Oleh Widoro
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadung didalamnya dikusai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat...Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
Demikian vitalnya air bagi kehidupan makhluk hidup sehingga, air harus diatur dalam founding fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti diatas. Air sebagai hajat hidup orang banyak seharusnya diatur dan dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Pembangunan pengairan yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menunjang sektor pembangunan lainnya, baik sektor pertanian, sektor kesehatan, sektor pariwisata, sektor industri dll, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Tujuan utama pembangunan pengairan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama melalui pembangunan subsektor irigasi untuk menunjang program peningkatan produksi pertanian dengan sasaran utama swasembada beras[1].
Pembangunan irigasi bagi masyarakat Indonesia memiliki sejarah panjang sebelum republik ini lahir. Jaringan irigasi teknis pertama kali dibangun di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda, yakni sebelum tahun 20-an. Tujuan utama pembangunan jaringan irigasi waktu itu bukan diperuntukan tanaman padi ataupun tanaman pangan. Namun pembangunan jaringan irigasi saat itu untuk kepentingan penyediaan air bagi pabrik gula dan mendukung program kolonialisasi melalui perkebunan. Tanaman pertanian yang dikembangkan adalah tanaman yang diperuntukan bagi tanaman yang menghasilkan komoditi ekspor.
Petani pada masa penjajahan Belanda adalah petani subsisten, artinya usaha tani yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri. Jadi aktivitas pertanian yang dijalankan bukan untuk kepentingan pasar, tapi untuk dikomsumsi sendiri. Selain itu, untuk menjaga keamanan pangan di setiap desa pada masa itu dibuat lumbung pangan. Lumbung pangan berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil-hasil panen, baik sebagai stok pangan maupun sebagai tempat penyimpanan benih tanaman. Keberadaan lumbung pangan ditujukan untuk menjaga keamanan dan ketersediaan pangan pada waktu-waktu rawan pangan, seperti masa pacekilik dan musm kemarau dst.
Pada masa ini mulai terjadi pergeseran penguasaan atas irigasi. Sawah atau lahan pertanian yang sebelumnya dilayani oleh irigasi-irigasi buatan oleh petani. Meraka secara kolektif mengelola dan merawatnya untuk kepentingan bersama. Namun, dengan dibuatnya saluran-saluran irigasi buatan pemerintah. Selanjutnya dikenal dua saluran irigasi yaitu saluran irigasi milik pemerintah (salauran irigasi utama) dan saluran irigasi milik petani (salauran irigasi tersier). Perlu diingat, bahwa saluran irigasi tersier bergantung pada suplay air dari saluran irigasi utama. Sementara kebijakanpemerintah saat itu adalah saluran irigasi utama yang diprioritaskan untuk pabrik dan perkebunan, akibatnya adalah para petani mengalami kekurangan air. Selanjutnya mulailah terjadi kompetinsi untuk mendapatkan air untuk lahan pertanian mereka. Perubahan tersebut dengan sendirinya mengoyahkan nilai-nilai trasional (gotongroyong) yang menjadi landasan kerjasama dalam pengelolaan dan pengawasan irigasi petani.
Selanjutnya pada era kependudukan Jepang, semua pembangunan ditujukan pada kepentingan logistik perang demikian juga pembangunan dibidang pertanian. Pertanian dikembangkan untuk kepentingan industri yang mendukung industri perang. Demikian juga pertanian pangannya, pembangunan irigasi terbengkalai bahkan hasil pertanian pangan dimobilisir untuk kepentingan pangan akibatnya kelaparan dan busung lapar menjadi penyakit utama di negeri ini. Memasuki masa awal kemerdekaan sampai dengan 1965, diakibatkan kondisi pemerintahan yang bangkrut akibat perang dan konflik politik yang berkepanjangan, terbatasnya dana pembangunan.
Walaupun dalam sejarah pangan Indonesia, 1948 mencatat pengiriman batuan beras bagi rakyat India yang tertimpa bencana kelaparan. Namun, apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka diplomasi politik meraih kedaulatan penuh atas kemerdekaan negeri ini. Hal tersebut tidak menolong kondisi pangan masa itu. Terabaikannya pembangunan pertanian dan irigasi waktu itu berimplikasi yang pada kondisi kelangkaan pangan dan hancurnya sistem pertanian beserta infrastrukturnya. Apa yang terjadi ? Indonesia masuk kedalam masa paling suram dalam sejarah pangan nasional, gagal panen, kelaparan dimana-mana dan pengimpor beras terbesar di dunia.
Pemerintahan Orde Baru 1969-1974, Kebijakan negara dan sumberdaya yang dimiliki diarahkan untuk mendorong produksi pangan. Pembangunan jaringan pengairan untuk pertanian menjadi prioritas utama dalam rangka mengejar ketersediaan pangan dan secepat mungkin mengejar swasembada pangan. Penerapan paket tekhnologi dan kelembagaannya menjadi ‘resep manjur’ bagi wabah kelaparan saat itu, hingga mampu menjadi negara pengekspor beras. Dengan ditopang strategi pembangunan irigasi menerapkan quik yielding[2]. atau yang cepat menghasilkan yang prinsip dasarnya adalah pembangunan jaringan irigasi yang membawa air dari sumbernya ke tempat pemanfaatan dengan biaya murah dan tekhnologi sesederhana mungkin, baik dalam pembangunan jaringan irigasi baru maupun rehabilitasi jaringan irigasi lama.
Dalam kurun waktu 15 tahun yaitu dari tahun 1970 s/d 1985, luas lahan sawah beririgasi telah meningkat dari 3,4 juta ha meningkat 1,2 juta ha menjadi 4,6 juta ha. Namun pada tahun yang sama terjadi penyusutan lahan teririgasi seluas 300.000 ha, karena berubah peruntukannya. Sementara pada kurun waktu tersebut terjadi pergeseran budaya di masyarakat terkait dengan pangan. Pangan identik dengan beras, dan pembangunan pertanian nyaris disamakan dengan produksi padi. Pada sisi lain, perlahan tapi pasti terjadi penurunan produksi pangan (padi) khususnya. Banyak perdebatan yang mewarnai kegagalan pembangunan pertanian dalam membangun kedaulatan pangan nasional tersebut.
Bagaimana nasib pembangunan irigasi selanjutnya ? Salah satunya adalah tidak lepas dari perubahan prioritas pembangunan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, dimana pada pada pelita IV, prioritas utama pembangunan adalah sektor industri, dan menempatkan sektor lainnya menjadi sektor pendukung. Hal tersebut mengakibatkan terabaikannya pembangunan sektor pertanian dan infrastruktur pendukungnya. Perlahan tapi pasti irigasi-irigasi untuk pertanian semakin lapuk, tidak berfungsinya secara optimal dan akhirnya rusak sama sekali. Realitas saat ini adalah kebutuhan pangan identik dengan kebutuhan beras (padi) yang dalam proses produksinya sangat bergantung dengan keberadaan irigasi.
Irigasi Di Banyumas
Ditinjau dari penyerahan wewenang dalam pengelolaannya berdasarkan peraturan pemerintah No. 77 tahun 2001, tentang Irigasi, di Banyumas ada 467 Daerah Irigasi (DI), yang mengaliri daerah irigasi seluas 28.320 ha. Pemerintah Kabupaten banyumas melalui Dinas Air Tambang Mineral dan Sumber Energi (Disaritamben) bertanggungjawab atas 463 DI yang tersebar dalam 6 wilayah Unit Pelaksana Teknis yaitu UPT Sumpiuh, UPT Banyumas, UPT Jatilawang, UPT Sokaraja, UPT Purwokerto dan UPT Ajibarang. Sementara empat (4) Daerah irigasi (DI) merupakan wewenang pemerintah provinsi Jawa Tengah melalui PSDA Serayu-Citandui, yaitu DI Banjaran dengan luas daerah irigasi 1.207,99 ha, DI Serayu seluas 1.154 ha daerah irigasi dan DI Kedungmusarca seluas 1.028 ha dan DI Tajum seluas 3.200 ha .
Berdasarkan catatan Disaritamben melalui data dasar dan kondisi prasarana Irigasi di Kabupaten Banyumas tahun 2006, dari 467 DI, 349 DI. 97 DI mengalami kerusakan sampai dengan 40 % dan 60 DI lainnya 60 %. Kerusakan saluran irigasi tersebut banyak terjadi di saluran utama irigasi. Dampak yang paling terasa adalah dari kasus kerusakan saluran irigasi adalah lahan persawahan di ujung saluran.Untuk kasus kerusakan DI Banjaran, empat (4) desa yang berada di ujung saluran irigasi yaitu Wlahar wetan, Sokawera, Pegalongan dan Kedungrandu. Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir selalu mengalami gagal panen dan penurunan jumlah produksi. Akibat kebocoran-kebocoran di sepanjang saluran irigasi, berdampak pada 20 ha lahan sawah di desa Pegalongan[3] beralih fungsi menjadi lahan tadah hujan dan lahan kering,. Apabila diasumsikan rata-rata panen 5,67 ton/ha persawahan di kecamatan Patikraja[4], maka akan ada penurunan produksi sampai dengan 113,4 ton beras untuk Kabupaten Banyumas.
Usulan perbaikan dan rehabilitasi saluran selalu disampaikan baik melalui Federasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (FP3A) sebagai lembaga resmi bentukan pemerintah maupun pemerintahan desa. Sementara petani selalu mengalami gagal panen, kondisi tersebut memicu kelompok-kelompok tani yang tergabung dalam Paguyuban Tani Sri Maneges (PTSM) kecamatan Patikraja bersama Jaringan tani Banyumas (Jantanmas) untuk melakukan aksi menuntut rehabilitasi irigasi pada tanggal 23 september 2006 lalu. Namun, berdasarkan data statistik produksi padi dari tahun 2001 sampai dengan 2004 mengalami peningkatan dari 315.543 ton menjadi 343.035 ton[5]. Data tersebut masih perlu dikroscek dengan kondisi lapangan sebenarnya.
Sementara Disairtamben mengeluhkan kecilnya anggaran untuk perbaikan saluran irigasi yang kondisinya dari tahun ke tahun semakin kropos. Kondisi tersebut tidak lepas dari paradigma pembangunan daerah yang menekankan pertumbuhan ekonomi dengan menumpukan pada ekonomi padat modal.Sewajarnya Disaitamben sebagai penanggungjawab teknis irigasi yang menjadi sasaran kemarahan petani. Sementara upaya perbaikan dan rehabilitasi irigasi hanya tahun ini membutuhkan investasi yang sangat besar, namun anggaran dari APBD sangat terbatas.
Pencangan program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan yang disampaikan dalam pidato Presiden SBY diawal tahun tentunya menjadi harapan baru bagi kehidupan pertanian. Harapannya negara bisa melakukan investasi pembangunan pertanian melalui penataan infrastruktur pertanian dan rehabilitasi saluran irigasi yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam membangun ketahanan pangan. Namun, banyak perdebatan yang meragukan keseriusan pemerintah terhadap program tersebut. Sampai saat ini, program tersebut belum didukung dengan kebijakan hukum, penataan struktur kelembagaannya dan ketidak percayaan pada birokrasi pemerintahan merupakan faktor-faktor yang menyumbang munculnya pertanyaan diatas. Pembanguan irigasi adalah keharusan yang tidak dapat ditolak bagi pembanguan pertanian dan ketahanan pangan apapun ideologinya, karena kerusakan irigasi adalah lonceng kematian bagi kedaulatan pangan
[1] Irigasi di Indonesia, peran masyarakat dan penelitian. LP2ES 1995
[2] Hal 15-16, Irigasi di Indonesia, peran masyarkat dan penelitian. LP2ES 1995
[3] Hasil investigasi Tim BABAD, Jantanmas, Paguyuban Tani Sri Maneges (PTSM) dan Pemerintah Desa Pegalongan, 2006.
[4] Banyumas Dalam Angka tahun 2004, BPS Kabupaten Banyumas, 2005
[5] hal 110, Kabupaten Banyumas dalam angka tahun 2004.
Friday, September 21, 2007
Irigasi dan Ketahanan Pangan
Labels:
Edisi Pangan,
Liputan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment