Monday, December 17, 2007

Air untuk Kehidupan

Kehidupan, konon hanya ada di planet bumi. Di planet inilah ada kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Planet lain dalam tata surya tidak ada kehidupan seperti di bumi ini. Mereka mati. Menurut para ahli, kehidupan di bumi ini ada karena terdapat unsure udara dan air, unsure paling penting penentu kehidupan. Di planet lain, tidak ada unsure ini, maka tidak ada kehidupan di sana. Hal ini dulu sering kita dengan waktu kita mendapat pelajaran IPA, jaman kita sekolah dari SD sampai perguruan tinggi, kita diberi tahu jika air adalah unsure utama pembentuk kehidupan di muka bumi.Kesadaran kita tentang air berbeda dari jaman kita kecil. Dulu kita asyik saja bermain air, dus-dusan sampai mata memerah dan kulit legam. Sekarang kita menyadari bahwa tanpa air irigasi sawah kering dan tak berproduksi. Tanpa air ledeng yang mengalir lancar, keluarga-keluarga di kota tergangu irama kehidupannya. Bahkan di kota-kota besar, setiap keluarga harus menyiapkan rupiah dalam jumlah yang tidak sedikit untuk menghadirkan beberapa jerigen air di dapur. Kita juga mulai dengan serius berteriak tidak setuju ketika hutan banyak digunduli, karena kita tahu hutan adalah spon raksasa penyimpan air.
Secara alamiah, air menempati posisi yang unik bahkan sentral dalam kehidupan kita. Vandanashiva seorang aktifis lingkungan dunia menyebut air sebagai matrik budaya dan dasar kehidupan, karena itulah air harus dijaga dengan benar agar kehidupan manusia tidak terganggu. Dalam pandangan yang lebih kapitalistik, Ismail Serageldin, wakil direktur Word Bank pada tahun 1995 mengatakan, dimasa depan perang bukan lagi disebabkan oleh persengketaan minyak, barang tambang yang hanya bisa diperoleh dengan mengebor sedalam ribuan kilometer ke dalam perut bumi, perang masa depan dipicu oleh air. Sesungguhnya, ada landasan etik pengelolaan air. Karena semua orang di dunia membutuhkannya, air tidak boleh dikelola selayaknya komoditas yang bisa mendatangkan keuntungan besar.Pertanyaannya adalah mengapa air menjadi memiliki nilai ekonomi sedemikian tinggi?

Baca selengkapnya...

Isyarat Krisis Air di Banyumas

Oleh Muhammad N. Latief

Pertengahan tahun 2006, pada diskusi yang diselenggarakan oleh salah satu harian lokal, direktur baru PDAM pada waktu itu mengungkapkan gagasan untuk menggunakan air sisa pemutar turbin PLTA Ketenger Baturaden, Banyumas sebagai salah satu sumber air bakunya. Mewnurutnya, air Kali Banjaran adalah solusi semua persoalan air bersih di Banyumas, persoalan pelayanan pada pelanggan akan teratasi, bisa menambah pelanggan baru sebanyak-banyaknya, bahkan bisa “mengekspor” air bersih ke kabupaten tetangga dalam rentang waktu puluhan tahun mendatang.

PDAM Banyumas saat ini mengelola air dengan debit 607 l/dt pada musim penghujan dan 529 l/dt serta 470 l/dt pada musim penghujan dan turun sampai dengan 390 l/dt pada musim kemarau khusus untuk kota Puwokerto. Mereka melayani lebih dari 11.000 pelanggan. Dengan kondisi ini wajar bila PDAM melakukan upaya-upaya untuk menambah pasokan air bakunya.
Bagi petani yang menggantungkan hidup pada sawah dan irigasi, rencana ini adalah berita buruk yang mengancam kelangsungan usaha tani mereka. Saat ini, air Kali Banjaran digunakan oleh hampir 20 % sawah irigasi tekhnis di Banyumas yang luasnya mencapai 10.509 ha. Karena itulah mereka menolak pengambilan air dari hulu sungai banjaran untuk air minum walaupun hanya 100-300 liter/detik.

Anatomi Konflik Sumber Daya Air
Konflik antara PDAM Banyumas dan petani-petani di daerah hilir Kali Banjaran menandai babak baru krisis dan konflik air di Banyumas. Selama ini, kita sering mendengar petani sering berebut air, ronda air pada saluran tersier maupun kuarter irigasi sebagai konflik atas sumber daya air secara terbuka. Dalam konflik ini, petani berperan sebagai korban sekaligus pelaku konflik air. Babak baru krisis air ini ditandai munculnya konflik antara petani dengan korporasi (PDAM) yang ramai diberitakan media. Selain itu juga mulai terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan air kemasan walaupun dalam skala kecil, seperti di Desa Pancasan Kecamatan Ajibarang dan Kecamatan Sumbang. Konflik horisontal antar petani mulai berubah menjadi konflik vertikal, antara masyarakat dengan negara sebagai pengambil kebijakan pengelolaan air yang berkolaborasi dengan pemilik modal.

Sekilas, konflik ini muncul dari sulitnya pemenuhan kebutuhan air minum masyarakat kota berhadapan dengan kebutuhan pemenuhan air irigasi petani dan bisa dikategorikan sebagai konflik horizontal. Tetapi, jika kita lebih teliti, dapat dilihat bahwa dasar konflik ini adalah konflik vertikal antara masyarakat yang membutuhkan air (air bersih maupun air irigasi) dengan pengambil kebijakan sumber daya air.
Keterlibatan korporasi yang bersekutu dengan negara memunculkan kecurigaan berlakunya gagasan neoliberal dalam pengelolaan air. Ismail Serageldin, wakil direktur Word Bank pada tahun 1995 mengatakan, dimasa depan perang bukan lagi disebabkan oleh persengketaan minyak, perang masa depan dipicu oleh air (Shiva.2002). Dulu air dipandang sebagai public goods yang harus dipelihara bersama-sama dan haram diperjual-belikan, bahkan air disebut sebagai matrik budaya dan dasar kehidupan (Shiva; 2002). Gagasan neoliberal merubah cara pandang terhadap air sebagai barang dagangan yang bisa mendatangkan keuntungan besar.

Pembangunan Tidak Berwawasan Lingkungan
Jika dianalisis lebih jauh, konflik sumber daya air mempunyai beberapa sebab. Pertama sentralisasi pemenuhan kebutuhan air bersih lewat PDAM, pada satu sisi memang merupakan bentuk dari tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat. Namun, skema ini tidak melihat daya dukung lokal dan pola dasar pemenuhan air masyarakat. Tradisi dan kearifan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air terganti dengan budaya instan. Masyarakat kita tak lagi mengandalkan sumur dangkal sebagai pemasok kebutuhan air, padahal dulunya di sekitar sumur pasti tumbuh rimbun pohon penahan air. Dengan budaya inilah, masyarakat kita tidak kesulitan air jika kemarau tiba.

Kedua, di Banyumas, segala aktifitas yang bisa mengakibatkan krisis air sudah berjalan. Ambil contoh aktifitas penebangan hutan produksi Perhutani di sekitar Gunung Cendana dan Bunder berkontribusi pada penurunan debit air Kali Banjaran, pengelolaan hutan oleh perusahaan ini juga menimbulkan konflik sosial ekonomi dengan masyarakat sekitar hutan. Contoh lain, penambangan limestone (batu gamping) di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang yang sudah sampai pada tahap menimbulkan resiko bencana ekologis. Belum lagi 18 potensi bahan galian lain, dari andesit sampai emas tinggal menunggu investor yang mengeksplorasinya.
Ketiga pemerintah daerah hanya mementingkan tercapainya target Pendapatan Asli Daerah (PAD). Rejim PAD ini melakukan segala daya upaya untuk mendatangkan pendapatan, termasuk mendatangkan investasi sebesar-besarnya. Keberhasilan otonomi daerah menurut mereka tergantung seberapa besar Pemerintah Daerah menghasilkan pendapatan dan mendatangkan investasi. Demi mengejar PAD, pembangunan ruko dan bangunan besar lain tak terkendali, menggusur lahan pertanian dan menutup saluran irigasi.

Selain masalah diatas, siklus hidrologis air telah mengalami perubahan ekstrem, manusia modern telah merusak dan menghancurkan kapasitas bumi untuk menerima, menyerap dan menampung air. Industri, dan pertanian tidak ramah lingkungan mengeringkan ekosistem dan meningkatkan penggunaan bahan bakar minyak yang menjadi penyebab utama polusi dan perubahan iklim global.

Sekarang, tinggal kita yang memilih, akan segera mengalami krisis lingkungan atau berpikir tentang konservasi dan bersahabat dengan alam. Pilihan pertama mungkin mudah dilakukan dan sesuai dengan pola pikir rejim otonomi daerah, karena pilihan inilah yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan naiknya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pilihan kedua? Hanya orang-orang yang berpikir yang melakukannya?

Baca selengkapnya...

Mujamil dan Cara Adil Membagi Air

Oleh Widoro


Cerita bermula ketika warga Dusun Rabuk, Desa Baseh, Kecamatan Karanglewas,Kabupaten Banyumas sering bertengkar gara-gara rebutan air bersih. Ini merupakan fenomena aneh karena desa ini terletak di lereng Gunung Slamet bagian barat daya yang berlimpah air. Seperti umumnya desa di lereng gunung, warga desa ini mempunyai pasokan air dari titik-titik mata air. Untuk menyalurkan air ke rumah-rumah, mereka membangun bak-bak penampungan yang dialirkan melalui pipa ke rumah-rumah penduduk.Rupanya, distribusi air dengan sistem ini mempunyai banyak kelemahan. Air yang diperoleh masing-masing rumah tidak rata. Ada rumah yang memperoleh air berlimpah, namun banyak juga rumah yang alirannya crat-cret alias tidak lancar. Saluran model seperti ini rawan kecurangan, jika ada rumah yang ingin memanfaatkan air berlebih , warga tinggal mengganti pipa dengan diameter lebih besar, dan rumahnya akan kebagian air dalam jumlah yang berlimpah. Selain itu, model penyaluran air seperti ini mudah bocor dan rusak. Hal inilah yang menjadi pangkal konflik, distribusi air yang tidak merata. Saking seringnya konflik, penduduk punya plesetan banyu bersih jadi banyu brisik (air bersih jadi air keributan).

Mujamil (52) adalah seorang guru agama yang pernah tinggal di dusun ini sebelum menetap di Grumbul Singosari Kulon, Desa Singosari, Kecamatan Karanglewas. Beliau tergerak hatinya untuk menyelesaikan konflik dan berpikir keras untuk mencari solusi permasalahan. Pak guru ini teringat sistem bejana berhubungan yang diterapkan oleh Pertamina untuk mendistribusikan minyak. Kebetulan sebelum menjadi guru agama, beliau pernah bekerja di Pertamina UP IV CIlacap. Mujamil akhirnya menemukan teknik jitu untuk membagi air dalam jumlah sedikit secara adil dengan teknologi murah. Berkat teknologi baru yang dirintisnya ini, Mujamil dapat membawa perdamaian bagi masyarakat di desanya yang mulanya sering bertengkar karena rebutan air.

Berbekal pengalaman teknik pasang-memasang pipa, pada tahun 1995 Mujamil dan beberapa warga melakukan ujicoba penerapan teknik bejana berhubungan untuk mendistribusikan air.Cara kerja teknik ini sederhana, hanya dengan memahami sifat air dan udara. Prinsip fisika inilah yang digunakan Mujamil untuk menjalankan alatnya. Setelah air ditampung di bak penampungan, air disalurkan melalui jaringan pipa ke lokasi-lokasi rumah penduduk dengan pipa paralon yang ditanam, mirip jaringan pipa PDAM. Pada beberapa titik sebelum air masuk ke rumah penduduk, air dimasukan ke dalam tabung T untuk mengatur sirkulasi udara dan tekanan air.

Di tabung inilah, sistim bejana berhubungan bekerja. Bejana ini menstabilkan tekanan air yang berbeda pada masing-masing rumah karena perbedaan lokasi dan ketinggian. Jadi setelah melewati bejana ini, air yang keluar dari pipa dan selang sama derasnya, tidak ada lagi rumah yang airnya mancur-mancur dan rumah yang aliran hanya crat-cret. Agar kuat, beberapa tabung bejana dikelilingi tembok semen, mirip tugu. Jadi, jangan heran jika bertandang ke desa ini akan banyak melihat tugu di sudut-sudut desa.

Kata murah yang disebut di awal tulisan pun terbukti, untuk membangun satu tabung T yang berisi bejana berhubungan, biaya yang dikeluarkan tidak sampai Rp. 1 juta. Kecuali jika ingin tugu pelindung bejana lebih kuat, biaya tersebut ditambah dengan harga pembelian bahan-bahan bangunan plus ongkos tukang batu. Penerapan teknik bejana berhubungan ala Mujamil inipun mengakhiri cerita konflik air di desanya. 

Replikasi
Setelah masalah bagi-membagi air di Grumbul tempat dia dulu tinggal selesai, Mujamil ingin menerapkan teknik yang sama di desa tempatnya sekarang tinggal, yakni Desa Singosari tanah kelahirannya. Beliau juga tergerak ingin menjadi putra desa yang baik, membaktikan diri untuk masyarakat.

Mulai tahun 1996 dia menerapkan teknik bejana di Grumbul Singosari Kulon, tentu dengan modifikasi di sana-sini, menyesuaikan dengan kondisi lingkungan yang berbeda. Untuk proyeknya di desa ini, Mujamil beruntung mendapatkan bantuan dari salah satu lembaga sosial di Purwokerto, disamping swadaya masyarakat yang terbilang besar. Proyek distribusi air di daerah inipun berhasil.

Keberhasilannya membuat masyarakat Grumbul sebelah tempat tinggalnya, Singosari Wetan, ingin mereplikasi teknik tabung tersebut. Kebetulan waktu itu ada proyek pemerintah untuk desa tertinggal, namanya Proyek Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT). Usulan untuk membangun proyek diajukan pada pemerintah, sayangnya PEMKAB Banyumas merespon negative. Menurut pemerintah waktu itu, teknik tersebut tidak menjamin keberhasilan proyek. Namun keberhasilan bejana berhubungan di Grumbul sebelahnya membuat tekad masyarakat Grumbul Singosari Wetan membatu. Pemerintah akhirnya menurunkan tim dari Dinas Bina Marga dan Dinas Cipta Karya untuk melakukan riset. Hasilnya, sesuai dengan keinginan masyarakat, kedua dinas tersebut merekomendasikan penerapan teknik bejana berhubungan untuk system distribusi air desa. 

Mujamil sekarang menjadi ahli hidrologi “amatiran”. Dia senang dengan sebutan amatiran, padahal karyanya membawa perubahan besar bagi masyarakat di 3 daerah yang berhasil menerapkan system distribusi air bejana berhubungan. Dia sekarang sedang melayani “konsultasi” pembangunan proyek serupa dari para Pimpro desa tetangganya yaitu Desa Beji, Baseh dan Kedung Banteng, ketiganya berada di Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Banyumas. 
Dia juga sedang berkhidmat menyelesaikan studi strata satu (S1) pada salah satu sekolah tinggi di Purwokerto.“Untuk memenuhi syarat kedinasan” ujarnya. Peraturan sekarang memang mengharuskan guru agama Sekolah Dasar (SD) menyandang gelar sarjana agar bisa lolos sertifikasi profesi. 

Menambah Pendapatan Desa
Dari sekian banyak daerah yang mengaplikasikan penemuannya, menurut beliau ada satu desa yang masuk dalam kategori mencapai keberhasilan besar. Keberhasilan ini dicapai di Desa Panembangan, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas pada tahun 2000-an. Di desa ini, dengan debit air 10 liter/detik air bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan 300 keluarga. Karena air masih tersisa, jaringan distribusi air dilebarkan sampai desa sebelah, Pernasidi. Sekali lagi Mujamil membuktikan teknologinya mampu mencukupi kebutahan air bahkan di dua desa dengan debit yang tidak terlalu besar.

Satu lagi inovasi yang dilakukan di dua desa terakhir. Masing-masing dipasangi meteran, mirip meteran pada pelanggan PDAM. Dengan perhitungan meteran tadi, pelanggan dikutip biaya pemakaian, tentu dengan tarif yang jauh lebih rendah dari tarif air PDAM. Jika dirata-rata masing-masing pelanggan setiap bulan membayar sekitar Rp. 5000 sampai Rp. 10.000 atas air yang dipakainya. Pemerintah desa pun senang, ada tambahan pendapatan yang bisa digunakan untuk pembangunan lain. 

“Kami hanya takut, suatu hari nanti debit air benar-benar berkurang drastis”, ujar Mujamil ketika ditanya tentang ancaman kelangsungan teknologi ini. Memang, Kabupaten Banyumas semakin hari semakin mendekati ancaman krisis air. Pada bulan Agustus 2007, jumlah mata air di Kabupaten Banyumas hanya tinggal 500 titik, padahal di tahun 2002 jumlah mata air mencapai 3.002 titik. Inilah sebab utama krisis air bersih di 57 desa Banyumas belakangan ini.
Ide, kreativitas dan kerja keras Mujamil telah dirasa manfaatnya, namun ada pekerjaan besar yang menanti untuk diselesaikan. Pekerjaan itu adalah konservasi dan menjaga agar alam tetap menyediakan air yang cukup bagi masyarakat. Diperlukan komitmen dan keseriusan pemerintah serta masyarakat untuk mengajukan program-program pembangunan yang tidak kontraproduktif dengan upaya pelestarian alam.

Apakah Mujamil ingin mempatenkan penemuannya? Bapak 4 anak ini belum berpikir ke arah sana. Dia hanya ingin karyanya banyak dimanfaatkan orang untuk kebaikan bersama. Namun, dia juga tidak gampang memberikan rahasia tekniknya. Dia tidak mengijinkan rahasian tekniknya ditulis di media massa. 

“Takut ada pihak-pihak yang mengkomersialisasikan” katanya. Jadi, jika ingin mengetahui lebih detail tentang teknik distribusi air dengan bejana berhubungan, datang saja ke rumahnya, di Desa Singosari, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas. Dia dengan gembira akan bercerita tentang penemuannya, sepanjang tidak untuk kepentingan komersial.

Baca selengkapnya...

Banyumas yang Mengering

Oleh
Muhammad N. Latief

Ini kejadian rutin di Purwokerto, khususnya di perumahan-perumahan yang menjadi pelanggan PDAM. Tiap memasuki bulan kemarau, sekitar bulan Juli, aliran ledeng ke rumah mereka crat-crit, tidak lancar dan hanya air mengalir beberapa jam sehari. Termasuk perumahan di seputar Universitas Jenderal Soedirman, yang berjarak hanya beberapa kilometer dari daerah resapan air di Baturaden.


“Dua tahun saya ngontrak di GS (Perum Griya Satria), tiap kemarau, mandi selalu ngungsi”, ujar Priyo (22 th), mahasiswa FISIP Unsoed asal Tegal. Priyo juga mengaku sering begadang, menunggu ember dan bak mandinya terisi penuh. Di perumahan tempat dia tinggal, biasanya ledeng kembali mengalir tengah malam sampai dini hari.


Keluhan sama juga diungkapkan oleh Heri (35 th) seorang PNS di Balai Pelelangan Ikan Cilacap yang tinggal di perumahan Tanjung Elok Purwokerto. Jika memasuki musim kemarau, ledeng di rumahnya tidak pernah lancar. “Kalau sudah terang (kemarau) repot mas” ujarnya.

Masalah pada PDAM
Ketika ditanya apa penyebabnya, serentak mereka menuding PDAM Banyumas sebagai biang keladi masalah ini. Menurut mereka, BUMD ini tidak memiliki skema alternative untuk mengatasi keluhan pelanggan yang tiap tahun berulang.

“Masa dari tahun ke tahun tidak pernah ketemu solusinya?”, ujar Heri. 
PDAM Banyumas memang pantas pusing. Kondisi perusahaan tak cukup menggembirakan, saat ini kapasitas produksi mereka 517,98 Liter/detik. Dengan kapasitas itu, mereka hanya bisa melayani 66,91 persen di Kota Purwokerto, 42,90 persen dari kota se Kabupaten Banyumas, dan 15,2 persen dari Kabupaten Banyumas, itupun dengan layanan yang pas-pasan bahkan cenderung kurang. 

Kesulitan yang dihadapai PDAM adalah sumber air baku yang semakin sulit didapat. Data yang diperoleh dari Bagian Konservasi Sumber Daya Hutan dan Lingkungan (DKSDHL), Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Banyumas, membenarkan alas an ini. Pada bulan Agustus 2007 jumlah mata air di Kabupaten Banyumas hanya tinggal 500 titik, padahal di tahun 2002 jumlah mata air di Kabupaten Banyumas mencapai 3.002 titik. Secara umum inilah penyebab utama krisis air bersih di 57 desa Banyumas akhir-akhir ini.

Selain persoalan pasokan air baku, 30 persen sarana prasarana produksi dan distribusi air milik PDAM dalam kondisi rusak, usia peralatan teknis itu telah lebih dari 20 tahun, bahkan ada berapa peralatan peninggalan pemerintah colonial Belanda yang masih digunakan. Problem-problem tersebut menumpuk dan sulit diatasi, pada akhirnya, pelangganlah yang tiap tahun merasakan ledeng yang macet, dan air yang crat-crit, keruh, bahkan berbau.

Kekeringan Parah
Kabupaten Banyumas dengan topografi wilayah yang berbukit-bukit memang memungkinkan terjadi kekeringan di musim kemarau. Terdapat 40 desa yang tersebar di 12 kecamatan di Banyumas yang menjadi langganan kekeringan. 12 kecamatan itu adalah Kebasen, Rawalo, Sumpiuh, Tambak, Kalibagor. Kecamatan lainnya Wangon, Somagede, Rawalo, Cilongok, Jatilawang, Ajibarang, dan Gumelar.

Kekeringan di tahun 2007 ini lebih parah dari tahun kemarin, di Kecamatan Tambak dan Sumpiuh, pada bulan Agustus 2007 sudah mengalami instrusi. Intrusi adalah gejala alam berupa masuknya air asin ke daratan. Gejala ini disebabkan rendahnya permukaan air tawar. Selain itu, kejadian ini juga dipicu oleh rusaknya klep pengatur pembuangan, sehingga air laut samudra hindia yang berjarak 30 km dari sebelah selatan kecamatan tersebut masuk ke sungai-sungai dan akhirnya meresap ke sumur warga. Biasanya intrusi terjadi saat kemarau mencapai puncaknya, kisaran bulan November, tapi tahun ini intrusi sudah terjadi di bulan Agustus. 
Secara umum disebutkan dalam surat surat edaran Provinsi Jawa Tengah No. 360/8476 tertanggal 14 Juli 2003 bahwa, 29 kabupaten di Jawa Tengah mengalami kekurangan air bersih. Di karesidenan Banyumas dan Pekalongan terdapat 9 kabupaten yang mengalami kekurangan air. Tercatat 327 desa di 57 kecamatan yang tersebar di Kabupaten Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga dan Cilacap mengalami kekurangan air bersih.

Dampak paling terasa adalah kesulitan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari. Di desa Kedungwuluh Lor, Kecamatan Patikraja misalnya, Selama musim kemarau, mereka harus mencari ke sejumlah mata air di luar desa yang jarak tempuhnya mencapi 1,5 km. Sementara bantuan air bersih dari PEMKAB Banyumas hanya berkisar 4000 liter. Jumlah tersebut tidak cukup untuk memasok kebutuhan ribuan warga. Akibatnya, pembagian air bantuan pemerintah selalu diwarnai dengan rebutan air, dan keluhan tidak memperoleh jatah air bersih. Masyarakat di Kecamatan Sumpyuh warga terpaksa memilih mencari air ke desa tetangga yang letaknya sekitar 3-5 km. Bahkan sebagian dari mereka mencari air hingga ke Rowokele dan Ayah di Kabupaten Kebumen.

Kekeringan juga mengancam kondisi ketersediaan pangan. Pada minggu pertama Agustus 2007 kekeringan di Jateng sudah melanda sekitar 108.000 hektar lahan sawah dengan kondisi puso sekitar 10 persen. Akibatnya, pada tahun 2007 ini, produksi padi diperkirakan menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ramalan II 2007 menunjukkan angka perkiraaan produksi padi dalam setahun hanya sebesar 8,38 juta ton dengan luas panen selama tahun 2007 hanya seluas 1,56 juta hektar. Berbeda dengan tahun 2006, angka produksi mencapai 8,73 juta ton, angka tertinggi sejak tahun 2000. keberhasilan ini berkat dkungan curah hujan, saat itu jumlah lahan panen mencapai 1,66 juta hektar dengan kondisi puso hanya 6.000 hektar.

Kerusakan Ekosistem
Kekeringan dimusim kemarau dan banjir di musim hujan sepertinya sudah menjadi agenda rutin dalam kehidupan kita. Jika sudah seperti ini, bukan lagi fenomena alam biasa. Kenyataan ini merupakan akibat dari ketidakseimbangan ekosistem, sebabnya adalah kerusakan lingkungan yang parah. Masyarakat kadang salah memahami, kekeringan dan banjir sering dianggap bencana alam, padahal bencana-bencana alam ini bukanlah suatu kondisi yang begitu saja terjadi, tetapi akibat yang muncul dari akumulasi berbagai kerusakan di bumi.
Data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banyumas menunjukan kerusakan ekosistem banyak dipicu oleh aktifitas ekonomi manusia. Penebangan hutan menjadi salah satu sebab kerusakan alam. Menurut Wisnu Hermawanto, Kepala Dishutbun, setiap hari ada sekitar 500 meter kubik kayu di Banyumas yang ditebang. Jumlah tersebut setara dengan 1.500 batang pohon. Padahal, mata air membutuhkan sedikitnya 400 batang pohon sebagai penyimpan air. Jika tidak ada upaya serius untum menghentikan penebangan dan reboisasi, Wisnu memperkirakan dalam jangka waktu 5 tahun ke depan, di Banyumas sudah tidak ada lagi mata air.

Penebangan memberikan implikasi buruk bagi hutan, padahal hutan memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan air, berpengaruh terhadap perubahan iklim mikro, dan mampu mencegah terjadinya bencana-bencana longsor, banjir, serta melindungi kawasan di bawahnya dari angin ribut. Akibat minimnya hutan, air hujan tidak dapat tertahan sehingga lari ke lahan yang lebih rendah dengan menggerus lapisan tanah atas (top soil) yang subur. Kondisi ini memaksa petani untuk memberi pupuk kimia agar tanahnya subur. Dampaknya, berbagai zat kimia tersebut mencemari air tanah dan mempersulit warga memperoleh air bersih.
Selain kerusakan hutan, penyedotan air tanah turut memberi andil bagi kekeringan. Kualitas dan kuantitas air merosot akibat penyadapan besar-besaran guna memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, rumah sakit, hotel, dan restoran.

Upaya Konservasi yang Serius
Sesungguhnya, tidak sulit untuk mencegah terjadinya kerusakan ekosistem. Kita hanya memerlukan komitmen dan keingingan yang kuat untuk melaksanakan konservasi secara konsisten. Masalahnya sekarang, lingkungan tidak pernah dilihat dalam bagian yang intergral dalam pembangunan. Lingkungan telah dieksploitasi demi meningkatkan devisa dan mendongkrak pendapatan baik di daerah maupun secara nasional, namun upaya tersebut tidak dibarengi dengan penyelamatan dan rehabilitasi.

Menurut Dani Armanto, coordinator Komunitas Peduli Slamet (Kompleet) perlu langkah-langkah strategis dalam memulai usaha penyelamatan lingkungan. Pertama adalah membangun padangan bahwa lingkungan adalah bagian integral dari pembangunan. “Dampak pembangunan ekonomi terhadap lingkungan, social dan budaya harus diperhatikan. Harus ada kerangka dan mekanisme untuk meminimalisir dampak buruk pembangunan”, ujar Dani.

Investasi juga harus mendapat perhatian yang serius. Kadang investasi justru menjebak masyarakat sehingga menumpulkan kemampuan masyarakat untuk memobilisasi sumberdaya yang dimiliki. Bahkan, investasi juga medorong masyarakat untuk melepas asset yang dimiliki. Kawasan wisata Baturaden misalnya, di daerah tersebut, sebagai besar tanah sudah dimiliki oleh investor, masyarakat berbondong-bondong menjual tanahnya untuk mendapat keuntungan yang besar dalam waktu singkat. Akibatnya, masyarakat di daerah tersebut tidak dapat menjadi pemain utama dalam usaha yang banyak ada disana, mereka hanya menjadi pemain pingiran dan bertebaran di sector informal. Pemerintah tidak harus selalu mengandalkan investasi untuk membiayai pembangunan daerah, namun ada kerangka untuk memaksimalkan penggunaan asset-asset yang dimiliki masyarakat.

Untuk mengembalikannya, perlu dilakukan penataan ulang struktur agraria. Reforma agraria adalah langkah untuk mengembalikan kemampuan produksi masyarakat dalam bidang pertanian sebagai pondasi utama pembangunan daerah. Langkah dalam redistribusi asset juga harus diikuti kebijakan yang berpihak pada pembangunan pertanian misalnya, proteksi, pengembangan kapasitas sumber daya manusia petani. 

Di kalangan elit pemerintahan baik legislative maupun eksekutif juga harus dilakukan gerakan pembersihan dari mafia-mafia perijinan dan proyek. Mereka inilah yang merusak kerangka pembangunan daerah. Mereka hanya mengejar keuntungan sesaat tanpa mempertimbangkan pembangunan daerah yang berkelanjutan.













Baca selengkapnya...

Keruhnya Pengelolaan Air Bersih

Oleh Dimas Herjun

Meskipun Indonesia dikaruniai banyak air dengan curah hujan yang relatif tinggi, namun kelangkaan air tetap terjadi di berbagai daerah. Banyak warga yang kesulitan mengakses air bersih. Air bersih menjadi kebutuhan mendasar yang tak terpisahkan dari hidup dan kehidupan manusia.

Berbagai upaya untuk mengatasi kelangkaan air bersih ini pun sebenarnya telah dilakukan warga seperti dengan memperdalam sumur bor atau bahkan membuat sumur bor baru. Seperti yang dialami oleh Rifan (30), salah sorang warga Jln. Gunung Slemet, Kelurahan Grendeng, Kecamatan Purwokerto Utara, “Ini sudah yang kedua kali saya ngebor sumur, mas. Yang pertama airnya berminyak, baru yang terakhir ini setelah pindah agak ke timur rumah airnya agak lumayan bersih.” Terkadang sungai menjadi pilihan alternatif lainnya, walaupun banyak sungai yang terbilang tidak jernih.

Tak jauh berbeda dengan warga yang menjadi pelanggan PDAM. Walaupun telah membayar untuk pasokan kebutuhan air bersih, ternyata permasalahan untuk mendapatkan air bersih masih menjadi problematika yang tak kunjung selesai. Bahkan terus berulang dari tahun ke tahun. Dari sedikitnya jumlah air yang keluar dari kran hingga bau tak sedap dan keruhnya air yang keluar. Khususnya jika masa paceklik air di musim kemarau datang.

“Khususnya jika kemarau, air yang keluar sedikit sekali.” Ungkap Benny, seorang warga Kecamatan Purwokerto Timur. “Terkadang airnya malah keruh dan bau, jadi tidak bisa dipakai untuk keperluan sehari-hari.” Ujarnya menambahkan. Setidaknya pengalaman seperti inilah yang dialami oleh sekitar 500 pelanggan PDAM di wilayah Purwokerto.

Menanggapi hal ini, Direktur Utama PDAM Kabupaten Banyumas, Ahmad Hussein, menyatakan bahwa bau dan keruhnya air hanya sementara. “Hanya terjadi di awal-awal saja, tidak lama. Setelah kurang lebih 1 sampai 2 minggu keadaan airakan kembali normal.” Tekannya. Kondisi seperti ini menurutnya di sebabkan karena PDAM menyalakan sumber air yang berasal dari sumur dalam yang menjadi pasokan tambahan PDAM Banyumas karena mengecilnya debit air yang dihasilkan dari sumber mata air.

Bau air yang dialirkan PDAM ke pelanggan menurut Pak Hussein adalah bau yang berasal dari kandungan besi (Fe) dalam air. Namun menurutnya air ini masih aman karena masih berada pada batas ambang aman untuk dikonsumsi. “Kondisi air dengan kandungan Fe 1mg ini secara fisik memang bermasalah di masyarakat, yaitu air yang keruh dan berbau besi, namun masih aman untuk diminum.” Papar bapak paruh baya ini tegas.

Bertolak dari adanya keluhan yang dialami oleh pelanggannya, PDAM sebagai perusahaan penyedia air bersih, mengakui keterbatasannya dalam mengolah air dari sumur dalam. “PDAM hanya mampu membatasi kadar Fe yang tinggi dalam air dari sumur dalam hingga batas ambang aman konsumsi yaitu 1mg.” jelasnya.



Berbeda dengan air dari sumber mata air yang sudah jernih sehingga dapat langsung disalurkan setelah diberi gas Klor pada reservoir.”Dari sumber mata air langsung dimasukkan ke reservoir, karena air sudah jernih, jadi tinggal diklorinasi untuk menghilangkan bakteri, kemudian di salurkan kepada pelanggan”. Tutur Direktur Teknis PDAM, menjelaskan. Air dari sumur dalam harus melalui beberapa tahap aerasi lebih panjang untuk mendapatkan kualitas air yang layak konsumsi. “Pada sumur dalam, karena airnya belum sepenuhnya jernih maka, dilakukan proses pengendapan dan penyaringan, agar air menjadi jernih seperti pada sumber mata air, sebelum diklorinasi dan dialirkan ke pelanggan.” Ujarnya lagi.

Menurut penjelasn Pak Hussein, tahapan-tahapan aerasi tersebut merupakan tindakan yang dilakukan untuk memperoleh air bersih yang berkualitas bagi pelanggannya. Selain melakukan tahapan- tahapan pengolahan air di reservoir, PDAM dalam usaha menjaga kualitas airnya juga melakukan kerjasama dengan lembaga lain, yaitu Laboratorium Dinas Kesehatan Banyumas. ” Dalam melakukan pengelolaan air bersih di wilyah Banyumas Dinas Kesehatan (DinKes) selalu melakukan koordinasi berkala dengan dinas dan instansi terkait, seperti salah satunya adalah dengan PDAM selaku pengelola air minum.” Jelas Ibu Siwi Utami Kepala Bagian Sanitasi (PPTK Pengendalian dampak dan resiko pencemaran lingkungan) Dinas Kesehatan Kab. Banyumas.

“DinKes dan PDAM melakukan kordinasi kerjasama secara berkala untuk merlakukan pengecakan terhadap sumber mata air yang dikelola oleh PDAM. Dalam hal ini Dinas kesehatan menyediakan jasa laboratorium pengujian sample kualitas kadar air layak minum. Sample air ini dilakukan oleh petugas yang ada di puskesmas-puskesmas terdekat dengan daerah pengambilan sample air.” Lanjut Ibu ramping berkerudung ini.

Berkenaan dengan pengambilan sample uji coba air agaknya terjadi ketidak percayaan di antara dinas yang bekerjasama. Terlihat dari bentuk pola kerjasama yang terbangun antara PDAM dengan DinKes. Salah satunya tentang penentuan dimana tempat yang harus diambil sample airnya. Menurut Bu Siwi, pihaknya menunggu pemberitahuan terlebih dahulu dari PDAM. “Penentuan tempat pengambilan sample air dilakukan melalui koordinasi antara DinKes dengan PDAM dengan maksud agar pengambilan sample tepat di wilayah air yang dikelola oleh PDAM, bukan yang lain,” ujarnya. Hal tersebut, menurut ibu muda ini, adalah untuk meminimalisir kesalahan pengambilan sample air. “Ada ketkutan yang diambil bukan dari sumber yang dikelola PDAM,” lanjutnya.
Di sisi lain, pihak PDAM sendiri mengakui bahwa sebenarnya telah memiliki tenaga ahli dan laboratorium sendiri untuk pengujian kualitas air. Namun tetap bekerjasama dengan DinKes hanya bermaksud untuk mencocokkan hasil uji coba. “Kami sebenarnya sudah punya petugas dan laboratorium sendiri. Kerjasama dengan DinKes hanya untuk keperluan pencocokkan hasil sample. Apakah sama atau tidak?” ungkap pak Hussein.

Permasalahan lain juga terlihat ketika beralih pada kauntitas air bersih yang berkaitan dengan ketersediaan sumber mata air. Pak Ahmad Hussein enjelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan air 40.000 pelanggannya, yang 22.000 diantaranya berada di wilyah Purwokerto, pihaknya telah menemukan setidaknya lima sumber mata air baru di daerah Baturraden, Ajibarang dan Sokaraja. Usaha penemuan sumber air baru ini dilakukan karena sumber-sumber air terdahulu debit airnya telah jauh berkurang, bahkan ada kemungkinan kemungkinan menghilang. Sehingga upaya pencarian sumber baru harus terus dilakukan.

Walaupun sebenarnya, ketika merujuk pada penjelasan dari Ir. Zahnir, M.Pd, M.Si, Kepala Bidang Pelestarian Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Banyumas. Pencarian ini tidak harus terjadi jika perawatan terhadap sumber mata air dan sumber air lainnya dilakukan dengan benar. “Di sekitar daerah mata sudah seharusnya ditanami dengan pohon-pohon besar yang berakar tunggang. Karena akar dari pohon itu akan membantu menahan air, sehingga mata air tetap terjaga baik pada musim hujan dan kemarau sumber mata air tidak akan kekurangn air karena masih memiliki simpanan air yang di tahan oleh pohon-pohon besar tersebut,” Ia juga mlanjutkan bahwa, “Penanaman pohon-pohon besar di sekitar sumber air ini wajib dilakukan jika tidak ingin mata air tersebut menghilang,” tegas bapak berperawakan gempal ini.

Berbeda dengan pendapat Dirut PDAM, dia mengatakan bahwa kondisi sumber mata air tergantung dari hutan yang ada di atasnya dan penanaman pohon-pohon besar hanya akan mengganggu. “Kondisi sumber mat air tergantung pada kondisi Hutan sebagai penyuplai asupan air bagi sumber mata air. Pananaman pohon-pohon besar disekitar sumber mata air hanya akan menggangu, karena pohon-pohon tersebut akan menyerap air dan menguapkannya. Sehingga untuk penghijauan disekitar sumber mata air hanya dilakukan atas dasar estetika lingkungan semata,” ungkapnya.

Melihat ketidakharmonisan koordinasi antar lembaga pelayan masyarakat dalam satu lembaga payung bernama Pemerintah Daerah seperti ini. Nampaknya susah bagi masayarakat untuk membangun kepercayaan terhadap mereka. Sehingga sudah saatnya masyarakat untuk berusaha sendiri atas kesejahteraannya.[]

Baca selengkapnya...

Rehabilitasi Irigasi Jangan Sekadar Komitmen

Oleh Andreas Nugroho Pandu S.

Jaringan irigasi di Banyumas kurang lebih 50 persen dalam kondisi rusak, di dalamnya 30 persen dalam kondisi rusak berat. Hal ini dikarenakan jaringan irigasi sebagian besar sudah uzur.

Banyumas termasuk salah satu lumbung padi dengan potensi irigasi yang cukup luas. Menurut data dari makalah Ketahanan Pangan Banyumas milik Dinas Sumber Daya Air Pertambangan dan Energi (Disairtamben) Kabupaten Banyumas, daerah dengan ikon Bawor ini memiliki luas areal potensial 28.320,47 ha dan luas areal fungsional 26.334,98 ha. Areal seluas itu kemudian dibagi menjadi tiga daerah kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten.

Namun kondisi di lapangan berkata lain. Kerusakan jaringan irigasi menghantui daerah asal legenda Lutung Kasarung. Dari catatan Disairtamben, Daerah Irigasi (DI ) Serayu dan DI Tajum yang termasuk dalam jaringan irigasi kewenangan Pemerintah Pusat memiliki luas areal potensial 3.148 ha dan areal fungsional 2.883 ha, dua buah bendungan, 253 buah bangunan irigasi, dan 64,34 km saluran irigasi. Kondisi jaringan irigasi yang melingkupi dua daerah irigasi tersebut satu buah bendungan kondisinya rusak ringan,53 buah bangunan irigasi rusak, dan saluran irigasi sepanjang 30,18 km rusak.

Sama halnya dengan jaringan irigasi yang termasuk kewenangan Pemerintah provinsi Jateng. Luas areal potensial 4.378,34 ha dan areal fungsional 4.260,99 ha. Meliputi DI Banjaran, DI AndongbangJunjungan, DI KedunglimusArca, DI Kebasen dan DI Kalisapi dengan tujuh buah bendungan, 569 buah bangunan irigasi, dan saluran irigasi sepanjang 92,40 km yang berada di wilayah tersebut mengalami kondisi yang serupa. Dari data di lapangan tercatat dari yang ada empat buah bendungan, 280 buah bangunan irigasi, dan saluran irigasi sepanjang 43,21 km rusak.

Sementara jaringan irigasi kewenangan Pemerintah Kabupaten Banyumas memiliki areal potensial 17.665,14 ha dan areal fungsional 16.509,61 ha. Tercatat jaringan irigasi yang dimiliki 498 buah bendungan 2.214 buah bangunan irigasi dan
417,81 km saluran irigasi. Kondisinya juga cukup parah yaitu 313 buah bendungan, 1.235 buah bangunan irigasi, 227,87 km rusak berat hingga ringan.

Menjadi komitmen Pemkab Banyumas terhadap pertanian
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, tahun ini Pemkab Banyumas berkomitmen perhatiannya akan lebih diarahkan ke pertanian. Mengingat daerah ini pernah menjadi lumbung padi nasional. “Tapi dana operasional dan pemeliharaan (O&P) dari APBD masih kurang dan hal ini menjadi permasalahan secara nasional,” ujar Ir. Irawadi, CES. Kepala Bidang Irigasi Dinas Sumber Daya Air Pertambangan dan Energi Kabupaten Banyumas.

Dana O&P kurang. Tahun 2007 sebesar Rp. 45.000,- per ha, sementara berdasar hasil rapat regional disepakati O&P sebesar Rp. 120.000,- per ha. Kekurangan dana tersebut juga turut menyumbang terjadinya akumulasi kerusakan jaringan irigasi. Alhasil, kebutuhan dana rehabilitasi semakin membengkak

Kendala utama dalam pengelolaan irigasi di Banyumas adalah debit sumber air semakin kecil akibat kerusakan lingkungan sehingga ketersediaan air untuk irigasi semakin berkurang. Hal ini diamini oleh Ir. Zahnir, M.Pd, M.Si, Kepala Bidang Pelestarian Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Banyumas. “Belakangan ini di beberapa daerah kualitas dan kuantitas mata air menurun ditunjukkan dengan menurunnya permukaan air tanah,” jelasnya.

Di sisi lain, secara kelembagaan juga masih ada masalah. Jumlah dan kualitas juru atau mantri yang bertugas sebagai pengelola jaringan irigasi di lapangan menurun karena pensiun. Sementara Paguyuban Petani Pemakai Air (P3A) belum bisa mengelola irigasi secara mandiri

Beberapa upaya yang telah dilakukan misalnya koordinasi dan kerjasama dengan pola sharing anggaran Pemkab maupun Pemprov. Terutama untuk penanganan yang bersifat mendesak dan darurat. Kemudian rehabilitasi dan O&P pada jaringan irigasi kewenangan Pemkab melalui pengalokasian Dana APBD untuk kegiatan O&P, rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi. Sedangkan untuk mengatasi kekurangan personil di lapangan konsep yang dipakai ialah pemberdayaan P3A. dan mengadakan pelatihan Manajemen Aset Sumber Daya Alam.

Tahun ini Dana Alokasi Khusus (DAK) APBD Kabupaten Banyumas digunakan untuk kegiatan Pemeliharaan dan Rehabilitasi Jaringan Irigasi di 14 DI, rehabilitasi DI Kerbek, pembangunan dan peningkatan jaringan irigasi di 2 DI. Total anggaran pengelolaan jaringan irigasi untuk meningkatkan fungsi jaringan irigasi dalam mencukupi air di areal sawah seluas 2.313,98 ha adalah Rp. 2.710.980.000,-

Kita mendapat pinjaman dari ADB yang digunakan untuk program PISP dan Banyumas merupakan proyek percontohan sebagai wakil Jateng,” ujar Pak Irawadi bangga. Pinjaman ADB 2064 (SF) dan 2065 (INO) ini diimplementasikan melalui program Participatory Irrigation Sector Project (PISP) untuk kegiatan Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPISP). Bidikan dari program ini meliputi penguatan kelembagaan (capacity building) untuk P3A maupun Lembaga Pengelola Irigasi (LPI), perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. PISP dilaksanakan sampai tahun 2011.

Lebih lanjut menurut Ir. Irawadi, Dinas Sumber Daya Air Pertambangan dan Energi Kabupaten Banyumas juga menyusun rencana pengembangan jaringan irigasi. Rencana tersebut meliputi pencarian alternatif penyediaan air baku untuk irigasi dari Air Bawah Tanah (ABT) atau melalui sistem pompanisasi, membuat skala prioritas penanganan serta berkoordinasi dengan Pemprov untuk penanganan bencana alam di jaringan irigasi.

Rusak lagi
Pak Jayus, tetua desa Pegalongan, Kecamatan Patikraja, Banyumas, mengeluhkan tanggul irigasi desa yang baru diperbaiki BPSDA setelah demonstrasi petani beberapa waktu lalu, sudah rusak lagi. “Perbaikannya asal-asalan, belum satu tahun pinggiran tanggulnya sudah jebol lagi,” ujar Pak Jayus yang pernah menjadi ketua Dharma Tirta. Pak Jayus mengaku semasa dia menjadi ketua, dalam proses operasional dan pemeliharaan jaringan irigasi beliau terus-menerus rugi. “Biaya yang keluar banyak, karena pengelolaan saya jalankan dengan sebaik-baiknya,”imbuhnya.

Bulan September 2006 lalu, kelompok tani desa Pegalongan, Sri Maneges berdemonstrasi menuntut rehabilitasi irigasi karena kerusakan saluran yang semakin parah bisa berujung pada gagal panen. Hasilnya, bantuan dari Pemerintah Kabupaten dan Provinsi untuk rehabilitasi saluran irigasi. Namun warga desa mengungkapkan bahwa rehabilitasi irigasi yang digarap BPSDA kurang bermanfaat.

Sebaiknya yang diperbaiki adalah saluran irigasi dari daerah Sidaboa ke Pegalongan, karena wilayahnya naik dan selokannya digali lebih dalam lagi. “Seharusnya saluran irigasi yang diperbaiki itu tempat air lewat, tapi yang dibangun malah tempat pembuangan air,” ujar Parto, petani setempat.

Kondisi saluran irigasi yang mengaliri desa tersebut cukup parah. Selokan berlubang disana-sini, yang nampak hanya genangan air di beberapa tempat. Dari Tanjung ke TPA Gunung Tugel air masih mengalir. Tetapi dari TPA ke Banjaran sudah berkurang dari 90 % menjadi 70%. Masih beruntung warga masih memiliki sumur di beberapa lokasi yang bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari.

Pria bertubuh kecil ini bercerita bahwa areal lahan mulai mengering sejak tahun 1997. “Dulu waktu saya kecil airnya melimpah, tapi sekarang kering. Air di selokan irigasi desa tidak mengalir dan salurannya ngilang,” kisahnya. Lahan di desa hanya sekitar 20 ha yang bisa ditanami padi jenis gaga rancah. Banyak yang tidak produktif lagi dan pada akhirnya ditanami pohon penghasil kayu karena selalu gagal panen. Ditambah lagi kekurangan tenaga pemuda desa yang hijrah mencari kerja ke kota. “Lahan jadi tidak terawat, kalau ditanami padi juga tidak bisa gemuk, karena dimakan sama pohon di sekitar lahan,” ujar pria berusia 31 tahun ini. Areal lahan di desa Pegalongan praktis menjadi sawah tadah hujan karena pada musim kemarau air sama sekali tidak mengalir. “Mau nggak mau harus menanam pohon,” imbuhnya.

Pak Parto, seperti halnya petani desa Pegalongan yang lain juga mengeluhkan minimnya pemeliharaan jaringan irigasi yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Misalnya waker (mandor; Jawa) selokan, petugas yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menjaga saluran irigasi sudah tidak ada lagi. “Kemarin pas musim panen tiap torong harus dijaga bergiliran, kalau tidak ditunggu bisa terjadi kebocoran atau airnya dicuri dan dialihkan ke lahan lain,” jelas Pak Parto disambut anggukan beberapa rekannya.

Senada dengan kondisi tersebut, Ir. Irawadi mengakui penurunan jumlah sumber daya manusia. Mantri pengairan berkurang karena sekarang sudah pensiun dan yang baru belum bisa bertugas dengan baik dan maksimal. “Permasalahan irigasi juga mencakup hal sosio teknis misalnya masalah penurunan jumlah mantri pengairan tersebut,” ungkapnya. Menurut Kabid Irigasi Dinas Sumber Daya Air Pertambangan dan Energi Kabupaten Banyumas ini hal tersebut bisa diatasi dengan memberdayakan P3A agar bisa mengelola air secara mandiri.

Berbicara tentang air berarti berbicara kepentingan hajat hidup orang banyak. Jika tidak dikelola dengan baik dan serius, maka kepentingan masyarakat akan terganggu. Seharusnya aparat Pemerintah mempertegas komitmen dengan memberikan perhatian lebih terhadap pertanian mengingat status Indonesia yang masih negara agraris.

Baca selengkapnya...