Thursday, February 8, 2007

Wanatani Bukan Barang Baru Bagi Petani Kita

Oleh Akhmad Solehudin

Bagi kalangan akademisi maupun agroforester, pengetahuan tentang wanatani mungkin didapat dari buku-buku dan materi yang diajarkan di bangku kuliah, terutama yang mendalami pertanian dan kehutanan. Bagi yang tertarik dengan wanatani dan gemar ber-internet, sumber bacaan tentang wanatani dapat didapat dari sekian banyak situs yang menyediakan informasi tentang wanatani, diantaranya yang paling populer adalah situs milik World Agroforestry Center, sebuah lembaga penelitian wanatani internasional yang berpusat di Nairobi, Kenya, Afrika Timur yang sebelumnya bernama ICRAF (International Center for Research in Agroforestry).
Akan tetapi terdapat fakta yang menakjubkan di negeri kita maupun di belahan dunia lain. Selama berpuluh-puluh tahun, petani-petani Indonesia telah menerapkan pola wanatani! Ada beberapa istilah untuk menyebut jenis dan pola wanatani, misalnya kebon talun di Jawa Barat atau mamar di Pulau Timor. Saking banyaknya, seorang peneliti barat hanya membedakan pola wanatani menjadi dua jenis, wanatani sederhana dan wanatani kompleks. Selain pola tanam, sistem pertanian tradisional juga memilah-milah lahan sesuai pemanfaatannya, ada yang boleh ditanami tanaman palawija, ada yang khusus ditanami kayu-kayuan. Praktek tersebut dapat dilihat pada sistem mamar yang membedakan lahan aibaun yang berarti terlarang. Di Jawa Barat ada daerah leuweng titipan, daerah hutan yang tidak boleh diganggu karena titipan dari karuhun (leluhur). Masyarakat Banyumas mengenal wanatani dengan istilah alas atau kebon untuk membedakan dengan lahan sawah (tanaman padi), dan alas tua untuk hutan alam yang harus dijaga. Bagaimana para petani tersebut mendapatkan pengetahuan pola tanam tersebut yang asli Indonesia dan dijamin ramah lingkungan? Jawaban singkatnya adalah secara turun-temurun dan berdasarkan pengalaman empiris saja selama bertahun-tahun. Pengaruh kuatnya nilai-nilai dan budaya yang menghargai alam dan keseimbangannya di masyarakat kita juga menjadi pengaruh bertani ramah lingkungan tersebut.


Cara Bertahan Masyarakat
Hal menarik yang terjadi di petani Jawa adalah bertahannya tradisi wanatani setelah Jawa digempur eksploitasi sumber daya alam dengan tanam paksa (cultuurstelsel) yang diberlakukan pada tahun 1830-1875 oleh Van Den Bosch, Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu. Seluruh tanah pertanian rakyat dirampas dan ditanami tebu, kina, kopi, teh dan tanaman lain yang diperlukan oleh pemerintah Hindia Belanda.


Setelah tanam paksa, tanah Jawa juga dieksploitasi oleh perkebunan swasta (onderneming) yang hanya menanami komoditas yang laku di pasar Eropa. Kedua jaman tersebut menyebabkan krisis pangan luar biasa di Jawa, semua lahan produktif di komersialisasi dengan komoditas ekspor, dan petani bertahan dengan menanam aneka tanaman pangan di lahan pinggiran, seperti tepi hutan, bukit tandus, dan lahan tidur. Tradisi wanatanilah yang menjadi tumpuan ketahanan pangan masyarakat Jawa selama masa kolonial.
Pengalaman bertahan hidup dengan mengelola lahan pinggiran juga memunculkan penemuan besar oleh petani Jawa. Tanaman Kaliandra (caliandra calothyrus) awalnya didatangkan Belanda pada tahun 1936 untuk penaung tanaman teh, tetapi ternyata tidak cocok. Karena sifatnya yang mudah ditanam pada berbagai jenis lahan, petani Jawa menanam kaliandra untuk kayu bakar dan pagar tanaman di lahan kurang subur. Ternyata akar kaliandra dapat menahan Nitrogen dan menyubukan lahan. Daunnya yang kaya protein cocok untuk makanan ternak. Pengalaman petani Jawa tersebut memicu pembudidayaan tanaman kaliandra di wilayah tropis secara mendunia untuk penghijauan, makanan ternak, pendukung ternak lebah, dan kayu pulp.

Secara lugas dapat dikatakan, wanatani adalah bentuk kearifan lokal masyarakat kita, dan pengalaman petani telah menjadi pengetahuan berharga yang justru kini dikumpulkan para ahli untuk dibukukan. Tradisi dan kepercayaan masyarakat untuk menanam jenis-jenis tanaman tertentu di lahan, budaya membuat Karang Kitri (tanaman sayur dan obat di pekarangan), menaman berbagai jenis tanaman di lahan dan beternak untuk mendukung pertanian sudah dilakukan secara turun temurun. Namun hal tersebut juga terancam punah akibat pergeseran budaya, semakin terkikisnya kearifan lokal dengan budaya instan petani dalam produksi, dan tekanan ekonomi. Desakan kebutuhan hidup membuat mereka menjual ternak dan tak mampu membeli kembali, tanaman kaliandra dan glisiridia kemudian banyak yang dibuang. Menjadi tanggungjawab kita untuk mengembangkan kembali wanatani dan menjadikan wanatani dapat mensejahterakan petaninya, sehingga wanatani dapat menjamin keberlanjutan ekologi, dan keberlanjutan kehidupan petani secara ekonomi dan sosial budaya.

No comments: