Monday, February 12, 2007

Tuna Sathak Bathi Sanak?: Rantai Perdagangan Ternak Di Banyumas

Oleh Widoro

... jere wong tua, nang pasar langka kyai, langka pendeta. Makane tanah pasar kae tanah panas, jenenge be pasar ngone wong kesasar, anane wong ngolet bathi...mangkane nek arep tuku apa bae nang pasar kae kudu sabar, titi lan ati-ati

(Menurut orang tua,di pasar tidak ada kyai dan pendeta. Tanah pasar adalah tanah panas, hanya ada orang mencari untung, maka jika membeli barang di pasar harus sabar, teliti dan hati-hati)

Kurang lebih demikian peringatan Mad Darja, petani sekaligus peternak dari Dusun Cunil Desa Pegalongan Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas. Mad Darja sering bolak balik ke Pasar Hewan, dia didaulat untuk membantu pembelian ternak bagi beberapa petani penggaduh di kelompoknya. Saat ini kelompok taninya, Terus Jaya, sedang bermitra dengan BABAD, salah satu lembaga yang mengembangkan program kemitraan ternak dengan petani.

Tidak seperti pasar induk atau pasar lainnya yang ramai setiap hari, pasar hewan terutama kambing dan sapi, hanya ramai tiap hari pasaran, tiap pasar berbeda hari pasarannya. Jika tiba hari pasaran, tanpa komando dan undangan beragam profesi mulai dari pedagang, calo, penjual makanan, bahkan pengamen akan menyemut di pasar. Bukan hanya profesinya yang beragam, daerah asalnyapun berbeda, diantara mereka ada datang dari luar kabupaten, bahkan dari propinsi lain. Mashuri misalnya, seorang juragan Sapi asal Cirebon, dia sengaja jauh-jauh datang ke pasar Ajibarang untuk membeli Sapi yang konon lebih murah dibanding di tempat asalnya.

Selain pasar Ajibarang, di Banyumas pasar Hewan juga terdapat di Sokaraja, Sumpyuh, Banyumas dan Cilongok. Di Kabupaten Banjarnegara terdapat di Banjarnegara, Purwonegoro. Di Kabupaten Kebumen pasar hewan terdapat di Gombong dan Kebumen. Pasar Patikraja dan Pasar Manis Purwokerto juga menyediakan tempat untuk pasar hewan, namun kapasitas dan barang dagangannya lebih sedikit. Masing-masing pasar berbeda hari pasarannya, pasaran hewan biasanya didasarkan atas kalender Masehi dan kalender Jawa, misalnya reboan di pasar Ajibarang dan ponan di Cilongok.

Pelaku Pasar Hewan dan Mekanisme Pasar Hewan
Ada beberapa tipe penjual ternak di pasar hewan. Tipe pertama adalah penjual ternak dengan kapasitas besar, mereka adalah juragan atau pedagang besar yang biasanya datang dari berbagai daerah. Mereka berkeliling dari pasar ke pasar untuk menjual ternaknya, jika hari pasaran tiba, mereka pasti akan berada di pasar tersebut. Tipe kedua adalah jurangan dalam kapasitas yang lebih kecil. Tipe ketiga adalah petani yang ingin menjual ternak peliharaannya, mereka menjual ternak untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan volume penjualannya kecil.

Pembelipun beragam tipe. Tipe pertama adalah pemasok ternak bagi pedagang daging di kota besar lainnya. Mereka membeli ternak yang siap potong dalam kapasitas tertentu, selanjutnya dibawa ke kota besar seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang dan Yogjakarta. Selanjutnya dipotong dan dagingnya dipasarkan di kota tersebut. Tipe kedua, konsumennya adalah penjual daging yang datang dari sekitar karsidenan Banyumas, mereka adalah para pedagang daging yang biasanya menyembelih sendiri atau tukang Jagal. Pedagang daging atau tukang jagal ini berperan untuk memenuhi kebutuhan para penjual bakso, rumah makan, pedagang daging dan rumah tangga. Selain mencari ternak sapi siap potong, konsumen tersebut juga mencari bibit ternak yang bagus untuk digemukan. Tipe ketiga adalah konsumen pasar hewan, mereka adalah petani dan peternak yang mencari bibitan untuk pembesaran atau penggemukan. Mad Darja dan lembaga pendampingnya termasuk pembeli tipe ini, mereka membeli bibit ternak untuk digemukan kemudian dijual kembali. Tipe ke empat adalah konsumen yang hanya membeli ternak untuk kebutuhan sendiri, baik untuk syukuran ataupun disembelih untuk kepentingan lainnya. Dua konsumen terakhir, umumnya berganti-ganti dan relatif sedikit, tergantung kebutuhan mereka.

Tukang Pantheng
Selain penjual dan pembeli, di pasar hewan terdapat satu lagi pelaku perdagangan, mereka adalah "tukang pantheng", atau calo ternak. Para calo ini, bisa mendatangkan keuntungan, tapi juga bisa membuat rugi pedagang dan pembeli hewan ternak. Mereka menambah panjang rantai perdagangan ternak. Penambahan rantai menambah panjang rantai distribusi, artinya semakin banyak juga keuntungan yang harus dibagi. Namun, para calo ini juga bisa membantu konsumen mencari ternak yang dibutuhkan atau juragan ternak menjualkan ternak.
Pada mekanisme pasar yang sehat, konsumen seharusnya bertemu langsung dengan pedagang untuk bertransaksi. Namun, perdagangan ternak terutama di pasar hewan ada kelompok yang di sebut ‘wong pasar’. Dari kelompok inilah, calo atau tukang panteng berasal. Disebut tukang panteng karena peran mereka adalah menarik (manteng, bahasa Jawa) pembeli dan mendorong terjadinya transaksi.

Di semua pasar hewan di Banyumas, tukang panteng selalu ada. Bahkan ada semacam aturan tidak tertulis bahwa di luar kelompok ‘wong pasar’ tidak boleh menawarkan ternaknya langsung ke pembeli. Laku atau tidak daganganya, mereka harus menyetor Rp. 5000,- untuk Kambing dan Rp. 10.000 untuk tiap sapi. Setelah urusan “administrasi” ini selesai, baru tukang panteng ini memulai aksinya, membantu menawarkan dagangan.
Dalam menawarkan dagangannya, tukang panteng biasanya menaikan harga. Untuk ternak kambing dinaikan Rp. 25.000,- sampai dengan Rp. 50.000,-. Sedangkan ternak sapi antara Rp. 200.000,- sampai dengan Rp. 500.000,- atau sesuai taksiran mereka. Setiap transaksi harus lewat tukang panteng, jika terjadi kesepakatan harga antara penjual dan pembeli secara langsung, tukang panteng bisa membatalkannya.
Beberapa tukang panteng yang memiliki modal biasanya membeli ternak dari petani yang akan menjual ternaknya. Selanjutnya mereka yang menjual ternak ke pada konsumen. Tukang panteng bekerja sendiri-sendiri atau bekelompok. Bagi yang bekerja berkelompok, keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan jasa masing-masing atau kesepakatan.
Menjadi tukang panteng tentu bukan cita-cita mereka, pekerjaan itu tidak menawarkan penghasilan yang pasti, kadang mereka bisa pulang dengan segepok uang, namun tidak jarang pula mereka pulang dengan tangan hampa. Mereka bagian dari tradisi perdagangan kita, perdagangan yang melibatkan banyak pelaku dan masing-masing berusaha mendapatkan untung dari sana-sini. Karena itulah banyak tukang panteng yang menekuni pekerjaan tersebut puluhan tahun lamanya, berpindah-pindah pasar sesuai hari pasar ternak, dan menghidupi keluarganya dari hasil menjual jasa.
Pasar memang benar-benar “panas” seperti kata Mad Dirja tadi, jika datang ke pasar Hewan, telinga kita akan sering mendengar olok-olok, bahkan celaan antara pembeli dan pedagang. Memang, dalam menawarkan ternak dagangannya, calo dan penjual biasanya menggunakan banyak cara, dari mencari-cari cacat ternak yang lain, saling mengolok dan hasutan lain agar pembeli tertarik dengan ternaknya. Namun, semuanya tidak berlangsung lama, celaan dan olok-olokan itu segera berakhir damai ketika pembeli sudah menentukan ternak yang diinginkan dan harga disepakati. Inilah hebatnya, mereka bersitegang tanpa harus marah dan emosi. []

1 comment:

Agus Ramada said...

Berita yang menarik, boleh Saya posting di Blog Saya?
Silahkan Kunjungi Web Kami:

http://www.dombagarut.blogspot.com

http://www.organicindonesianvanilla.blogspot.com

Usaha Ternak Domba Garut & Pertanian Organik.

Silahkan sampaikan Opini & Bahan Tulisan menarik untuk Kemajuan Usaha Ternak & Pertanian Organik di Indonesia via Email. agusramadas@yahoo.co.id di mana akan Saya postingkan pada Web.

Salam.

Agus Ramada S.

Note:
Usaha Kami juga melayani Pengadaan Bakalan Ternak Qurban & Penyediaan Ternak Qurban 1428 H