Thursday, October 4, 2007

Sugeng; petani organik di tengah-tengah kota

Oleh Akhmad Solehudin

“Kalau revolusi hijau dulu berhasil diterapkan di Indonesia dengan kebijakan tangan besi, maka pertanian organik juga baru berhasil dengan kebijakan tangan besi…”

Rumah kayu sederhana berwarna biru terletak pada gang sempit, di sela-sela pemukiman padat kelurahan Pasirmuncang yang membujur diantara jalur rel kereta api Stasiun Timur dan saluran irigasi DI. Banjaran. Kampung padat tersebut memang bercorak “setengah desa setengah kota”, dimana suasana padatnya pemukiman dan letaknya yang hanya 1 km dari alun-laun Purwokerto mencirikan “kekotaannya”, namun dibalik deretan bangunan toko dan perumahan, sawah luas membentang menjadi tanda bahwa detak jantung kehidupan pertanian masih berdenyut kencang di daerah ini, menandakan “kedesaannya”. Siapa sangka juga, tidak jauh dari pusat oleh-oleh tempe kripik dan mendoan Sawangan, dibalik padatnya hunian Jl. Pahlawan Kota Purwokerto, sepetak lahan sawah organik seluas 250 ubin sudah dikelola oleh seorang petani langka bernama Sugeng selama 8 tahun.


“Awalnya saya bertani karena terpaksa, begitu menikah pada umur 25 saya akhirnya nyemplung sawah untuk menyambung hidup” ungkapnya memulai pembicaraan dengan Redaksi Tegalan, suatu sore di teras rumahnya. Pada tahun 1997, Sugeng mendapat kesempatan mengikuti pelatihan SLPHT mewakili desanya, dan semenjak itu dia tergerak untuk mengembangkan pertanian ramah lingkungan. Saat ini, bersama petani organik lain di Banyumas yang rata-rata juga alumni pelatihan SLPHT membentuk wadah Jaringan Petani Organik Banyumas (Japokmas). “Praktisi pertanian organik di Banyumas masih sedikit, tetapi menyebar di beberapa wilayah, Di Pekuncen ada Pak Muntohar, di Tipar Kidul, Ajibarang ada Pak Lurahnya, di Margasana, Jatilawang ada Pak Dirko, di Banyumas Pak Jatiman, di Kedungrandu, Patikraja Pak Saefudin, di Semaya ada Pak Marto”. Namun Sugeng masih prihatin karena ternyata teknologi pertanian organik, walaupun nyata-nyata menguntungkan tidak berkembang seperti yang dia harapkan.
Beberapa kali pelatihan dilakukan oleh Sugeng dan kawan-kawan, bahkan tanpa dukungan dana, namun petani masih enggan beralih dari pertanian kimia. “Kami di IPPHTI sudah mengkampanyekan pertanian organik secara besar-besaran dan melakukan pelatihan di ratusan tempat, tapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Saya belum menemukan formula yang tepat bagaimana menarik mereka untuk bertani organik, merubah kesadaran petani amatlah sulit. Petani sudah biasa dinina-bobokan dengan kemudahan-kemudahan proses produksi yang serba instan, dan itu menimbulkan kemalasan kalau segala sesuatunya harus membuat sendiri. Untuk membuat pestisida kimia memerlukan waktu 1 minggu, walaupun biayanya murah, petani lebih memilih untuk beli di toko karena tidak perlu repot dan lama” demikian penjelasannya. Sugeng mencontohkan dalam pembasmian hama ulat, petani mereka maunya yang sekali semprot kelihatan hamanya mati. Padahal dengan pestisida organik, misal dengan jamur Biforia, hama yang disemprot tidak langsung mati, mula-mula 2 hari akan sakit, baru mati karena pengaruh jamurnya. “Saya pernah membasmi hama walang sangit, saya semprot dengan pestisida buatan sendiri, dengan ramuan jahe dan kulit semboja yang ditumbuk dan difermentasi sehari semalam, baru saya semprotkan. Saya dicemooh oleh rekan petani lain, wong walang sangit kok dikasih minum, buang-buang tenaga saja. Setelah 2 hari saya ke sawah sudah hilang walang sangitnya, kemudian baru saya panggil orang-orang yang mencemooh untuk menyaksikan. Yang saya buat itu memang tidak instan, tidak membunuh hama, namun membuat panas dan bau sehingga walang sangit kabur” ceritanya panjang lebar. Dalam penggunaan pupuk, ketergantungan terhadap pupuk kimia sudah sangat akut, sampai-sampai petani harus rela mencari pupuk sampai luar daerah dengan harga mahal. Walaupun harga pupuk kimia semakin tinggi, petani tetap memaksakan diri untuk membeli, tidak terdorong untuk mengganti dengan pupuk alami. Akibatnya hingga saat ini pertanian organik belum berkembang pesat di Kabupaten Banyumas.
Memulai pertanian organik bukanlah hal mudah, dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan yang tidak sedikit, dan Sugeng telah merasakan bagaimana pahit getirnya merubah budaya bertani. Sugeng merasa minder juga pada awal memulai, dan harus bertahan dari banyak sentilan-sentilan yang mengusik perasaan. Misalmya dia diolok-olok orang baru 20 hari tanam kok sudah mau panen karena daun padinya menguning. Berdasar pengalamannya, dalam pengolahan lahan dibutuhkan paling tidak 3 musim tanam untuk adaptasi, dan produktifitas bisa turun sampai 25%. Menurutnya itu bukan kegagalan, melainkan masa pemulihan lahan. Hal inilah yang harus dipahami petani yang mau beralih ke organik, mentalnya harus siap dulu, karena bisa-bisa jadi bahan cemoohan pertani lain dan merugi pada masa-masa awal.
Menurut Sugeng, filosofi pertanian organik adalah memutus ketergantungan dan penghematan, sehingga petani harus dicuci otaknya dulu sebelum diajari hal-hal teknis. Pengenalan pertanian organik dapat dimulai dari pendidikan kritis, pelatihan pembuatan pupuk dan pestisida organik, pelatihan pengendalian hama terpadu, dan pemahaman lain tentang perlakuan terhadap tanaman dan lingkungan supaya seluruh proses menggunakan pendekatan ramah lingkungan. “Minimal bebas bahan kimia dari asupan-asupan yang bisa dikontrol, karena untuk membuat pertanian organik yang murni sudah sangat sulit. Pencemaran di aliran air irigasi dan ekosistem lain sudah tidak bisa ditanggulangi sendiri oleh petani” tambahnya. “Sekarang berkembang juga pertanian organik tetapi dari bahan pabrikan yang juga membahayakan, karena cuma memindah ketergantungan. Fenomena ini sangat mengkhawatirkan. Misal dalam kampanye penggunaan Nutrisi Saputra (NS) yang penelitiannya dibiayai konglomerat Ciputra, di beberapa tempat sampai harus didukung pemerintah, dibantu dana besar. Itu sama saja mematikan kreatifitas petani, padahal untuk merubah budaya pertanian kimia kembali ke pertanian alami mandiri sangat susah. Dengan iming-iming produk organik harganya mahal, petani didorong untuk mengkonsumsi pupuk organik pabrikan. Itu sama saja dengan menciptakan ketergantungan baru. Padahal nutrisi seperti itu bisa kita buat sendiri dari bahan-bahan di sekitar kita” paparnya.
Tak jarang Sugeng harus mencari bahan-bahan untuk bertani organik sampai ke desa lain, karena di lingkungan sekitarnya sudah tidak ada. “Untuk membuat pestisida menggunakan bahan alami, saya harus mencari bahan-bahan organik sampai ke desa, misal daun pucung dan daun pohon kluak. Saya juga harus membeli kotoran ternak untuk membuat pupuk organik dari Jomblang, Kediri di Kecamatan Karanglewas. Biayanya cukup mahal, untuk ongkos transportasi 100 ribu, kotorannya 1 kol 25 ribu.” jelasnya. Sugeng juga harus membuat pupuk organik di sawah langsung, karena dulu pernah membuat di sekitar rumah, tapi baunya mengganggu lingkungan. Namun hal itu tidak menyurutkan semangatnya bertani organik, dan secara ekonomi masih lebih menguntungkan daripada pertanian kimia biasa.
Sugeng juga menjelaskan banyak hambatan menuju pertanian organik. Pemerintah mengkampanyekan pertanian organik masih dilakukan setengah hati, karena terdapat kebijakan pertanian masih bertolak belakang misal subsidi dan distribusi pupuk kimia, alih fungsi lahan, dan kurangnya pembangunan infrastruktur pertanian. Dia juga mencontohkan program pertanian organik yang tidak mendidik, misal di Purwanegara, ada proyek Dinas Pertanian untuk pertanian organik seluas 10 Ha. Sayangnya pada proyek tersebut pengadaan pupuk dengan tender dan didatangkan dari luar daerah, dari Kebumen, padahal potensi kotoran hewan di Banyumas sendiri masih besar dan cara produksi pupuk juga harus dikuasai oleh petani. Hambatan lain adalah jaminan pasar bagi produk organik, tetapi hambatan terbesar justru ada di masyarakatnya.
Pada dasarnya, petani kita adalah masyarakat yang susah berubah watak dan budayanya. Pada permulaan revolusi hijau, penggunaan pupuk dan pestisida kimia sangat sulit diterima oleh petani Indonesia. Ada cerita dulu, pupuk sampai dikasihkan petani dan dipaksakan untuk dibawa pulang, tetapi itu pun tidak digunakan begitu sampai di rumah.. Melalui PPL, pemaksaan penggunaan pupuk kimia diterapkan, bahkan dengan ancaman jika tidak mau menggunakan pupuk kimia atau varietas tertentu akan dicabuti. Petani diciptakan untuk tergantung, termarjinalkan. sampai pemerintah harus menggunakan kebijakan tangan besi. Dampaknya sekarang petani sudah terbiasa dengan proses produksi yang serba praktis, sehingga kreatifitas dan inovasi petani sudah hilang. Petani sudah berbudaya instan, sudah dininabobokan dengan kemudahan menggunakan bahan-bahan pabrik selama 30 tahun. Untuk merubahnya kita harus mengembalikan budaya mundur 30 tahun ke belakang. Sugeng kemudian menegaskan, “Kalau revolusi hijau dulu berhasil diterapkan di Indonesia dengan kebijakan tangan besi, maka pertanian organik juga baru berhasil dengan kebijakan tangan besi”.
Keberhasilan pertanian organik memang sangat tergantung keseriusan pemerintah, atau dengan syarat lain, pelaku gerakan pertanian organik berjuang intens dan membangun aliansi gerakan pertanian alternatif. Kelompok-kelompok tani yang progresif harus terbangun dan berjaringan kuat. Selama petani masih dicekoki teknik pupuk berimbang, N, P, K, dimana arti berimbang itu dengan mendapatkan N dari Urea, P dari SP-36, dan K dari KCl maka pertanian organik sulit berkembang. Petani harus diajari bahwa unsur N, P, atau K bisa didapatkan dari tanaman atau kotoran hewan tertentu. Misal, petani tidak mengerti jika batang pohon pisang ternyata bisa jadi pupuk juga, karena kandungan Phospor (P)-nya tinggi, ada juga tulang hewan dan cangkang telur, yang dapat menjadi sumber Kalium (K). Petugas PPL tidak semuanya bisa berbuat seperti itu karena tidak semuanya menguasai dan mereka bekerja tergantung kebijakan atasan.
Sehari-hari, Sugeng S???? yang lahir di Banyumas pada tanggal ???? merupakan sosok yang sangat sederhana. Bapak dari ? anak ini telah menyekolahkan anak-anaknya dari hasil bertani. Waktunya lebih banyak dihabiskan di sawah dan berkeliling desa mendarmakan ilmunya ke petani lain. Untuk membantu perekonomian rumah tangga, bersama ????? istrinya, Sugeng membuka usaha warung kelontong di rumahnya yang tidak luas. “Hidup saya tidak mau muluk-muluk, yang penting bermanfaat bagi banyak orang dan berkah”. ujarnya singkat. Sugeng tidak memaksa anak-anaknya bertani dan meneruskan perjuangannya, namun dia tetap berharap pertanian organik akan jadi penyelamat petani dari gelombang pemiskinan. Di usianya yang semakin senja, Sugeng masih gigih menggerakkan pertanian organik dari sela-sela padatnya pemukiman kota. Selain bertani organik, Sugeng juga aktif mengkampanyekan kedaulatan pangan dengan menolak konsumsi bahan pangan impor. “Dalam keadaan apapun saya sudah bertekad tidak minum air kemasan, tidak makan mi instan dan makanan dengan kandungan bahan impor. Pertanian kita sudah terjajah dengan industri dan itu saja sudah menyengsarakan, masa kita juga mau terjajah lebih parah, sampai bahan pangan harus tergantung negara lain” ujarnya berapi-api. Kesadaran dan tekad seperti inilah yang harus ada pada petani dan masyarakat lain sebagai pengkonsumsi pangan negeri ini. Semoga Sugeng-Sugeng lain akan muncul dan menelurkan generasi baru petani kita, yaitu petani Indonesia yang merdeka dan berdaulat atas budaya produksinya. [ud]

Baca selengkapnya...