Oleh Akhmad Solehudin
Pertanian Berkelanjutan dan Revitalisasi Pertanian
Pertanian sebagai basis ekonomi kerakyatan terus mendapatkan ancaman dan permasalahan baik dari dalam maupun luar. Marginalisasi sektor pertanian rakyat dengan pertanian korporasi (corporate farming) dan globalisasi pasar bebas melalui Agreement on Agriculture (AoA) merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.Sementara, sampai saat ini kebijakan proteksi dan subsidi yang dapat melindungi petani dari serbuan produk-produk pertanian dari negara lain belum juga diwujudkan. Jika hal ini terus dibiarkan, kebangkrutan ekonomi pertanian rakyat dan hilangnya kedaulatan produksi pangan terpampang di depan mata. Pertanian rakyat juga masih menghadapi banyak persoalan. Sulitnya memenuhi faktor-faktor produksi, dari tanah hingga sarana produksi pertanian (benih, pupuk, dll.), dukungan infrastruktur pertanian, inefisiensi akibat tinginya biaya input, minimnya aplikasi teknologi, sampai rendahnya nilai tukar hasil produksi pertanian merupakan masalah yang kunjung hilang dari dunia petani dan pertanian kita.
Jauh sebelum pemerintah mendengungkan program revitalisasi pertanian yang konon akan menyelesaikan krisis pertanian di Indonesia, sebenarnya sudah banyak pihak yang mengkampanyekan Pertanian Berkelanjutan (selanjutnya disebut PB) sebagai alternatif. PB mengandung pengertian bahwa petani harus mempunyai kedaulatan produksi yang dapat menjamin keberlanjutan ekologi, ekonomi dan sosial budaya.
Pemberdayaan ekonomi pertanian dilakukan dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan kemandirian petani melalui peningkatan produktifitas dan efisiensi produksi pertanian. Hal ini dilakukan dengan pengembangan pertanian organis, tata kelola produksi yang mendukung ketahanan pangan, kelestarian lingkungan, peningkatan pendapatan dengan usaha ekonomi produktif dan manajemen pasca panen, serta peningkatan posisi tawar dan akses dalam pasar produksi pertanian rakyat.
Dalam perspektif ekonomi, PB melalui inovasi teknis produksinya sesungguhnya bisa menjawab persoalan ekonomi mikro pertanian. PB melakukan efisiensi produksi dengan menekan input luar, serta meningkatkan produktifitas dengan aplikasi teknologi tepat guna dan ramah lingkungan. PB juga berusaha menambah pendapatan rumah tangga petani dengan produksi pasca panen.
Namun, penyelesaian persoalan pada aspek ekonomi mikro dan teknis seperti diatas tidak cukup untuk memajukan kesejahteraan petani. Kita harus melihat lebih dalam pada persoalan ekonomi makro. Pada kacamata ekonomi makro, petani sebagai individu-individu produsen menjadi bagian dari struktur ekonomi pada suatu wilayah atau negara. Disinilah peran pemeritah menjadi sangat penting. Pemerintah bisa menjamin tata perkonomian yang dapat mensejahterakan petani dengan kebijakan makro yang memihak kepentingan petani produsen. Namun, seperti sudah dinyatakan di awal tulisan, hal tersebut masih jauh dari harapan.
Konsumen Adalah Raja: Salah Kaprah
Dalam struktur ekonomi kita, petani produsen dengan jumlah mayoritas memiliki posisi tawar yang rendah dibandingkan dengan aktor lain, yaitu pemodal, pedagang, distributor, dan penikmat rente lainnya. Tata niaga produk pertanian kita sangat tidak adil terhadap petani. Nilai tukar produk pertanian sangat rendah dan jauh dari kelayakan, sementara marjin harga produsen dan harga konsumen akhir yang besar banyak dinikmati oleh pelaku distribusi. Bila terjadi kenaikan biaya distribusi, misalnya kenaikan harga BBM, maka distributor akan menaikkan harga konsumen, tetapi menekan harga produsen, maka marjin keuntungan distributor relatif stabil.
Kondisi ini terjadi karena tidak efisiennya pola distribusi produk pertanian selain memang tidak ada aturan yang membatasi ekspansi dan eskploitasi modal terhadap petani. Sebab lain adalah paradigma tata niaga pertanian yang lebih memihak konsumen. Paradigma ini menempatkan rakyat tani sebagai produsen dan rakyat lain sebagai konsumen dalam posisi vis a vis. Penyesuaian harga di tingkat produsen, dengan resiko memperbesar harga konsumen menjadi tabu dalam kebijakan. Apabila ada kecendengunan kenaikan harga produk pertanian, alih-alih justru menjadi alasan untuk membuka keran impor yang akan semakin memperpuruk ketahanan produksi pertanian dalam negeri.
Kelemahan petani juga terdapat dalam pemasaran hasil pertanian. Persoalan ini terjadi karena dominasi tengkulak dalam menentukan harga jual produk pertanian di tingkat petani. Ketergantungan pemenuhan modal kerja untuk pembelian sarana produksi dari tengkulak atau pemodal menyebabkan praktek ijon dan penentuan harga jual yang tidak bisa dielak oleh petani. Harga pasar tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan mekanisme harga dalam pasar persaingan sempurna yaitu hubungan tingkat penawaran dan permintaan. Bahkan, jaringan tengkulak dan pemodal membentuk kartel distribusi yang menyebabkan tipe pasar produk pertanian menjadi oligopoli. Konsekuensinya kartel distribusi yang terbentuk dapat dengan mudah mempermainkan harga pasar dengan tetap menekan harga produsen. Padahal baru komoditas padi (gabah) yang mendapatkan intervensi pemerintah dalam perlindungan harga, itupun belum dapat menyelesaikan persoalan tata niaga gabah dan persoalan petani padi lainnya.
Kolektifikasi Ekonomi Petani
Apa yang bisa dilakukan petani produsen dalam kondisi mekanisme pasar yang tidak terkontrol seperti ini? Upaya yang wajib dilakukan adalah menuntut pemerintah untuk membuat kebijakan pro petani. Upaya tersebut harus diimbangi dengan upaya untuk menaikkan daya tawar petani produsen, karena inilah salah satu persoalan yang mendasar, yaitu lemahnya posisi petani dalam permainan pasar, dan lemah dalam relasi ekonomi dengan pelaku lainnya.
Upaya menaikkan daya tawar petani produsen dilakukan dengan konsolidasi petani produsen dalam satu wadah untuk menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut pertama dilakukan dengan kolektifikasi semua proses dalam rantai pertanian, meliputi kolektifikasi modal, kolektifikasi produksi, dan kolektifikasi pemasaran. Kolektifikasi modal adalah upaya membangun modal secara kolektif dan swadaya, misalnya dengan gerakan simpan-pinjam produktif yang mewajibkan anggota kolekte menyimpan tabungan dan meminjamnya sebagai modal produksi, bukan kebutuhan konsumsi. Hal ini dilakukan agar pemenuhan modal kerja pada awal masa tanam dapat dipenuhi sendiri, dan mengurangi ketergantungan kredit serta jeratan hutang tengkulak.
Kedua, kolektifikasi produksi, yaitu perencanaan produksi secara kolektif untuk menentukan pola, jenis, kuantitas dan siklus produksi secara kolektif. Hal ini perlu dilakukan agar dapat dicapai efisiensi produksi dengan skala produksi yang besar dari banyak produsen. Efisisensi dapat dicapai karena dengan skala yang lebih besar dan terkoordinasi maka akan dapat dilakukan penghematan biaya dalam pemenuhan faktor produksi, dan kemudahan dalam pengelolaan produksi, misalnya dalam penanganan hama dan penyakit. Langkah ini juga dapat menghindari kompetisi yang tidak sehat di antara produsen yang justru akan merugikan, misalnya dalam irigasi dan jadwal tanam.
Ketiga, kolektifikasi dalam pemasaran produk pertanian. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan skala kuantitas yang besar, dan menaikkan posisi tawar produsen dalam perdagangan produk pertanian. Kolektifikasi pemasaran dilakukan untuk mengkikis jaring-jaring tengkulak yang dalam menekan posisi tawar petani dalam penentuan harga secara individual. Upaya kolektifikasi tersebut tidak berarti menghapus peran dan posisi pedagang distributor dalam rantai pemasaran, namun tujuan utamanya adalah merubah pola relasi yang merugikan petani produsen dan membuat pola distribusi lebih efisien dengan pemangkasan rantai yang tidak menguntungkan.
Bukan perkara mudah untuk dilakukan. Perlu dukungan organisasi dan pengorganisasian tani. Upaya ini juga harus diikuti dengan merubah orientasi pengorganisasian tani yang cenderung politik dan mengkritisi kebijakan nasional dan global menuju gerakan yang ekonomi politik. Pemberdayaan pertanian melalui program-program developmentalis masih berkutat pada tata kelola, produksi, dan pemasaran pada level mikro harus diimbangi dengan program advokasi yang bisa mengintervensi pada rantai pemasaran dan usaha merubah struktur pasar.
Perubahan struktur pasar, tata niaga dan pola relasi dalam pemasaran produk pertanian yang memihak dan mensejahterakan petani harus ditekan dari dua sisi, kebijakan pertanian yang pro petani, dan konsolidasi kekuatan ekonomi petani produsen yang dibangun dari bawah.
Upaya ini dimulai dengan pembangunan kekuatan ekonomi pertanian dari bawah, dimulai dari kelompok-kelompok tani dengan melakukan kolektifikasi seluruh aktifitas ekonomi, agar petani produsen lebih berdaya dalam perang kepentingan dengan pelaku pasar lain. Dimulai dari hal kecil, menyadarkan dan menggerakkan anggota kelompok tani untuk bekerjasama, berko-operasi, dan menjadikan kelompok sebagai organisasi politik dan ekonomi adalah hal yang harus dilakukan.[]
Monday, February 12, 2007
Membangun Gerakan Ekonomi Kolektif dalam Pertanian Berkelanjutan; Perlawanan terhadap Liberalisasi dan Oligopoli Pasar Produk Pertanian
Labels:
Edisi Pemasaran,
Opini
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
aku ada komen di link berikut, silakan kunjungi di
http://bumisegoro.wordpress.com/2008/03/17/pertanian-berbiaya-tinggi/
salam,
ropi
Post a Comment