Thursday, March 6, 2008

Prahara Melambungnya Harga Kedelai; Kegagalan Kebijakan Pangan yang Mengancam Pemenuhan Gizi Rakyat

Oleh Andreas Nugroho PS

Swasembada kedelai pada tahun 1992 dengan produksi nasional yang mencapai 1,8 juta ton seakan-akan tinggal cerita, karena tidak ada perhatian dari pemerintah untuk mengamankan harganya. Produksi kedelai terus menurun dari tahun ke tahun.

Indonesia memiliki sumber karbohidrat dan protein yang sangat beragam dan sangat banyak yang dapat dimanfaatkan untuk pangan rakyat. Namun, ketidakseriusan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat secara mandiri menyebabkan ketergantungan yang luar biasa terhadap bahan pangan impor.
Kenaikan harga sejumlah bahan pangan yang merupakan sumber protein seperti tempe, tahu, telur dan susu saat ini berdampak pada meningkatnya jumlah masyarakat yang mengalami gizi buruk.
Hal ini merupakan peringatan bagi pemerintah untuk memperhatikan tingkat kecukupan gizi masyarakat. Jika kondisi tersebut dibiarkan, maka dalam jangka panjang akan menghasilkan generasi yang pertumbuhan fisik maupun kecerdasannya buruk. Konsumsi protein hewani yang terdapat dalam susu, daging, telur dan ikan per kapita per tahun rakyat Indonesia perlu segera ditingkatkan karena sangat menentukan kualitas pertumbuhan fisik dan kecerdasan bangsa.

Kondisi tersebut diperparah dengan masuknya kedelai impor dari AS yang bebas bea masuk, sehingga kedelai petani semakin terpuruk karena tak mampu bersaing lagi. Dahulu di era tahun 1980-an, pengrajin tempe dan tahu lebih menyukai kedelai lokal. Seiring masuknya kedelai impor lama-kelamaan pengrajin lebih menyukai kedelai impor. Pada tahun 1999, harga kedelai dalam negeri sebesar Rp2.300/kg sementara kedelai dari AS masuk ke Indonesia dengan bea masuk impor nol persen sehingga bisa dijual sebesar Rp1.700/kg. Pada tahun 1992 luas lahan pertanaman kedelai di tanah air mencapai 1,4 juta ha dengan produksi 1,8 juta ton. Namun saat ini hanya 600 ribu ha dengan produksi 600 ribu ton.

Sema’un, ketua Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (PRIMKOPTI) wilayah Banyumas mengakui kesulitan yang dialami oleh pengrajin tahu tempe di kabupaten Banyumas. “Kondisi pengrajin tempe agak berkurang kesejahteraannya. Saya prihatin dengan kenaikan harga kedelai yang mengakibatkan produksi menurun,” ujar bapak 10 anak ini.Semenjak harga kedelai merambat naik pada pertengahan tahun 2007 lalu, produksi industri tempe secara perlahan menurun. Pengrajin tempe di kawasan Pliken ini, mengungkapkan hal serupa. Menurut dia, jika memaksa memproduksi tempe dalam jumlah besar, kerugian yang akan dialami produsen juga akan semakin banyak. "Semua pengrajin di Pliken menurunkan omzetnya, jika tidak bisa bangkrut," katanya. Dari sekitar seribuan industri tahu tempe yang terdapat di kawasan Banyumas pada tahun 1980-an, kini hanya tersisa sekitar tujuh ratus pengrajin.
Beliau mengungkapkan bahwa pada saat subsidi untuk pengrajin dicabut pada tahun 1997 menyebabkan koperasi tak terurus sampai sekarang. Akibatnya, distribusi bahan baku tidak jelas karena koperasi sempat vacuum. Bahkan gedung kantor koperasi di kawasan Dukuh Waluh, Purwokerto yang jarang digunakan pun disewakan untuk kepentingan salah satu partai.

Ketergantungan kedelai impor
Semula kenaikan harga kedelai impor mencapai Rp 7.800 per kg-nya. Namun saat ini turun menjadi Rp7.600 per kg. Sedangkan harga kedelai lokal dari semula Rp 7.600 per kg, saat ini turun menjadi Rp7.400 per kg. “Impor bahan baku juga harus dari Amerika, tidak seperti dulu bisa impor dari Cina atau negara lain,” jelas Pak Ma’un. Menurut bapak berusia 80 tahun ini, pengrajin tidak begitu paham dengan penyebab kondisi ini. Mereka hanya mengikuti perkembangan dari pemberitaan di televisi tentang kenaikan harga kedelai. “Ini karena masalah globalisasi. Njenengan lebih ngerti lah (Anda pasti lebih mengerti; red),” imbuhnya.

Ketergantungan terhadap kedelai impor bertambah parah, ketika kedelai lokal juga produksinya berkurang. Indikasinya karena harga di pasaran yang tidak seimbang dengan biaya produksi, pasokan kedelai lokal tidak cukup untuk memenuhi permintaan pengrajin. Menurut guru besar Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Prof. Dr. Ir. Sunarto, MS, berkurangnya pasokan kedelai lokal ini sebagai akibat dari menurunnya minat petani menanam kedelai. ”Petani enggan menanam kedelai karena tidak termotivasi harga. Hanya menjadi tanaman samben saja,” ujarnya.
Kualitas kedelai impor juga lebih baik daripada kedelai lokal. Sewaktu harga impor murah yang diuntungkan adalah pengrajin tempe dan tahu, yang dirugikan adalah petani kedelai. Hal itu membuat petani enggan menanam kedelai karena tidak termotivasi harga. Pada umumnya petani lebih menyukai varietas kedelai yang umur pendek dan bijinya besar. Petani juga tidak biasa menyimpan benih dalam jangka panjang (1 tahun) jadi mereka masih tergantung pada bantuan benih dari pemerintah. Ketika harga kedelai impor naik, yang menjerit pengrajin tempe dan tahu. Petani kedelai memiliki peluang untuk meningkatkan produksinya.
Di sisi lain, disitribusi kedelai lokal juga buruk sehingga kurang mencukupi pasokan bahan baku bagi pengrajin tahu tempe. “Saya pernah kulakan sampai ke daerah Gunung Kidul (DI Yogyakarta) untuk memenuhi kebutuhan,” ujar Pak Ma’un menimpali.

Pemerintah gagap menanggapi
Dalam berita yang dilansir dari liputan6.com, beberapa petani kedelai di Demak, Jawa Tengah, Kamis (24/1), membakar hasil panen mereka. Ini sebagai bentuk protes atas kebijakan pemerintah yang menetapkan harga kedelai di tingkat petani sebesar Rp 5.500 per kilogram. Harga ini dianggap petani terlalu rendah sebab tidak sebanding dengan ongkos produksi. Mereka berharap harga ideal adalah Rp 6.000 per kilogram sehingga bisa memperoleh keuntungan di saat kedelai mahal.
Protes petani dan tak efektifnya penghapusan bea masuk membuat produsen tempe tahu hingga hari ini masih harus membeli kedelai dengan harga mahal. Setidaknya semua ini menjadi gambaran dari sebuah kebijakan yang terlalu bergantung pada komoditas pertanian impor. Unjuk rasa petani kedelai ini menjadi dilema bagi pemerintah sehingga serba salah dalam bertindak. Mematok harga kedelai dianggap terlalu murah oleh petani. Padahal, pemerintah turut bertanggung jawab menjaga harga kedelai agar produsen tempe tahu tetap berproduksi. Sudah saatnya pemerintah kembali memperhatikan masalah pangan bagi masyarakat.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai dalam negeri yakni dengan melakukan perluasan lahan pertanaman komoditas pangan tersebut. Khusus untuk kedelai pemerintah harus segera membuat kebijakan-kebijakan yang efektif. Pertama, melakukan intervensi yakni pengelolaan pajak atau bea masuk dan pengelolaan hambatan perdagangan.
Kedua, melalui operasi pasar. Operasi pasar juga sempat dilakukan untuk minyak goreng. Khusus untuk Bulog pemerintah meminta Bulog untuk bersiap-siap jika suatu saat mendapat penugasan khusus untuk menyeimbangkan pasar kedelai. Bulog harus membangun lagi network-nya, membangun kerja sama dengan supllier, karena untuk bentuk persiapannya dia harus listing di pasar komoditas supaya bisa membiayai minimum 6 bulan untuk persiapan itu. Bulog harus mengimpor kedelai maka diperlukan dana sekitar Rp 200 miliar dengan subsidi Rp 1.000 per kg.

Namun upaya pemberian subsidi tersebut masih terhambat alur birokrasi. Pihak Kementrian Koperasi dan UMKM masih melangkah dalam tahap pendataan pengrajin tahu tempe di daerah-daerah. “Saya sempat didatangi oleh orang dari Kementrian Koperasi dan UMKM untuk di data sebagai syarat untuk pencairan subsidi,” cerita Pak Semaun, pengrajin tempe dari Pliken, Banyumas.

No comments: