampu dihasilkan sebesar Rp. 6.220.800.000,-. Sektor ini menyumbang pendapatan sebesar 1.325.200. terdapat 42 rumah tangga yang menggantungkah hidup dengan total anggota keluarga 84 orang, dan jumlah rumah tangga buruhnya 658 dengan jumlah anggota keluarga mencapai 873 orang.
Reklamasi dan Sumberdaya Alternatif
Setiap upaya penambangan pasti menyisakan problem lingkungan. Banyak contoh kasus yang membuat kita harus berhati-hati dalam melakukan eksplorasi sumber daya alam. Krisis lingkungan yang ditinggalkan oleh aktifitas penambangan bermacam-macam, mulai dari degradasi lahan sampai residu bahan-bahan beracun yang berbahaya bagi manusia.
“Idealnya, tiap usaha eksplorasi harus diikuti oleh upaya reklamasi” ujar Bambang. Komitmen ini, menurut Bambang, harus ditaati oleh pengusaha pertambangan agar upaya penambangannya tidak membawa akibat buruk bagi masyarakat dan lingkungan maka perlu upaya sistematis untuk mengurangi resiko kerusakan lingkungan.
Dari pengamatan sederhana di desa Darmakeradenan, diketahui bahwa daerah ini adalah daerah rawan bencana. Rata-rata kemiringan lahan mencapai 22 persen, belum lagi lahan-lahan bekas penambangan kapur yang sudah sangat kritis. Diatas pemukiman penduduk di Grumbul Pegawulan, terdapat bukit-bukit yang putih menganga tanpa tumbuhan. Ditambah lagi aktifitas mledug yang menimbulkan getaran-getaran kuat. Mbledug adalah meledakan bukit kapur dengan dinamit untuk mendapatkan bongkahan kapur mentah.
Dinas pertambangan Kabupaten Banyumas mengakui bahwa upaya pemantauan kegiatan pertambangan belum maksimal. Saat ini baru ada 2 orang tenaga pantau untuk mengawasi kegiatan-kegiatan pertambangan di seluruh wilayah Banyumas.
”Selama ini kami hanya mengandalkan informasi dari kepala desa dan camat untuk melaporkan kegiatan pertambangan yang tidak berijin, mereka masuk dalam tim pemantauan di bawah dinas pertambangan” ujar Bambang.
Di sisi lain, Darmakeradenan sesungguhnya adalah desa dengan potensi pertanian lahan kering yang besar. Pertanian di Darmakeradenan berkembang sebagai pertanian lahan kering dan sedikit pertanian lahan basah. Wilayahnya yang berbukit dan memiliki kemiringan hampir 40 persen menjadikan desa ini sebagai wilayah tidak begitu produktif untuk tanaman pangan. Produk pertanian yang dihasilkan dari wilayah ini adalah palawija dan kayu-kayuan.
Pada tahun 2005, Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar Darmakeradenan berasal dari sektor pertanian terutama tanaman padi. Dengan luas tanaman Padi 100,485 Ha mampu menghasilkan Rp. 6.250.000/ha. Total pendapatan kotor dari tanaman ini sebesar Rp. 570.754.800. Penyumbang PDB terbesar ke dua adalah Jagung yang mampu menghasilkan 2.000.000/ha dengan luas 10,50 ha. Total pendapatan dari tanaman ini adalah Rp. 12.232.500,-. Kemudian disusul kacang tanah dan kedelai yang masing-masing menyumbang pendapatan kotor sebesar Rp. 13.500.000 dan 6.225.000,-.
Di sektor perkebunan, terdapat perkebunan coklat seluas 230 ha yang dikuasai oleh perkebunan swasta besar, sementara hanya 43,5 ha dimiliki oleh warga. Dari luas 43,5 ha dapat dirinci sebagai berikut : kelapa 14,56 ha, kopi 10 ha, cengkih 12 ha, lada 5 ha, dan vanili 2 ha)

Baca selengkapnya...

Masa Depan Pertanian Kemawi ; Setelah Cengkeh Tak Lagi Menjadi Primadona

Oleh Widya K

Sebelum penduduk Desa Kemawi menghirup harum Cengkeh, tanaman kelapa dan ubi kayu yang menjadi andalan untuk mencukupi kebutuhan pokok. Penghasilan utama semata-mata diperoleh dari hasil nderes dan ngindel, yaitu mengambil nira pohon kelapa dan mengolahnya menjadi gula jawa. Secara ekonomi, penduduk di desa ini tergolong biasa saja, bahkan banyak rumah tangga miskin. Sangat jarang ditemui rumah bertembok di Kemawi, rata-rata berdinding bambu, penduduk hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD), bahkan tidak tamat.
”Boro-boro melu mbangun desa, Mba, untuk membiayai keluarga saja susah” tutur Arif Rosyidin (49 tahun), Ketua RT 02/RW 07 Cerean lebak. Menurut Arif waktu itu belum terpikiran untuk membangun desa secara swadaya, jalan yang menghubungkan antar grumbul masih setapak dan belum diaspal.
Tahun 1955, Pemda Banyumas mengenalkan petani Desa Kemawi pada budidaya cengkeh. Waktu itu, selain harga cengkeh yang tinggi, di Kemawi tersedia lahan pertanian yang luas, sehingga tersedia media yang besar untuk membudidayakan cengkeh.
Semula, petani tidak tertarik untuk mengembangkannya, mereka belum yakin apakah panen Cengkeh nanti lebih menguntungkan dari tanaman yang selama ini mereka kelola. Sampai seorang petani bernama Miswanto (alm) yang menjabat sebagai sekretaris desa menanam dalam jumlah banyak. Tahun 70-an Pak Carik ini panen perdana, hasilnya sangat besar, jauh lebih besar dari panen ubi kayu maupun tanaman lain yang biasa dibudidayakan. Baru setelah itu penduduk Kemawi berbondong-bondong menanam Cengkeh di lahan mereka.
Keinginan masyarakat untuk mulai membudidayakan Cengkeh dalam skala besar juga seiring dengan program Pemerintah saat itu, untuk mewujudkan program swasembada cengkeh melalui perluasan areal cengkeh. Memang pada rentang tahun 1958-1982, produksi cengkeh dalam skala nasional belum mencukupi kebutuhan cengkeh dalam negeri, sehingga impor Cengkeh terus meningkat dari tahun ke tahun. Program swasembada Cengkeh dilakukan dengan memberikan bantuan bibit pada keluarga petani di wilayah yang memenuhi persyaratan budidaya Cengkeh, salah satunya Desa Kemawi.
Emas Hijau
Harga Cengkeh sangat fantastis, 1 kg cengkeh sama dengan 1 kuintal beras. Jika dikalibrasi dengan harga beras saat ini, maka harga cengkeh saat itu mencapai Rp 500.000,- per kg, harga beras saat ini rata-rata Rp. 5.000 per kg. Jika satu pohon bisa menghasilkan 3 kg kering maka petani bisa meraup penghasilan kotor sejumlah Rp 1,5 juta per pohon, padahal banyak petani yang memiliki 100-150 pohon. Tidak heran jika saat itu luas tanah yang ditanami Cengkeh mencapai 850 ha dari 967 ha luas Desa Kemawi.
Saat panen tiba, sekitar 5-6 tahun setelah penanaman, sedikitnya 0,5 kg cengkeh kering bisa dihasilkan dari satu pohon. Jumlah tersebut terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Jumlah produksi cengkeh tertinggi 15 kg Cengkeh basah dari satu pohon yang menghasilkan 5 kg Cengkeh kering.
Bukan hanya Cengkeh, petani juga mengumpulkan kleyang (daun cengkeh yang gugur), yang dihargai Rp 10,-/kg kala itu. Cengkeh memang tanaman primadona bagi petani Kemawi pada tahun 1985, harga 1 Kg cengkeh kering mencapai Rp 3.250,- sementara harga beras saat itu hanya Rp 250,- per Kg, sedangkan harga emas sebesar Rp 3.000,- per gram. Bisa dibayangkan betapa tingginya harga cengkeh pada waktu itu.
Hasil pendapatan dari panen cengkeh bisa untuk membiayai hidup selama 1 (satu) tahun tanpa bekerja. Tidak hanya penduduk Kemawi yang menghirup harumnya cengkeh, ketika panen, banyak orang dari luar Desa Kemawi, misalnya dari Banjarnegara yang bekerja menjadi buruh petik cengkeh.
Dari hasil panen cengkeh ini desa kemawi mulai berbenah, berbagai infrastruktur mulai dibangun, transportasi, rumah, tempat ibadah, dan sekolah, semuanya swadaya masyarakat. Balai desa contohnya, semua biaya pembangunannya berasal dari iuran warga desa. Pemerintah desa waktu itu mengutip 2 ons per pohon cengkeh yang panen. Padahal, tiap keluarga mempunyai paling tidak 100 pohon, jadi tiap keluarga paling tidak menyetor 20 kg cengkeh.
” Jika dirupiahkan, waktu itu kami mengumpulkan paling tidak 33 juta, kalau tidak ada cengkeh mungkin kami belum punya balai desa sampai sekarang” ujar pak Sanmurdji, mantan pamong yang dulu mengurusi pembangunan balai desa pada tahun 80-an.
Bukan hanya Balai desa, warga Kemawi juga berswadaya memperbaiki jalan utama desa sepanjang kurang lebih 5 km, dari depan balai desa sampai grumbul Wates di ujung desa. Selain itu, pada akhir tahun selalu saja ada perayaan syukuran di Balai desa dengan nanggap wayang kulit di balaidesa. Setiap awal Sura juga dilakukan sedekah bumi, sebagai wujud rasa syukur atas hasil panenan.
Gara-gara Tommy
Masa-masa emas cengkeh ini dinikmati sekitar 20 tahun, sejak tahun 1987 cengkeh mulai menurun harga jualnya. Harga cengkeh turun drastis menjadi Rp. 3.000 / kg bahkan merosot lagi sampai Rp. 500 / kg. Sebabnya klasik, over produksi. Pada tahun 1990 luas area cengkeh dalam skala nasional mencapai 700.000 dan menghasilkan 120.000 ton cengkeh per tahun, padahal kebutuhan cengkeh dalam negeri hanya 100.000 ton per tahun.
Pemerintah kemudian mendirikan BBPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh) melalui SK Menteri Perdagangan 306/KP/XII/1990. Lembaga ini diketuai oleh Hutomo Mandala Putra, dan ditunjuk sebagai satu-satunya lembaga pelaksana tata niaga cengkeh. Tujuannya, mengembangkan peran KUD sebagai lembaga perekonomian rakyat dan menjamin tersedianya bahan baku industri. Lembaga ini beranggotakan BPPC beranggotakan INKUD (Induk KUD), BUMN (PT Kerta Niaga) dan BUS (PT Kembang Cengkeh Nasional).
Dengan kebijakan ini, petani tidak lagi diperbolehkan menjual cengkeh secara bebas. Mereka harus menjual pada KUD sebagai perwakilan BPPC di tingkat desa. Harganya Rp. 7.900 per kg, namun dipotong Rp. 2000 untuk penyertaan modal INKUD (DPMC), Rp. 1.900 untuk tabungan petani pada INKUD-PUSKUD atau SWKP (Simpanan Wajib Khusus Petani).
Hasilnya, petani hanya membawa Rp. 4000 dari tiap kg yang dijualnya ke KUD. Anehnya, potongan SWKP yang disebut tabungan petani tidak dapat diambil ketika petani membutuhkan. Alasannya untuk modal mengembangkan kebun cengkeh. Pak Arif, salah seorang petani cengkeh Kemawi mengaku hanya menerima Rp. 30.000 ”tabungannya” selama 6 tahun lebih menjual cengkeh ke KUD. Inilah lonceng kehancuran produk cengkeh nasional, komoditas ini tak lagi memberikan kesejahteraan bagi petani Indonesia.
Frustasi, hampir seluruh petani Kemawi menebang habis pohon cengkeh miliknya, satu per satu penyulingan cengkeh dan kleyang tutup. Petani Desa Kemawi yang memilih urbanisasi, pergi merantau ke kota-kota besar. Jakarta, Bandung, atau ke luar Jawa sebagai pilihan dalam mempertahankan kehidupan. Sementara petani yang tetap bertahan, mulai mencoba mencari jenis tanaman lain yang bisa menggantikan cengkeh.
Setelah Pesona Cengkeh Pudar
Era reformasi, sebenarnya harga cengkeh membaik. Pemerintah mengeluarkan dua kebijakan menyangkut tata niaga cengkeh yaitu 1) Mencabut hak monopsonistik dan monopolistik BPPC, membubarkan BPPC serta liberasasi perdagangan cengkeh; dan 2) Pembatasan importir cengkeh hanya oleh importir produsen dan importir terbatas.
Dua kebijakan tersebut menyebabkan harga cengkeh meningkat drastis dari Rp 3.800,- per Kg pada tahun 1997 dan menjadi Rp 80.000,- per Kg pada tahun 2002. Namun tidak banyak yang bisa dilakukan. Petani tak lagi memiliki pohon cengkeh, pohon yang tersisa tak lagi produktif karena dibiarkan tanpa pemeliharaan. Selain itu, harga cengkeh pun turun kembali, pada tahun 2003, saat panen raya harga cengkeh turun jadi Rp. 12.500.Hal ini merupakan imbas kebijakan per-cengkehan ke-2 yang membatasi importir cengkeh sehingga secara tidak sengaja, pemerintah telah memberikan hak oligopsonotik kepada Pabrik Rokok sehingga mampu mengendalikan harga cengkeh di tingkat petani, layaknya BPPC dalam bentuk lain.
Setelah 10 tahun berlalu, ternyata sektor pertanian tetap menjadi sektor terpenting bagi Desa Kemawi, disamping potensi desa laiinya seperti pengelolaan hutan di sekeliling Desa Kemawi dan Pengembangan BKD (Bank Perkreditan Desa). Kini petani Kemawi mulai menuai hasil panen dari berbagai jenis tanaman yang dibudidayakan. Meskipun harganya tidak sedasyat cengkeh, tetapi keanekaragaman jenis tanaman dapat memberikan pendapatan sepanjang tahun bagi mereka.
Jenis tanaman andalan yang saat ini banyak dibudidayakan antara lain albasia, pala, petai, durian dan duku. Albasia menjadi primadona tanaman kayu karena harganya cukup mahal dan gampang dijual. Walaupun cengkeh masih dipetik hasilnya, dan petani sempat menikmati harga yang cukup layak menurut mereka, sebsar Rp 35.000,- per Kg tahun ini, akan tetapi petani masih segan untuk melakukan pemeliharaan kembali.
Roda perekonomian memang tidak berputar secepat saat cengkeh. Banyak yang berubah saat petani kembali mengandalkan sadapan nira sebagai sumber penghasilan utama. Gali lubang tutup lubang menjadi salah satu cara untuk mempertahankan hidup.
Ketika penduduk Kemawi ditanya tentang masa depan cengkeh. Mereka menerawang jauh, membayangkan kapan Cengkeh bisa mendatangkan kesejahteraan bagi mereka. ”Hanya Tuhan yang tahu” ujar Paryati, salah seorang petani yang pernah memiliki puluhan pohon cengkeh dengan getir.
Mereka hanya berharap bahwa pemerintah terus melakukan usaha untuk mendorong kemajuan pertanian di Desa Kemawi, misalnya penyuluhan dan pelatihan, dan mengalokasikan ADD untuk menunjang sektor pertanian; memperbaiki infrastruktur transportasi; dan menciptakan pasar sehingga harga produk pertanian mereka dapat dihargai lebih layak.

Baca selengkapnya...