Oleh Wiwiek Irnawati
Modernisasi ternyata tidak selalu menguntungkan bagi kesehatan. Kemudahan teknologi bisa menyebabkan manusia malas bergerak, sehingga mudah terjadi penumpukan lemak yang berdampak kepada berbagai penyakit. Meningkatnya daya beli memudahkan akses terhadap berbagai menu makanan mewah yang justru tinggi lemak, protein, gula, dan garam yang menimbulkan berbagai penyakit degeneratif. Tubuh kita merupakan refleksi nyata dari apa yang kita makan. Dengan makanan sehat, dihasilkan tubuh yang sehat pula.
Berdasarkan kenyataan itu, kini dunia berpaling kembali ke pangan organik. Telah terbukti, pangan yang dihasilkan melalui cara bertani tradisional (alami) mengandung nilai gizi, rasa, dan tingkat keamanan yang jauh lebih baik daripada pola pertanian modern yang banyak menggunakan senyawa-senyawa kimia.
Meskipun pangan organik (organic foods) merupakan ungkapan yang salah, sebab semua makanan baik nabati maupun hewani yang berasal dari makhluk hidup dan mengandung unsur karbon didalamnya dapat dikatakan sebagai pangan organik. Namun demikian sepertinya masyarakat sudah familiar dengan istilah dan definisi itu.
Pangan organik dapat dikatakan sebagai pangan yang diproduksi dengan sedikit mungkin atau bebas sama sekali dari unsur-unsur kimia. Seperti penggunaan pupuk, pestisida, dan obat-obatan. Pupuk yang digunakan pun terbuat dari bahan-bahan alami, berupa kotoran hewan dan kompos, sedangkan pestisidanya sendiri menggunakan bahan yang terbuat dari tembakau, buah maja, atau daun sereh. Lebih jauhnya lagi mengenai pangan organic yakni yang memenuhi pedoman persyaratan internasional yang ditentukan, misalnya tidak menggunakan bibit rekayasa genetika atau GMO (Genetic Modified Organism) dan teknologi iradiasi untuk mengawetkan produk. Dengan demikian semua proses produksi dilakukan secara alami, dari budi daya hingga pengolahannya.
Peertanian Organik dan Kedaulatan Petani
Tetapi lebih jauhnya lagi, menurut Baridul Islam, mantan staf LPPLSH, pangan organik yang tentunya diproduksi oleh petani organik ini bertujuan untuk membangun kedaulatan petani. Dimana seperti yang kita ketahui selama ini petani selalu bergantung pada kepentingan modal-modal diluar sana. Lalu dengan bertani secara organik, para petani ini mampu mengontrol sendiri apa yang mereka lakukan. Artinya tak lagi tergantung oleh pihak manapun.
Kedua, bentuk perlawanan terhadap zat kimia bagi lingkungan. Karena seperti yang juga telah diketahui selama ini, penggunan bahan kimia yang terus-menerus dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Terutama pengaruhnya terhadap tanah dan senyawa disekitarnya sendiri.
Ketiga, adalah perlawanan terhadap kepentingan-kepentingan kapital (modal). Tersedianya pupuk urea, SP46, bahkan lima panca usaha tani yang dicanangkan pemerintah pada masa orde baru adalah bentuk-bentuk dari kepentingan ini. Dan kalau mau dikaitkan lagi, maka ini tentunya terkait sekali dengan masalah kedaulatan petani, seperti yang disebutkan diatas.
Faktanya kesadaran petani Indonesia akan kecenderungan pangan organik ini masih rendah. Apalagi bila melihat keuntungan-keuntungan nya. Misalnya apa yang di kandung dalam sayur dan buah, yakni zat besi, seng, kalsium, dan fosfor yang dapat mencegah serangan radikal bebas dan berbagai jenis kanker. Kecenderungan menggunakan pestisida kimia secara berlebihan diluar standar yang telah ditetapkan. Sehingga membuat beberapa hasil penelitian menunjukkan, masih banyak produk pertanian Indonesia yang mengandung residu pestisida di atas batas maksimum.
Masih tingginya kadar pestisida kimia pada produk pertanian di Indonesia menyebabkan masih sulitnya produk itu sendiri untuk dipasarkan ke mancanegara. Mengapa ini terjadi, padahal ke depan, semua produk pertanian harus mendapat sertifikat organik? Terlebih lagi untuk daerah Jawa Tengah sendiri, sosialisasinya telah dilakukan dari Bumiayu, Tambak Sogra (Purwokerto), hingga Purworejo.
Tantangan Produksi Pangan Organik
Alasan yang kemudian mengikuti pertanyaan diatas adalah, Condro Wibowo, Msi, selaku Kapuslit pangan dan gizi, Lemlit (Lembaga Penelitian) Unsoed, mengatakan petani belum terbiasa dengan cara ini (pertanian organik), lalu ketersediaan pupuk organik belum seperti pupuk-pupuk kimia. Meskipun mahal, pupuk-pupuk kimia ini selalu tersedia dipasaran. Tidak seperti pupuk organik yang memang harus produksi sendiri, dan ini memakan waktu yang agak lama (sekitar 2 minggu). Kemudian yang terakhir adalah pasar yang menyerap. Karena harga produk hasil pertanian organik ini cenderung lebih mahal, maka pangsanya pun terbatas.
Bahkan hasil panen organik dari Lemlit Unsoed sebagian di kirim ke Yogi International House, pusat makanan organik yang masih mentah maupun yang sudah jadi asal Kanada yang perwakilannya ada di Jakarta. Mahalnya pangan organik ini menurut Condro Wibowo lagi, tak terlepas dari produksinya yang masih sedikit. “ Logika ekonomi saja yang dipakai, makin sedikit barang kan makin mahal”, ujarnya menjelaskan.
Oleh karena itu pemasarannya pun belum bisa sampai ke masyarakat luas, sebab petani masih enggan dengan mekanisme ini (pertanian organik). Apalagi bila melihat fakta gagal panen yang lebih potensial ketimbang pertanian ala chemical. Dengan logika ini saja, dapat dilihat alasan mengapa hasil dari pertanian organik jadi lebih mahal daripada pertanian chemical. Imbasnya akhirnya yang dapat menjangkau pun hanya masyarakat yang berada.
Lebih memprihatinkan lagi, para petani organik ini sendiri sebagian masih belum bisa mengkonsumsi produknya sendiri terkait masalah harga tadi. Petani-petani ini biasanya masih mengkonsumsi barang yang ada dipasaran sebab harganya lebih murah. Dan menurut mereka sebagian uangnya dapat memenuhi kebutuhan yang lain.
Semestinya hal ini bisa saja tak terjadi apabila sebagian besar petani sadar akan pentingnya pertanian organik ini, dan berbondong-bondong beralih kesana. Selain manfaat-manfaatnya sudah terlihat seperti diatas, biayanya produksinya pun lebih sedikit. Tetapi ini memang membutuhkan waktu yang lama (sekitar 7 tahunan) untuk mencapai taraf itu mengingat tanah-tanah petani ini sudah berpuluh-puluh tahu terdzalimi oleh bahan-bahan kimia.
Pangan Sehat dan Kesejahteraan
Dr. Ir. Made Astawan, dosen jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB dalam Kompas Kamis 27 Desember 2001, mengatakan dalam jangka panjang, harga pangan organik akhirnya menjadi lebih murah karena biaya produksi menurun. Semua itu akan berdampak pada meningkatnya taraf kesehatan, usia harapan hidup, dan tentu saja produktivitas kerja. Negara juga menghemat devisa yang selama ini digunakan untuk membeli pupuk dan pestisida kimiawi.
Tentunya ini butuh dukungan dari semua pihak, tak hanya petaninya saja namun juga masyarakat, bahkan negara. Karena yang diuntungkan dari program ini tak hanya petani saja melainkan semua pihak yang terkait seperti yang disebutkan tadi. Program sosisalisasi pentingnya pertanian organik ini semestinya lebih digalakan lagi, pihak yang berkepentingan dan terkait menjaadi salah satu yang harus bertanggung jawab atas hal ini. Meskipun sebagian telah melakukan tanggung jawabnya itu, namun sepertinya kepedulian terhadap petani organik-nya sendiri masih kurang.
Ini yang kemudian perlu perbaikan yang lebih signifikan. Artinya subsidi bagi petani jenis ini harusnya lebih digalakan juga, agar dapat menunjang hidup petani itu sendiri. Sehingga dapat menunjang kehidupan masyarakat luas juga. Sebab ada asumsi yang mengatakan bahwa pangan sehat adalah hak semua orang.
Thursday, March 6, 2008
Pangan Sehat nan Ramah Lingkungan
Labels:
Edisi Pangan dan Kesehatan,
Liputan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment