Friday, November 23, 2007

Perut Kita Juga Dijajah !

Oleh M.N. Latief


Jika anda membayangkan tentang desa, jangan buru-buru beranggapan bahwa desa adalah daerah yang terpencil, listrik tidak ada, makanannya khas atau hal-hal lain yang masih sangat katro, meminjam istilah presenter kondang Thukul. Desa sekarang tidak lebih merupakan replika kota. Perbedannya mungkin hanya di desa tidak ada gedung yang menjulang mencakar langit, serta jalan-jalannya yang tidak begitu lebar. Lainnya, sama.

Ada hubungan timbal balik kota dan desa. Kota mempengaruhi desa dan sebaliknya. Fenomena ini sudah terjadi pada jaman revolusi industri Inggris dulu. Waktu itu pemerintah kerajaan Inggris mengeluarkan suatu paket Undang-undang yang terkenal dengan UU Domba, pemerintah Inggis memerintahkan kepada rakyat di daerah pedesaan untuk mengganti lahan pertaniannya menjadi ladang penggembalaan domba, kebutuhan kota akan wol sedang tinggi, maka desa harus mensuplyai kebutuhan tersebut, demi memajukan industri nasional.

Desa dan kota sama-sama berproduksi, dalam skala yang berbeda tentunya. Mereka menghasilkan barang yang dikonsumsi masyarakat, aktifitasnya meningkatkan taraf hidup masyarakat, mempekerjakan tenaga kerja, akhirnya, desa dan kota sama-sama menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional.


Persamaan desa dan kota berkembang bukan hanya hal yang diungkapkan diatas, dalam bidang budaya misalnya, desa berubaha menjadi semakin kota. Tengok gaya anak mudanya, tidak ada bedanya, perempuan muda di desa juga semakin tampil menarik dengan fashion dan model rambut terbaru yang mereka impor dari kota. Baju ketat, pusar sedikit terbuka, rambut panjang lurus dan tentu saja, wangi.

Intervensi kota pada bukan hanya itu saja, bisakah anda membayangkan di kaki gunung, ada penjual fried chicken, bahkan ayam goreng ala Kentuky ini menjadi kegemaran sebagian penduduk. Dari salah satu negara bagian di Amerika, makanan berubah menjadi kegemaran manusia dunia, termasuk Kemawi.

Dani (8 th), misalnya, murid kelas 2 salah satu SD di Kemawi ini sering merengek meminta ibunya untuk membelikan friedchiken di ujung desa sebagai lauk makan siang sepulang sekolah. “Mbuh enake neng endi” ujar Paryati, ibunya. Dia heran mengapa anaknya begitu suka daging ayam yang dibungkus tepung dengan bumbu. Padahal menurutnya, makanan itu tidak istimewa. “ Makanannya sederhana, bahkan saya bisa memasak lebih enak” ujarnya.


Penetrasi Budaya dan Ekspansi Modal

Arizal mutakhir, seorang sosiolog dari FISIP Unsoed menjelaskan fenomena ini sebagai akibat dari globalisasi. Menipisnya jarak dan batas antar negara, wilayah, bahkan budaya masyarakat dunia. Teknologi komunikasi dan kemajuan tekhnologi lain membuat hilangnya batas ruang dan waktu.

Kita sudah masuk pada jaman globalisasi, hampir tidak ada batas antar negara, budaya, bahkan ekonomi. Jika tidak hati-hati, kita akan mengalami banyak benturan peradaban yang membuat manusia gegar budaya” ujarnya.


Menurut Hariyadi MA, rekan satu kantor Arizal penyebabnya adalah media. Media membuat semuanya menjadi mungkin, orang mudah menemukan referensi gaya hidup yang cepat direplikasi. Media juga mencitrakan gaya hidup tertentu lebih lebih baik dari gaya hidupnya sekarang.

“Jangankan di Kemawi, di Papua orang menggunakan masih koteka tapi tentang-tenteng HP” ujarnya.

Senada dengan koleganya, Haryadi juga memperingatkan akan adanya benturan peradaban. Hal ini terjadi ketika dengan gaya hidup barunya, orang menemukan kesulitan. Misal, karena tidak terbiasa memakan humberger, orang kadang merasa perutnya tidak enak, lidahnya juga belum terbiasa, bahkan tidak tahu cara memakannya.

”Selain itu juga identitas lama juga tetap menuntut eksistensinya” ujarnya menambahkan.


Selain budaya, ada juga globalisasi ekonomi. Proses ini ditandai dengan meleburnya batas-batas negara dalam perdagangan. Tak terkecuali Indonesia. Mulai tahun 1995 Indonesia masuk pada perjanjian pertanian yang disebut sebagai Agreement on Agriculture, perjanjian ini dimotori oleh WTO suatu badan dunia yang mengurusi perdagangan antar negara. Dengan mengikutinya perjanjian ini, Indonesia berkewajiban untuk pertama, mengurangi dukungan domestic kepada petani dalam bentuk kredit lunak dan subsidi input bahan-bahan pertanian. Dukungan ini domestik akan terus berkurang sampai akhirnya dihapus sama sekali.

Pasal berikutnya adalah pengurangan subsidi ekspor. Dengan pengurangan ini, petani kita dibiarkan pemerintah untuk menghadapi pemain-pemain besar pemasar produk pertanian. Persoalan ketiga yang diatur dalam perjanjian tersebut adalah perluasan akses pasar, artinya penghapusan seluruh bentuk hambatan impor produk pertanian dan mengkonversinya dalam bentuk tarif. Persoalannya adalah setiap tahun tarif akan turun dengan perhitungan tertentu, maka seluruh produk pertanian dari negara-negara maju bisa masuk ke Indonesia secara bebas. Persoalan tarif bukan persoalan yang sulit untuk diatasi bagi negara-negara maju.

Perjanjian ini membuat produk pangan luar negeri membanjiri pasar domestik. Tak terhitung banyaknya frenchise makanan siap saji yang menjamur di kota-kota besar. Mereka tampil lengkap dengan identitas baratnya, Mc Donald, Kentucy Fried Chiken, Paparon Pizza, Spaghetti. Jika orang Indonesia mengkonsumsi salah satu produknya, maka lengkap sudah identitas mereka sebagai penduduk dunia.


Penjajahan Pangan

Sadar atau tidak sadari kita sedang mengalami penjajahan bentuk baru, yaitu panjajahan pangan. Bentuk penjajahan ini tentu berbeda dengan kolonialisme purba, namun dampaknya adalah kemunduran ekonomi dan budaya bangsa.

Arief Wahidin, seorang aktifis gerakan sosial menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah kita semakin menjauhkan rakyat dari pangannya. Menurutnya ini awal dari penjajahan pangan yang dilakukan oleh negara-negara maju. Bentuknya bukan hanya kelaparan, tapi juga kedaulatan masyarakat atas pengetahuan yang telah dimilikinya sejak lama. ” Penjajahan pangan menghilangkan kedaulatan orang atau komunitas untuk memenuhi pangan mereka” ujarnya.

Bentuk penjajahan tidak melulu impor besar-besaran produk pertanian asing, tapi juga dalam bentuk kapitalisasi benih, saprodi, dan lain-lain yang memarginalkan orang atau komunitas dari sumber pangannya, bahkan kerusakan lahan pertanian, penyerobotan juga memutus petani dari sumber panganya.

Rijal bahkan lebih tegas lagi memandang persoalan ini. ”Apapun isi perjanjian internasional tentang pangan, tapi kita jelas sudah melihat kegagalan negara dalam menyediakan pangan nasional. Artinya pemerintah sudah tidak mampu menyelenggarakan perlindungan, pangan sudah diserahkan pada pasar yang akan membawa kesengsaraan bagi petani” ujar akademisi muda ini.


Sementara, Shanti Kusumayanti, seorang pegiat kuliner mengungkapkan bahwa investasi modal asing dalam bentuk frenchise pangan adalah bentuk nyata penjajahan pangan. ” Rempah lokal yang sudah menjadi tradisi bumbu masak kita dihapuskan, sebagian diklaim oleh para pemodal” ujarnya. Selain itu, terjadi pergeseran bahan baku alami ke bahan sintetis untuk memajukan industri high demand. Menurut para pemodal ini, makanan lokal Indonesia harus digeser karena inventory cost-nya terlalu tinggi. ”Maka perut konsumen didikte untuk bisa menerima makanan yang fast and furious food” tambahnya.

No comments: