Oleh Wiwiek Irnawati
Bagi petani lulusan Biologi tahun 2004 Unsoed ini, memproduksi pangan organik banyak manfaatnya. Selain bertani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, salah satu ladangnya yang terletak di desa Ketenger, Baturraden juga menjadi salah satu tempat bagi penelitian mahasiswa Fakultas Pertanian Unsoed.
Awalnya, Subekti datang ke Purwokerto hanya berniat untuk kuliah saja, setelah diterima di Universitas Jenderal Soedirman, fakultas Biologi pada tahun 1995. Beti, panggilan akrab kawan-kawan selain kuliah, dia juga aktif dalam beberapa kegiatan ektra kampus. Tidak hanya mata kuliah saja yang pelajari, banyak pengetahuan yang dia peroleh diluar bangku sekolahnya. Aktivitas-aktivitasnya tersebut yang membimbing dia untuk menggeluti pertanian organik bersama kawan-kawannya di Fakultas Pertanian pada tahun 2000. Namun, aktivitasnya tersebut belum terlalu serius seperti saat ini. Keseriusan itu muncul setelah perkenalannya dengan Pak Gatot, seorang petani organik yang bertempat tinggal di kabupaten Purbalingga.
“Kalau ditanya pilihan tentunya, tak ada yang memilih atau bercita-cita menjadi petani, tapi karena proses bareng temen-temen aja,”ujar Beti yang menyelesaikan gelar sarjananya pada tahun 2004 ini. “Apalagi dengan background studynya ga nyambung,” imbuhnya. Setelah kembali dari mencoba peruntungannya di kota Surabaya, pada tahun 2005 dia kembali ke Purwokerto untuk menekuni pertanian organik. Ada dua alasan dia menekuni pertanian organik, pertama karena peluang pasar yang masih terbuka dan harganya yang lebih menguntungkan, walaupun pasarnya masih eksklusif akan tetapi belum ada penyuplainya. Kedua, melihat tren kesehatan saat ini, untuk pengidap penyakit-penyakit tertentu oleh dokter untuk mempercepat proses penyembuhan direkomendasikan untuk mengkonsumsi padi dan sayuran organik.
Hal diatas dibuktikan, eksistensinya sampai sekarang dia masih bisa berproduksi sayuran organik dan terserap selalu habis dipasaran. Laki-laki dengan penampilan rambut panjangnya menyerahkan hasil kebun sayurnya yang terletak di desa Melung, Baturraden kepada rekanannya yang berperan sebagai promotor sekaligus penjual langsung ke konsumen. Pengiriman hasil kebunnya dilakukan pada pagi hari, agar kesegarannya masih terjaga. Hasil kebunnya berupa sawi hijau, pak coi, kangkung, dan wortel. Tetapi khusus untuk wortel belum bisa terus-menerus seperti yang lainnya. Alasannya, masa tanam yang lebih lama dibandingkan yang lain. Setiap ikat untuk sawi hijau, pak coi maupun kangkung. Sistem penjualannya saat ini masih dengan sistem kontrak, dengan dropping sayuran organik per mingguan.
“Alhamdulillah sampai sekarang masih berjalan dengan baik, bahkan pesanan semakin meningkat,” ungkapnya. Hal yang paling berat memulai usaha sayuran organik adalah proses pemulihan lahan dan merintis pasarnya, karena harganya relatif mahal dan biasanya pasarnya masih dalam bentuk jaringan, dan tidak terpromosi dengan bagus akibat kekurangan modal. Menurutnya, menggeluti bidang ini (sayuran organik) tak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya saja, akan tetapi sebagai bentuk pedulinya terhadap lingkungan.. “Saat ini sudah saatnya gerakan perbaikan lingkungan terus dikampanyekan,” ujar laki-laki yang juga aktif dalam jaringan aktivis lingkungan hidup ini.
Selanjutnya di juga memaparkan bahwa, membedakan sayuran organik dan non-organik bukanlah hal yang mudah, apalagi bagi orang yang tidak pernah bersentuhan langsung dengan hasil pertanian organik. Namun, pada umunya warna sayuran organic terlihat lebih muda dibandingkan dengan yang non-organik dan apabila gagangnya (sawi hijau misalnya) dipatahkan, ia akan lebih mudah patah dan berbunyi ketika patah. Sedangkan untuk sayuran non-organik biasanya lebih lentur, bila dipatahkan, dan warnanya pun lebih tua dibandingkan dengan sayuran jenis organik. Namun untuk beras sendiri memang sangat sulit membedakannya. Untuk kasus ini hanya dapat dilihat dari pelabelan ‘organik’ pada kemasannya, serta rasa dan masa basi ketika sudah dimasak.
Selain bertani, Bekti juga aktif melakukan kampanye kepada petani-petani setempat di Baturraden. Tujuannya tentu saja agar petani-petani tadi beralih pada petanian organik ini. Namun, kendala utamanya budaya instan yang sudah merasuk dalam kehidupan sehari-hari petani. Sementara mengelola pertanian organik juga membutuhkan ketelatenan sendiri.
Kendala lain adalah penyediaan pupuk dan pestisida alami, serta ketahanan pupuk dan pestisida itu sendiri. “Kalau pas hujan, pestisida tadi kan luntur, sehingga harus dilakukan penyemprotan lagi,” katanya. Tak hanya itu, proses pembuatan pestisida dan pupuknya sendiri juga memakan waktu yang agak lama, sehingga menyulitkan bagi petani yang harus terus tetap kontinyu dalam penyediaan produknya bagi konsumen. Hal ini bagai Bekti adalah dinamika dalam aktivitasnya menggeluti pertanian organik.
Saat ini salah satu agenda utamanya adalah bagaimana mengkampanyekan kepada masyarakat untuk mencoba mengkomsumsi beras dan sayur organik dan mendorong pemerintah daerah untuk menetapkan kebijakan sehingga mendorong petani untuk berproduksi secara organik. Subekti, saat ini juga aktif dalam jaringan petani organik di kabaupten Banyumas maupun Jawa Tengah.
Thursday, March 6, 2008
Subekti: Sayuran Organik Dapat Memperpanjang Umur
Labels:
Edisi Pangan dan Kesehatan,
Profil
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Boleh minta nomer telp Pak Beti?
tq
semangat mas bekti....kapan2 ajak jalan2 k kebun organiknya y
Post a Comment