Kehidupan, konon hanya ada di planet bumi. Di planet inilah ada kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Planet lain dalam tata surya tidak ada kehidupan seperti di bumi ini. Mereka mati. Menurut para ahli, kehidupan di bumi ini ada karena terdapat unsure udara dan air, unsure paling penting penentu kehidupan. Di planet lain, tidak ada unsure ini, maka tidak ada kehidupan di sana. Hal ini dulu sering kita dengan waktu kita mendapat pelajaran IPA, jaman kita sekolah dari SD sampai perguruan tinggi, kita diberi tahu jika air adalah unsure utama pembentuk kehidupan di muka bumi.Kesadaran kita tentang air berbeda dari jaman kita kecil. Dulu kita asyik saja bermain air, dus-dusan sampai mata memerah dan kulit legam. Sekarang kita menyadari bahwa tanpa air irigasi sawah kering dan tak berproduksi. Tanpa air ledeng yang mengalir lancar, keluarga-keluarga di kota tergangu irama kehidupannya. Bahkan di kota-kota besar, setiap keluarga harus menyiapkan rupiah dalam jumlah yang tidak sedikit untuk menghadirkan beberapa jerigen air di dapur. Kita juga mulai dengan serius berteriak tidak setuju ketika hutan banyak digunduli, karena kita tahu hutan adalah spon raksasa penyimpan air.
Secara alamiah, air menempati posisi yang unik bahkan sentral dalam kehidupan kita. Vandanashiva seorang aktifis lingkungan dunia menyebut air sebagai matrik budaya dan dasar kehidupan, karena itulah air harus dijaga dengan benar agar kehidupan manusia tidak terganggu. Dalam pandangan yang lebih kapitalistik, Ismail Serageldin, wakil direktur Word Bank pada tahun 1995 mengatakan, dimasa depan perang bukan lagi disebabkan oleh persengketaan minyak, barang tambang yang hanya bisa diperoleh dengan mengebor sedalam ribuan kilometer ke dalam perut bumi, perang masa depan dipicu oleh air. Sesungguhnya, ada landasan etik pengelolaan air. Karena semua orang di dunia membutuhkannya, air tidak boleh dikelola selayaknya komoditas yang bisa mendatangkan keuntungan besar.Pertanyaannya adalah mengapa air menjadi memiliki nilai ekonomi sedemikian tinggi?
Monday, December 17, 2007
Air untuk Kehidupan
Isyarat Krisis Air di Banyumas
Oleh Muhammad N. Latief
Pertengahan tahun 2006, pada diskusi yang diselenggarakan oleh salah satu harian lokal, direktur baru PDAM pada waktu itu mengungkapkan gagasan untuk menggunakan air sisa pemutar turbin PLTA Ketenger Baturaden, Banyumas sebagai salah satu sumber air bakunya. Mewnurutnya, air Kali Banjaran adalah solusi semua persoalan air bersih di Banyumas, persoalan pelayanan pada pelanggan akan teratasi, bisa menambah pelanggan baru sebanyak-banyaknya, bahkan bisa “mengekspor” air bersih ke kabupaten tetangga dalam rentang waktu puluhan tahun mendatang.
PDAM Banyumas saat ini mengelola air dengan debit 607 l/dt pada musim penghujan dan 529 l/dt serta 470 l/dt pada musim penghujan dan turun sampai dengan 390 l/dt pada musim kemarau khusus untuk kota Puwokerto. Mereka melayani lebih dari 11.000 pelanggan. Dengan kondisi ini wajar bila PDAM melakukan upaya-upaya untuk menambah pasokan air bakunya.
Bagi petani yang menggantungkan hidup pada sawah dan irigasi, rencana ini adalah berita buruk yang mengancam kelangsungan usaha tani mereka. Saat ini, air Kali Banjaran digunakan oleh hampir 20 % sawah irigasi tekhnis di Banyumas yang luasnya mencapai 10.509 ha. Karena itulah mereka menolak pengambilan air dari hulu sungai banjaran untuk air minum walaupun hanya 100-300 liter/detik.
Anatomi Konflik Sumber Daya Air
Konflik antara PDAM Banyumas dan petani-petani di daerah hilir Kali Banjaran menandai babak baru krisis dan konflik air di Banyumas. Selama ini, kita sering mendengar petani sering berebut air, ronda air pada saluran tersier maupun kuarter irigasi sebagai konflik atas sumber daya air secara terbuka. Dalam konflik ini, petani berperan sebagai korban sekaligus pelaku konflik air. Babak baru krisis air ini ditandai munculnya konflik antara petani dengan korporasi (PDAM) yang ramai diberitakan media. Selain itu juga mulai terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan air kemasan walaupun dalam skala kecil, seperti di Desa Pancasan Kecamatan Ajibarang dan Kecamatan Sumbang. Konflik horisontal antar petani mulai berubah menjadi konflik vertikal, antara masyarakat dengan negara sebagai pengambil kebijakan pengelolaan air yang berkolaborasi dengan pemilik modal.
Sekilas, konflik ini muncul dari sulitnya pemenuhan kebutuhan air minum masyarakat kota berhadapan dengan kebutuhan pemenuhan air irigasi petani dan bisa dikategorikan sebagai konflik horizontal. Tetapi, jika kita lebih teliti, dapat dilihat bahwa dasar konflik ini adalah konflik vertikal antara masyarakat yang membutuhkan air (air bersih maupun air irigasi) dengan pengambil kebijakan sumber daya air.
Keterlibatan korporasi yang bersekutu dengan negara memunculkan kecurigaan berlakunya gagasan neoliberal dalam pengelolaan air. Ismail Serageldin, wakil direktur Word Bank pada tahun 1995 mengatakan, dimasa depan perang bukan lagi disebabkan oleh persengketaan minyak, perang masa depan dipicu oleh air (Shiva.2002). Dulu air dipandang sebagai public goods yang harus dipelihara bersama-sama dan haram diperjual-belikan, bahkan air disebut sebagai matrik budaya dan dasar kehidupan (Shiva; 2002). Gagasan neoliberal merubah cara pandang terhadap air sebagai barang dagangan yang bisa mendatangkan keuntungan besar.
Pembangunan Tidak Berwawasan Lingkungan
Jika dianalisis lebih jauh, konflik sumber daya air mempunyai beberapa sebab. Pertama sentralisasi pemenuhan kebutuhan air bersih lewat PDAM, pada satu sisi memang merupakan bentuk dari tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat. Namun, skema ini tidak melihat daya dukung lokal dan pola dasar pemenuhan air masyarakat. Tradisi dan kearifan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air terganti dengan budaya instan. Masyarakat kita tak lagi mengandalkan sumur dangkal sebagai pemasok kebutuhan air, padahal dulunya di sekitar sumur pasti tumbuh rimbun pohon penahan air. Dengan budaya inilah, masyarakat kita tidak kesulitan air jika kemarau tiba.
Kedua, di Banyumas, segala aktifitas yang bisa mengakibatkan krisis air sudah berjalan. Ambil contoh aktifitas penebangan hutan produksi Perhutani di sekitar Gunung Cendana dan Bunder berkontribusi pada penurunan debit air Kali Banjaran, pengelolaan hutan oleh perusahaan ini juga menimbulkan konflik sosial ekonomi dengan masyarakat sekitar hutan. Contoh lain, penambangan limestone (batu gamping) di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang yang sudah sampai pada tahap menimbulkan resiko bencana ekologis. Belum lagi 18 potensi bahan galian lain, dari andesit sampai emas tinggal menunggu investor yang mengeksplorasinya.
Ketiga pemerintah daerah hanya mementingkan tercapainya target Pendapatan Asli Daerah (PAD). Rejim PAD ini melakukan segala daya upaya untuk mendatangkan pendapatan, termasuk mendatangkan investasi sebesar-besarnya. Keberhasilan otonomi daerah menurut mereka tergantung seberapa besar Pemerintah Daerah menghasilkan pendapatan dan mendatangkan investasi. Demi mengejar PAD, pembangunan ruko dan bangunan besar lain tak terkendali, menggusur lahan pertanian dan menutup saluran irigasi.
Selain masalah diatas, siklus hidrologis air telah mengalami perubahan ekstrem, manusia modern telah merusak dan menghancurkan kapasitas bumi untuk menerima, menyerap dan menampung air. Industri, dan pertanian tidak ramah lingkungan mengeringkan ekosistem dan meningkatkan penggunaan bahan bakar minyak yang menjadi penyebab utama polusi dan perubahan iklim global.
Sekarang, tinggal kita yang memilih, akan segera mengalami krisis lingkungan atau berpikir tentang konservasi dan bersahabat dengan alam. Pilihan pertama mungkin mudah dilakukan dan sesuai dengan pola pikir rejim otonomi daerah, karena pilihan inilah yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan naiknya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pilihan kedua? Hanya orang-orang yang berpikir yang melakukannya?
Mujamil dan Cara Adil Membagi Air
Oleh Widoro
Banyumas yang Mengering
Oleh
Muhammad N. Latief
Keruhnya Pengelolaan Air Bersih
Oleh Dimas Herjun
Meskipun Indonesia dikaruniai banyak air dengan curah hujan yang relatif tinggi, namun kelangkaan air tetap terjadi di berbagai daerah. Banyak warga yang kesulitan mengakses air bersih. Air bersih menjadi kebutuhan mendasar yang tak terpisahkan dari hidup dan kehidupan manusia.
Berbagai upaya untuk mengatasi kelangkaan air bersih ini pun sebenarnya telah dilakukan warga seperti dengan memperdalam sumur bor atau bahkan membuat sumur bor baru. Seperti yang dialami oleh Rifan (30), salah sorang warga Jln. Gunung Slemet, Kelurahan Grendeng, Kecamatan Purwokerto Utara, “Ini sudah yang kedua kali saya ngebor sumur, mas. Yang pertama airnya berminyak, baru yang terakhir ini setelah pindah agak ke timur rumah airnya agak lumayan bersih.” Terkadang sungai menjadi pilihan alternatif lainnya, walaupun banyak sungai yang terbilang tidak jernih.
Tak jauh berbeda dengan warga yang menjadi pelanggan PDAM. Walaupun telah membayar untuk pasokan kebutuhan air bersih, ternyata permasalahan untuk mendapatkan air bersih masih menjadi problematika yang tak kunjung selesai. Bahkan terus berulang dari tahun ke tahun. Dari sedikitnya jumlah air yang keluar dari kran hingga bau tak sedap dan keruhnya air yang keluar. Khususnya jika masa paceklik air di musim kemarau datang.
“Khususnya jika kemarau, air yang keluar sedikit sekali.” Ungkap Benny, seorang warga Kecamatan Purwokerto Timur. “Terkadang airnya malah keruh dan bau, jadi tidak bisa dipakai untuk keperluan sehari-hari.” Ujarnya menambahkan. Setidaknya pengalaman seperti inilah yang dialami oleh sekitar 500 pelanggan PDAM di wilayah Purwokerto.
Menanggapi hal ini, Direktur Utama PDAM Kabupaten Banyumas, Ahmad Hussein, menyatakan bahwa bau dan keruhnya air hanya sementara. “Hanya terjadi di awal-awal saja, tidak lama. Setelah kurang lebih 1 sampai 2 minggu keadaan airakan kembali normal.” Tekannya. Kondisi seperti ini menurutnya di sebabkan karena PDAM menyalakan sumber air yang berasal dari sumur dalam yang menjadi pasokan tambahan PDAM Banyumas karena mengecilnya debit air yang dihasilkan dari sumber mata air.
Bau air yang dialirkan PDAM ke pelanggan menurut Pak Hussein adalah bau yang berasal dari kandungan besi (Fe) dalam air. Namun menurutnya air ini masih aman karena masih berada pada batas ambang aman untuk dikonsumsi. “Kondisi air dengan kandungan Fe 1mg ini secara fisik memang bermasalah di masyarakat, yaitu air yang keruh dan berbau besi, namun masih aman untuk diminum.” Papar bapak paruh baya ini tegas.
Bertolak dari adanya keluhan yang dialami oleh pelanggannya, PDAM sebagai perusahaan penyedia air bersih, mengakui keterbatasannya dalam mengolah air dari sumur dalam. “PDAM hanya mampu membatasi kadar Fe yang tinggi dalam air dari sumur dalam hingga batas ambang aman konsumsi yaitu 1mg.” jelasnya.
Berbeda dengan air dari sumber mata air yang sudah jernih sehingga dapat langsung disalurkan setelah diberi gas Klor pada reservoir.”Dari sumber mata air langsung dimasukkan ke reservoir, karena air sudah jernih, jadi tinggal diklorinasi untuk menghilangkan bakteri, kemudian di salurkan kepada pelanggan”. Tutur Direktur Teknis PDAM, menjelaskan. Air dari sumur dalam harus melalui beberapa tahap aerasi lebih panjang untuk mendapatkan kualitas air yang layak konsumsi. “Pada sumur dalam, karena airnya belum sepenuhnya jernih maka, dilakukan proses pengendapan dan penyaringan, agar air menjadi jernih seperti pada sumber mata air, sebelum diklorinasi dan dialirkan ke pelanggan.” Ujarnya lagi.
Menurut penjelasn Pak Hussein, tahapan-tahapan aerasi tersebut merupakan tindakan yang dilakukan untuk memperoleh air bersih yang berkualitas bagi pelanggannya. Selain melakukan tahapan- tahapan pengolahan air di reservoir, PDAM dalam usaha menjaga kualitas airnya juga melakukan kerjasama dengan lembaga lain, yaitu Laboratorium Dinas Kesehatan Banyumas. ” Dalam melakukan pengelolaan air bersih di wilyah Banyumas Dinas Kesehatan (DinKes) selalu melakukan koordinasi berkala dengan dinas dan instansi terkait, seperti salah satunya adalah dengan PDAM selaku pengelola air minum.” Jelas Ibu Siwi Utami Kepala Bagian Sanitasi (PPTK Pengendalian dampak dan resiko pencemaran lingkungan) Dinas Kesehatan Kab. Banyumas.
“DinKes dan PDAM melakukan kordinasi kerjasama secara berkala untuk merlakukan pengecakan terhadap sumber mata air yang dikelola oleh PDAM. Dalam hal ini Dinas kesehatan menyediakan jasa laboratorium pengujian sample kualitas kadar air layak minum. Sample air ini dilakukan oleh petugas yang ada di puskesmas-puskesmas terdekat dengan daerah pengambilan sample air.” Lanjut Ibu ramping berkerudung ini.
Berkenaan dengan pengambilan sample uji coba air agaknya terjadi ketidak percayaan di antara dinas yang bekerjasama. Terlihat dari bentuk pola kerjasama yang terbangun antara PDAM dengan DinKes. Salah satunya tentang penentuan dimana tempat yang harus diambil sample airnya. Menurut Bu Siwi, pihaknya menunggu pemberitahuan terlebih dahulu dari PDAM. “Penentuan tempat pengambilan sample air dilakukan melalui koordinasi antara DinKes dengan PDAM dengan maksud agar pengambilan sample tepat di wilayah air yang dikelola oleh PDAM, bukan yang lain,” ujarnya. Hal tersebut, menurut ibu muda ini, adalah untuk meminimalisir kesalahan pengambilan sample air. “Ada ketkutan yang diambil bukan dari sumber yang dikelola PDAM,” lanjutnya.
Di sisi lain, pihak PDAM sendiri mengakui bahwa sebenarnya telah memiliki tenaga ahli dan laboratorium sendiri untuk pengujian kualitas air. Namun tetap bekerjasama dengan DinKes hanya bermaksud untuk mencocokkan hasil uji coba. “Kami sebenarnya sudah punya petugas dan laboratorium sendiri. Kerjasama dengan DinKes hanya untuk keperluan pencocokkan hasil sample. Apakah sama atau tidak?” ungkap pak Hussein.
Permasalahan lain juga terlihat ketika beralih pada kauntitas air bersih yang berkaitan dengan ketersediaan sumber mata air. Pak Ahmad Hussein enjelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan air 40.000 pelanggannya, yang 22.000 diantaranya berada di wilyah Purwokerto, pihaknya telah menemukan setidaknya lima sumber mata air baru di daerah Baturraden, Ajibarang dan Sokaraja. Usaha penemuan sumber air baru ini dilakukan karena sumber-sumber air terdahulu debit airnya telah jauh berkurang, bahkan ada kemungkinan kemungkinan menghilang. Sehingga upaya pencarian sumber baru harus terus dilakukan.
Walaupun sebenarnya, ketika merujuk pada penjelasan dari Ir. Zahnir, M.Pd, M.Si, Kepala Bidang Pelestarian Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Banyumas. Pencarian ini tidak harus terjadi jika perawatan terhadap sumber mata air dan sumber air lainnya dilakukan dengan benar. “Di sekitar daerah mata sudah seharusnya ditanami dengan pohon-pohon besar yang berakar tunggang. Karena akar dari pohon itu akan membantu menahan air, sehingga mata air tetap terjaga baik pada musim hujan dan kemarau sumber mata air tidak akan kekurangn air karena masih memiliki simpanan air yang di tahan oleh pohon-pohon besar tersebut,” Ia juga mlanjutkan bahwa, “Penanaman pohon-pohon besar di sekitar sumber air ini wajib dilakukan jika tidak ingin mata air tersebut menghilang,” tegas bapak berperawakan gempal ini.
Berbeda dengan pendapat Dirut PDAM, dia mengatakan bahwa kondisi sumber mata air tergantung dari hutan yang ada di atasnya dan penanaman pohon-pohon besar hanya akan mengganggu. “Kondisi sumber mat air tergantung pada kondisi Hutan sebagai penyuplai asupan air bagi sumber mata air. Pananaman pohon-pohon besar disekitar sumber mata air hanya akan menggangu, karena pohon-pohon tersebut akan menyerap air dan menguapkannya. Sehingga untuk penghijauan disekitar sumber mata air hanya dilakukan atas dasar estetika lingkungan semata,” ungkapnya.
Melihat ketidakharmonisan koordinasi antar lembaga pelayan masyarakat dalam satu lembaga payung bernama Pemerintah Daerah seperti ini. Nampaknya susah bagi masayarakat untuk membangun kepercayaan terhadap mereka. Sehingga sudah saatnya masyarakat untuk berusaha sendiri atas kesejahteraannya.[]
Rehabilitasi Irigasi Jangan Sekadar Komitmen
Oleh Andreas Nugroho Pandu S.
Jaringan irigasi di Banyumas kurang lebih 50 persen dalam kondisi rusak, di dalamnya 30 persen dalam kondisi rusak berat. Hal ini dikarenakan jaringan irigasi sebagian besar sudah uzur.
Banyumas termasuk salah satu lumbung padi dengan potensi irigasi yang cukup luas. Menurut data dari makalah Ketahanan Pangan Banyumas milik Dinas Sumber Daya Air Pertambangan dan Energi (Disairtamben) Kabupaten Banyumas, daerah dengan ikon Bawor ini memiliki luas areal potensial 28.320,47 ha dan luas areal fungsional 26.334,98 ha. Areal seluas itu kemudian dibagi menjadi tiga daerah kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten.
Namun kondisi di lapangan berkata lain. Kerusakan jaringan irigasi menghantui daerah asal legenda Lutung Kasarung. Dari catatan Disairtamben, Daerah Irigasi (DI ) Serayu dan DI Tajum yang termasuk dalam jaringan irigasi kewenangan Pemerintah Pusat memiliki luas areal potensial 3.148 ha dan areal fungsional 2.883 ha, dua buah bendungan, 253 buah bangunan irigasi, dan 64,34 km saluran irigasi. Kondisi jaringan irigasi yang melingkupi dua daerah irigasi tersebut satu buah bendungan kondisinya rusak ringan,53 buah bangunan irigasi rusak, dan saluran irigasi sepanjang 30,18 km rusak.
Sama halnya dengan jaringan irigasi yang termasuk kewenangan Pemerintah provinsi Jateng. Luas areal potensial 4.378,34 ha dan areal fungsional 4.260,99 ha. Meliputi DI Banjaran, DI Andongbang – Junjungan, DI Kedunglimus – Arca, DI Kebasen dan DI Kalisapi dengan tujuh buah bendungan, 569 buah bangunan irigasi, dan saluran irigasi sepanjang 92,40 km yang berada di wilayah tersebut mengalami kondisi yang serupa. Dari data di lapangan tercatat dari yang ada empat buah bendungan, 280 buah bangunan irigasi, dan saluran irigasi sepanjang 43,21 km rusak.
Sementara jaringan irigasi kewenangan Pemerintah Kabupaten Banyumas memiliki areal potensial 17.665,14 ha dan areal fungsional 16.509,61 ha. Tercatat jaringan irigasi yang dimiliki 498 buah bendungan 2.214 buah bangunan irigasi dan
417,81 km saluran irigasi. Kondisinya juga cukup parah yaitu 313 buah bendungan, 1.235 buah bangunan irigasi, 227,87 km rusak berat hingga ringan.
Menjadi komitmen Pemkab Banyumas terhadap pertanian
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, tahun ini Pemkab Banyumas berkomitmen perhatiannya akan lebih diarahkan ke pertanian. Mengingat daerah ini pernah menjadi lumbung padi nasional. “Tapi dana operasional dan pemeliharaan (O&P) dari APBD masih kurang dan hal ini menjadi permasalahan secara nasional,” ujar Ir. Irawadi, CES. Kepala Bidang Irigasi Dinas Sumber Daya Air Pertambangan dan Energi Kabupaten Banyumas.
Dana O&P kurang. Tahun 2007 sebesar Rp. 45.000,- per ha, sementara berdasar hasil rapat regional disepakati O&P sebesar Rp. 120.000,- per ha. Kekurangan dana tersebut juga turut menyumbang terjadinya akumulasi kerusakan jaringan irigasi. Alhasil, kebutuhan dana rehabilitasi semakin membengkak
Kendala utama dalam pengelolaan irigasi di Banyumas adalah debit sumber air semakin kecil akibat kerusakan lingkungan sehingga ketersediaan air untuk irigasi semakin berkurang. Hal ini diamini oleh Ir. Zahnir, M.Pd, M.Si, Kepala Bidang Pelestarian Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Banyumas. “Belakangan ini di beberapa daerah kualitas dan kuantitas mata air menurun ditunjukkan dengan menurunnya permukaan air tanah,” jelasnya.
Di sisi lain, secara kelembagaan juga masih ada masalah. Jumlah dan kualitas juru atau mantri yang bertugas sebagai pengelola jaringan irigasi di lapangan menurun karena pensiun. Sementara Paguyuban Petani Pemakai Air (P3A) belum bisa mengelola irigasi secara mandiri
Beberapa upaya yang telah dilakukan misalnya koordinasi dan kerjasama dengan pola sharing anggaran Pemkab maupun Pemprov. Terutama untuk penanganan yang bersifat mendesak dan darurat. Kemudian rehabilitasi dan O&P pada jaringan irigasi kewenangan Pemkab melalui pengalokasian Dana APBD untuk kegiatan O&P, rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi. Sedangkan untuk mengatasi kekurangan personil di lapangan konsep yang dipakai ialah pemberdayaan P3A. dan mengadakan pelatihan Manajemen Aset Sumber Daya Alam.
Tahun ini Dana Alokasi Khusus (DAK) APBD Kabupaten Banyumas digunakan untuk kegiatan Pemeliharaan dan Rehabilitasi Jaringan Irigasi di 14 DI, rehabilitasi DI Kerbek, pembangunan dan peningkatan jaringan irigasi di 2 DI. Total anggaran pengelolaan jaringan irigasi untuk meningkatkan fungsi jaringan irigasi dalam mencukupi air di areal sawah seluas 2.313,98 ha adalah Rp. 2.710.980.000,-
“Kita mendapat pinjaman dari ADB yang digunakan untuk program PISP dan Banyumas merupakan proyek percontohan sebagai wakil Jateng,” ujar Pak Irawadi bangga. Pinjaman ADB 2064 (SF) dan 2065 (INO) ini diimplementasikan melalui program Participatory Irrigation Sector Project (PISP) untuk kegiatan Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPISP). Bidikan dari program ini meliputi penguatan kelembagaan (capacity building) untuk P3A maupun Lembaga Pengelola Irigasi (LPI), perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. PISP dilaksanakan sampai tahun 2011.
Lebih lanjut menurut Ir. Irawadi, Dinas Sumber Daya Air Pertambangan dan Energi Kabupaten Banyumas juga menyusun rencana pengembangan jaringan irigasi. Rencana tersebut meliputi pencarian alternatif penyediaan air baku untuk irigasi dari Air Bawah Tanah (ABT) atau melalui sistem pompanisasi, membuat skala prioritas penanganan serta berkoordinasi dengan Pemprov untuk penanganan bencana alam di jaringan irigasi.
Rusak lagi
Pak Jayus, tetua desa Pegalongan, Kecamatan Patikraja, Banyumas, mengeluhkan tanggul irigasi desa yang baru diperbaiki BPSDA setelah demonstrasi petani beberapa waktu lalu, sudah rusak lagi. “Perbaikannya asal-asalan, belum satu tahun pinggiran tanggulnya sudah jebol lagi,” ujar Pak Jayus yang pernah menjadi ketua Dharma Tirta. Pak Jayus mengaku semasa dia menjadi ketua, dalam proses operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi beliau terus-menerus rugi. “Biaya yang keluar banyak, karena pengelolaan saya jalankan dengan sebaik-baiknya,”imbuhnya.
Bulan September 2006 lalu, kelompok tani desa Pegalongan, Sri Maneges berdemonstrasi menuntut rehabilitasi irigasi karena kerusakan saluran yang semakin parah bisa berujung pada gagal panen. Hasilnya, bantuan dari Pemerintah Kabupaten dan Provinsi untuk rehabilitasi saluran irigasi. Namun warga desa mengungkapkan bahwa rehabilitasi irigasi yang digarap BPSDA kurang bermanfaat.
Sebaiknya yang diperbaiki adalah saluran irigasi dari daerah Sidaboa ke Pegalongan, karena wilayahnya naik dan selokannya digali lebih dalam lagi. “Seharusnya saluran irigasi yang diperbaiki itu tempat air lewat, tapi yang dibangun malah tempat pembuangan air,” ujar Parto, petani setempat.
Kondisi saluran irigasi yang mengaliri desa tersebut cukup parah. Selokan berlubang disana-sini, yang nampak hanya genangan air di beberapa tempat. Dari Tanjung ke TPA Gunung Tugel air masih mengalir. Tetapi dari TPA ke Banjaran sudah berkurang dari 90 % menjadi 70%. Masih beruntung warga masih memiliki sumur di beberapa lokasi yang bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Pria bertubuh kecil ini bercerita bahwa areal lahan mulai mengering sejak tahun 1997. “Dulu waktu saya kecil airnya melimpah, tapi sekarang kering. Air di selokan irigasi desa tidak mengalir dan salurannya ngilang,” kisahnya. Lahan di desa hanya sekitar 20 ha yang bisa ditanami padi jenis gaga rancah. Banyak yang tidak produktif lagi dan pada akhirnya ditanami pohon penghasil kayu karena selalu gagal panen. Ditambah lagi kekurangan tenaga pemuda desa yang hijrah mencari kerja ke kota. “Lahan jadi tidak terawat, kalau ditanami padi juga tidak bisa gemuk, karena dimakan sama pohon di sekitar lahan,” ujar pria berusia 31 tahun ini. Areal lahan di desa Pegalongan praktis menjadi sawah tadah hujan karena pada musim kemarau air sama sekali tidak mengalir. “Mau nggak mau harus menanam pohon,” imbuhnya.
Pak Parto, seperti halnya petani desa Pegalongan yang lain juga mengeluhkan minimnya pemeliharaan jaringan irigasi yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Misalnya waker (mandor; Jawa) selokan, petugas yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menjaga saluran irigasi sudah tidak ada lagi. “Kemarin pas musim panen tiap torong harus dijaga bergiliran, kalau tidak ditunggu bisa terjadi kebocoran atau airnya dicuri dan dialihkan ke lahan lain,” jelas Pak Parto disambut anggukan beberapa rekannya.
Senada dengan kondisi tersebut, Ir. Irawadi mengakui penurunan jumlah sumber daya manusia. Mantri pengairan berkurang karena sekarang sudah pensiun dan yang baru belum bisa bertugas dengan baik dan maksimal. “Permasalahan irigasi juga mencakup hal sosio teknis misalnya masalah penurunan jumlah mantri pengairan tersebut,” ungkapnya. Menurut Kabid Irigasi Dinas Sumber Daya Air Pertambangan dan Energi Kabupaten Banyumas ini hal tersebut bisa diatasi dengan memberdayakan P3A agar bisa mengelola air secara mandiri.
Berbicara tentang air berarti berbicara kepentingan hajat hidup orang banyak. Jika tidak dikelola dengan baik dan serius, maka kepentingan masyarakat akan terganggu. Seharusnya aparat Pemerintah mempertegas komitmen dengan memberikan perhatian lebih terhadap pertanian mengingat status Indonesia yang masih negara agraris.