Thursday, March 6, 2008

Go Organic!; Tren Kembali ke Alam dalam Produksi Pertanian

Oleh : Widoro dan Andreas Nugroho PS

Bagi orang yang ingin hidup sehat, tentunya harus mengkomsumsi makanan yang sehat bagi tubuh. Pangan sehat tidak hanya persoalan empat sehat lima sempurna, akan tetapi juga pangan yang layak konsumsi. Artinya tidak hanya mengandung zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi terbebas dari zat yang berbahaya bagi tubuh manusia. Namun, hal ini bukanlah yang mudah karena menyangkut bagaimana bahan makanan tersebut di produksi.

Saat ini, banyak produsen pangan yang dalam proses produksi mengabaikan unsur kesehatan bagi tubuh manusia. Produsen pangan lebih mengedepankan kuantitas dan daya tarik saat penyajiannya. Penyebab utamanya adalah tuntutan pasar, dimana bahan pangan telah menjadi komoditi ekonomi yang menjanjikan keuntungan berlipat bagi produsennya. Sementara kebutuhan akan pangan saat ini bukan saja kebutuhan pokok, akan tetapi juga cita rasa dan gengsi bagi pengkomsumsi.

Di sisi lain, ongkos produksi bahan makanan terutama bahan makanan pokok terus beranjak naik. Hal ini akibat lahan pertanian talah dipacu untuk terus berproduksi menggunakan benih tanaman rekayasa dan obat-obatan kimia. Namun, kita terlambat untuk menyadarinya. Cara produksi bahan makanan yang demikian menghasilkan bahan makanan yang tidaklah sehat bagi tubuh manusia. Bila dikomsumsi secara terus-menerus dalam jangka waktu tertentu, karena ikut larutnya residu-residu kimia buatan dalam tubuh manusia.

Kondisi tersebut diperparah maraknya bahan makanan kemasan, yang tentunya tidak lebih baik dari bahan makan yang diproduksi dengan model pertanian kimia. Petani sebagai produsen pangan pokok bagi kita masih berkutat dengan ’kemalasan’ untuk merubah cara produksinya yang menghamburkan bahan kimia buatan pabrik. Butuh keyakinan dan perjuangan keras untuk merubah itu semua.

Di negara lain, masyarakatnya mulai berpaling kembali ke pangan sehat terbukti dari data yang diperoleh dari Jepang tingkat penjualan produk pangan organik di Australia meningkat hingga USD 1,6 miliar atau naik 30% PAD tahun 2004. Di Jepang naik hingga USD 16 miliar. Melihat kenyataan tersebut, beberapa lembaga di kabupaten Banyumas yang melakukan pengembangan ke arah pertanian dengan memproduksi pangan yang sehat.

Gatra Mandiri
Gatra Mandiri sebuah lembaga Non-Profit telah memulai untuk membangun semangat petani merubah kondisi tersebut. Menurut Nasruddin, direktur Gatra Mandiri mengungkapkan Filosofinya pertanian organik adalah kemandirian petani dengan meningkatkan sarana produksi agar tidak tergantung dengan pihak lain. “Selama ini petani selalu menjadi objek penderita dari siklus pangan”, tegasnya. Biaya produksi mahal, sedang harga hasil panen murah.
Kedua, kondisi tanah negeri yang sudah parah, karena penggunaan pupuk kimia yang merusak tanah. “Dulu tanah di sawah dalamnya sedengkul, sekarang dibawah dengkul. 30 tahun kemudian berapa?” ujarnya bersemangat. Berlandas pada analisa dan pemahamnya hal tersebut adalah salah satu skenario kapitralisme global. Lahan menjadi tidak produktif, selanjutnya dijual dengan murah dan lahan pertanian-pun beralih fungsi menjadi lahan perumahan atau industri. Akibatnya produksi pangan menurun dan selanjutnya impor bahan makanan pokok adalah jawaban mengimpor pilihan terakhir pemerintah.
Oleh karena itu, Gatra mandiri mengajak ptani untuk kembali mengolah dengan tanah cara organik. Menurutnya kesalahan masa lalu adalah penggunaan pupuk kimia yang membunuh mirkro organisme yang ada di tanah. Penggunaan pupuk kimia hanya merangsang pertumbuhan, tidak menyuburkan tanah. Pupuk organik digunakan untuk memberi makan mikro organisme di dalam tanah, untuk mengembalikan kesuburan tanah.
Sebagai langkah awal, Gatra Mandiri berusaha merubah pola pikir di petani. Hal ini dilakukan karena masih banyak petani yang menggarap lahan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan. “Untuk mengarah ke pertanian organik harus dilakukan secara bertahap”, ungkap pria berkacamata ini.

Kompleet (Komunitas Peduli Slamet)
Kompleet memulai pengembangan ke arah gerakan pertanian lestari sejak tahun 2002. Pilihan gerakan tersebut dilatarbelakangi kondisi petani sebagai produsen pangan tetap miskin, tetapi pelaku pasar makmur dan kaya raya. Kondisi berikutnya, pangan lokal yang juga pangan alternatif semakin menghilang. Hal tersebut berimbas pada ketahanan pangan.
Posisi petani harus dikembalikan sebagai produsen yang sesungguhnya dan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pupuk kimia. “Sebelum kita belum ngomong soal pangan sehat tetapi bagaimana caranya memerdekakan petani yaitu melepaskan ketergantungan”, ujar Mas Kuncung, Direktur Kompleet.
Keunggulan dari produk Kompleet adalah harga yang rasional, bisa di akses oleh semua orang, karena makanan sehat memang hak semua orang. Menurut Laki-laki bernama lengkap Dani Armanto ini sementara lembaga baru dalam tahap pengorganisasian. Pada satu sisi, Kompleet membangun kelembagaan dan manajemennya produksi, di wilayah lain Bumi Arta sebagai CV yang memproduksi pangan sehat. “Sementara waktu baru ngomong soal produksi, Bumi Arta sebagai CV yang memproduksi protein yang sehat dalam jangka panjang,”. Tujuan yang ingin diperoleh adalah petani yang mandiri. “Efek positif yang diharapkan kemudian yaitu sistem pemasaran yang sehat, petani juga sehat, lingkungan termasuk lahan dan sistem irigasinya juga sehat”’ ujarnya menutup pembicaraan.

Lembaga Penelitian Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman (Lemlit Unsoed)
Hampir serupa Lemlit Unsoed, Purwokerto juga memberikan kontribusinya bagi pertanian organik. Lemlit Unsoed mempunyai program pengembangan ke arah produksi pangan sehat sekaligus strategi pemasaran. Hasil panen organik dari Lemlit Unsoed-pun sebagian dikirim ke Yogi International House, pusat makanan organik yang masih mentah maupun yang sudah jadi yang berasal dari Kanada. Menurut Dr. Ir. V Prihananto, Msi, ahli pangan sehat, untuk urusan pangan masyarakat itu terbelah menjadi dua. Ada trend di masyarakat agar sehat membeli makanan dengan melihat label atau tanggal kadaluarsa. Orang-orang tersebut sadar bahwa makanan harus sehat. Tapi ada juga yang tidak, membeli asal harganya murah saja. “Masalah pangan sehat juga erat kaitannya dengan masalah kemiskinan,” ujar pria yang berusia 44 tahun ini.
Lebih lanjut dosen mata kuliah Fortifikasi Pangan Untuk Pemenuhan Gizi ini menjelaskan bahwa secara makro ada beberapa hal yang menjadi pikiran. Secara makro menurut data tahun 2005 Indonesia mengalami kelebihan penggunaan energi secara nasional. Secara mikro konsumsi pangan rendah sebagai akibat adanya kesenjangan ekonomi dan pendidikan. Maka, secara akademis dapat dilihat bahwa Indonesia sedang mengalami krisis pangan.
Sebagai solusi alternatif, mencari bahan baku pengganti. Misalnya kasus naiknya harga kedelai, bahan pengganti misalnya kacang-kacangan. Pemerintah dan akademisi sedang mengembangkan diversifikasi pangan yang diarahkan ke pengembangan pangan lokal. Pangan lokal tersebut misalnya umbi-umbian, akan digalakkan lagi menjadi alternatif pilihan untuk mengatasi masalah ketahanan pangan. “Tahun ini (2008; red) akan ditetapkan menjadi PP,” ungkap bapak dari dua anak ini memberikan bocoran.
Harapan dari diversifikasi pangan adalah perekonomian masyarakat naik. Sasaran utamanya adalah kebiasaan masyarakat untuk mengkonsumsi pangan. Masyarakat harus dibiasakan mengkonsumsi pangan lokal sejak kecil,” ujar bapak yang akarab dipanggil Pak Pri ini. Beliau mengharapkan kalangan akademisi menuntut pemerintah untuk menggunakan hasil riset yang belum dimanfaatkan dan membuat suasana yang stabil dan kondusif. Hal tersebut dibarengi peran serta akademisi, masyarakat dan LSM yang sinergis untuk membangun ketahanan pangan di Indonesia.

Lembaga Pengembangan Potensi dan Keswadayaan BABAD
Lembaga Pengembangan Potensi dan Keswadayaan BABAD mengembangkan metode program pengelolaan usaha tani lahan kering dan lahan basah. Menurut Widya, program tersebut melibatkan masyarakat sebagai mitra penyedia tenaga kerja dan informasi tentang pola budidaya yang dilakukan di daerah tersebut. Pengelolaan usaha tani diperlakukan sebagai Unit Usaha, dengan Manajer Unit sebagai penanggungjawab pengelolaan dari perencanaan usaha, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pelaporan.
Program ini dijalankan karena tingginya biaya produksi akibat efisiensi dan efektivitas usaha tani masih rendah, infrastruktur pertanian yang masih buruk, telah hilangnya pengetahuan dan ketrampilan lokal budidaya di tingkat pengelolan dan masyarakat, dan keterbatasan pengembangan teknologi budidaya yang sesuai untuk daerah tersebut. Kondisi-kondisi tersebut menjadikan rendahnya nilai tukar produk pertanian, sehingga pertanian yang menjadi pekerjaan utama sebagian masyarakat jutru menjauhakan dari tujuan kesejahteraan.
Tahap yang perlu dilewati untuk proses konversi lahan dari lahan konvensional ke lahan LEISA adalah proses pemulihan lahan, penyediaan bahan-bahan pupuk organik dan pestisida organik dan kepemilikan ternak untuk menyediakan bahan organik bagi tanaman. Lembaga bersama masyarakat juga mengujicobakan beberapa jenis tanaman antara lain padi, cabai rawit, kacang panjang, kacang tanah, ubi jalar, terong, dan caisin.

Dalam pandangan lembaga kerjasama dalam bidang usaha tani perlu mengembangkan beberapa faktor, antara lain pasar dan kemampuan produksi di tingkatan petani. Hal tersebut penting karena saat ini persoalan-persoalan yang tengah dihadapi petani adalah rendahnya posisi tawar petani dalam menentukan harga produk yang dihasilkannya dan masih rendahnya nilai tambah yang dapat dilakukan petani untuk meningkatkan pendapatannya. ” Selain mengembangkan pertanian sehat, untuk menopang kegiatan tersebut saat ini Yayasan BABAD, mengembangkan program kemitraan ternak dan peningkatan pengetahuan petani melalui akses informasi melalui internat dengan pembukaan Sanggar Belajar Komunitas di desa Pegalongan dan Pasirmuncang.

Produksi pangan dengan menjaga keseimbangan alam adalah upaya menciptakan lingkungan yang sehat, mayarakat yang sehat dan sistem pemasaran yang sehat. Sekaligus membangun ketahanan pangan, yang berarti melestarikan budaya dan tanaman lokal, umbi-umbian seperti gembil, tiwul harus dibangkitkan lagi dan menjadi pangan alternatif. Pertanyaannya adalah apa dan bagaimana peran pemerintah pemangku utama kepentingan untuk membangun kedaulatan dan kemandirian petani ?

No comments: