Thursday, February 8, 2007

Antara Petani, Pemerintah dan Tentara ; Sengketa Agraria di Bantarsari Cilacap

Oleh Widoro

Salah satu akibat nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada masa pemerintahan Soekarno, adalah banyaknya perkebunan yang terlantar. Salah satunya perkebunan NV. Rubber Culturr Maatschappy Kubangkangkung. Lahan bekas perkebunan tersebut berubah menjadi rawa-rawa dan ditumbuhi tanaman liar. Berawal dari kebutuhan tanah untuk produksi tanaman pangan, tahun 1967 petani di sekitar desa Bantarsari, men-trukah atau mbuka garung tanah bekas perkebunan tersebut. Setelah trukah atau mbuka garung tersebut, harapan petani adalah tanah tidak produktif tersebut bisa dijadikan lahan untuk bercocok tanam dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka. Apa yang dilakukan petani Bantarsari dengan trukah sesungguhnya adalah usaha memenuhi kebutuhan pangan dengan bekerja keras, tidak menyerahkan nasibnya pada negara. Karena mereka sadar negara waktu itu dalam kondisi yang belum stabil.

Menurut Supardi, salah seorang pentrukah, membuka lahan dilakukan karena petani tidak mempunyai tanah garapan.”Kalau tidak digarap juga mubadzir Mas” ujarnya. Namun, kenyataan berbicara lain sawah hasil trukah diklaim milik pemerintah dan digunakan sebagai lahan percontohan padi PB 5. Apa daya, tanah mereka serahkan kepada pemerintah untuk mensukseskan pembangunan walau tidak ikhlas. Mereka hanya berkeluh kesah dan berharap setelah selesai proyek ladang percontohan tanah kembali kepada mereka.

Sejarah Perlawanan
Penguasaan PEMKAB atas tanah eks perkebunan seluas 84,59 hektar berlanjut setelah proyek percontohan PB 5. Bagi petani yang menggarap atau mengelola tanah tersebut PEMKAB memberlakukan sistem bagi hasil dengan pembagaian 60 % untuk petani dan 40 % untuk pemerintah. Kondisi ini terus berlangsung bahkan pada tahun 1999, sistem bagi hasil diubah menjadi sistem sewa yang mengakibatkan banyak pentrukah tersingkir dari lahan garapannya.
Namun harapan para pe-trukah untuk memiliki dan menguasai tanah tidak pupus. Bermacam jalan ditempuh, pernah mereka dijanjikan akan mendapatkan sertifikat jika mendukung partai penguasa pada waktu itu. Ketika reformasi bergulir, partai-partai baru mencoba merebut hati petani dengan memperjuangkan untuk mensertifikasi tanah tersebut juga pernah dilakukan, namun semuanya belum mendapatkan hasil.

Pengalaman demi pengalaman menyadarkan petani bahwa hak atas tanah harus diperjuangkan sendiri. Berangkat dari kesadaran diatas, petani mulai membangun keberanian dan mengumpulkan para pentrukah dan penggarap untuk bersama-sama menuntut hak. Periode selanjutnya, para pentrukah dan penggarap menyepakati membentuk organisasi bersama sebagai wadah perjuangan. Perlahan tapi pasti kesadaran dan keberanian untuk memperjuangkan semakin kuat, tentunya dibarengi dengan pembangunan argumen dan kolektifitas petani.

Perjuangan selama ini bukan saja memperjuangkan kepentingan diri sendiri, namun merupakan perjuangan kolektif yang akan memberi akibat positif bagi semua anggota organisasi. Akhirnya pada tanggal 7 Desember 2000 Paguyuban Tani Sri Rejeki Bantarsari Cilacap, bersama dengan Bupati dan Ketua DPRD Cilacap menandatangani kesepakatan untuk memproses penyerahan tanah tersebut kepada petani dan melakukan sertifikasi.

Bijak dalam Redistribusi
Dengan kesepakatan tersebut, organisasi berkewajiban untuk mendistribusikan, menetapkan batas dan menata tanah pertanian kepada 450 orang anggota. Ada ancaman perpecahan organisasi jika ada ketidakpuasan pembagian lahan. Ketidakpuasan ini muncul dari keinginan untuk menguasai tanah lebih luas, dan merasa paling berjasa. PTSR mencoba bersikap adil, pada dasarnya ada dua kelompok masyarakat yang berhak atas tanah tersebut yaitu pentrukah dan penggarap. Dibentuklah tim pembagian tanah yang terdiri dari pengurus PTSR, pemerintah desa dan pemerintah kecamatan, sebagai fasilitator dalam pembagian tanah tersebut.

Tim pembagian membuka kesempatan kepada semua masyarakat yang merasa berhak atas tanah tersebut untuk mendaftarkan diri ke panitia. Petani yang terdiri pentrukah dan penggarap dipertemukan oleh tim untuk merundingkan sendiri luasan dan batasan tanah yang menjadi hak mereka di hadapan tim. Tim lebih mengedepankan musyawarah antar petani untuk menyelesaikan sengketa dengan mengajukan saksi dan bukti-bukti yang dimiliki, setelah terlebih dahulu ditetapkan, setiap 10 % dari hak perseorangan akan diserahkan 5% untuk pemerintah desa dan 5% untuk pengurus.

Tanah yang diserahkan dan dikelola kepada pemerintah Desa Bantarsari, adalah wujud dari komitmen petani dan organisasi untuk turut serta membangun desa. Sementara 5% yang diserahkan kepada pengurus untuk menghargai kerja keras pengurus. Kesadaran diatas terbangun dari kepentingan bersama dan tidak semata-mata bertujuan mendapatkan tanah. Sertifikasi tanah, sebagai salah satu tujuan perjuangan PTSR disadari benar bukanlah tujuan utama dari perjuangan organisasi. Namun, sertifikat sebagai bentuk kedaulatan petani atas pengelolaan tanah yang selama ini mereka garap untuk kesejahteraan bersama. “Petani terlibat dalam PTSR bukan sekadar mendapat sertifikat, namun untuk mewujudkan kedaulatan petani, perjalanan PTSR selama ini menjadi sebuah bukti bahwa petani solid dan tetap menjaga kebersamaan” ujar Mas Ratno. Menurutnya tujuan jangka panjang PTSR adalah mewujudkan kesejahteraan petani, selain menguasai dan mempertahankan tanah garapan sebagai tujuan jangka pendek.

Tanah yang sekarang dikuasai PTSR dan kelola bukan tanpa ancaman. Kesepakatan 7 Desember 2000 yang menjadi landasan penyerahan tanah kepada petani diingkari oleh PEMKAB dan DPRD Cilacap. Selain itu, tentara dari Batalyon 405 Wijayakusuma juga ikut merumitkan persoalan. Dengan dasar Surat Bupati Cilacap, Batalyon 405 dan kelompok tani bentukannya berusaha menguasai sebagian tanah garapan. Saat ini, konflik inilah yang sedang dihadapi oleh petani anggota PTSR. Konflik dengan organisasi tani yang didukung oleh tentara dan memperebutkan lahan yang sangat penting bagi petani. PTSR menghadapinya dengan terus melakukan konsolidasi dan menjaga kebersamaan anggota. Perjalanan PTSR dari tahun 2000 sampai 2006 membuktikan, bahwa gerakan petani bukan sekadar memperjuangan diri-sendiri, tapi suatu agenda kolektif yang didukung dan dilaksanakan oleh petani, yaitu pemerataan sumber-sumber agraria, kesejahteraan petani dan masyarakat umum.

Pada beberapa kesempatan PTSR membuktikan kepedulian sosial dan kepeloporan dalam pembangunan desa. Perbaikan balai desa Bantarsari, pembangunan jalan, dan sunatan massal bagi warga kurang mampu di desa Bantarsari hanyalah beberapa kegiatan yang dilakukan PTSR sebagai organisasi yang juga memperdulikan masyarakat di sekitarnya. Hal yang patut diteladani adalah semua dilakukan dengan kemandirian. Kegiatan-kegiatan tersebut dibiayai dengan iuran yang dilakukan ketikan panen datang.

Kewajiban Negara
Negara memang menguasai tanah seperti yang dimandatkan UUD. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikusai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk dimiliki dan dijadikan alat mempertahankan kekuasaan. Menguasai seharusnya dimaknai, pertama; mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan dan pemeliharaan, kedua; menentukan dan mengatur hak-hak yang dipunyai atas sumber-sumber agraria, ketiga; mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai sumber-sumber agraria.

Pemaknaan seperti ini menjelaskan pentingnya hak atas tanah sebagai salah satu hak dasar manusia, karena tanah menjamin terpenuhinya memenuhi kebutuhan pangannya.
Peran pemerintah Kabupaten Cilacap pada kasus sengketa agraria di Bantarsari mencerminkan interpretasi yang keliru terhadap tanggungjawab pemerintah dalam menata struktur agraria untuk kesejahteraan rakyat. Seharusnya dalam menyikapi kasus agraria di Bantarsari, PEMKAB Cilacap tetap mengedepankan kepentingan petani yang benar-benar membutuhkan tanah garapan untuk kehidupannya.

1 comment:

nia said...

Ada artikel tentang tanah trukah di cilacap lg ga ya kak,, penting bgt nie,, mohon bantuannya ya..