Oleh Oktani F.
Berawal dari pertemuan pada tahun 1974 di rumah salah satu warga, nasib warga Grumbul Depok Kelurahan Teluk Purwokerto Selatan berubah. Pertemuan membahas kebutuhan tanah pemerintah untuk proyek penghijauan, karenanya petani Depok diharapkan berpartisipasi dengan merelakan tanah dengan ganti rugi sebesar Rp 250,00 per ubin atau hanya 1/6 nilai harga tanah yang berlaku. Petani Depok menolak rencana pemerintah, mereka tidak akan dapat membeli tanah lain jika uang yang didapatkan hanya Rp 250,00 per ubin.
Namun, apa yang tidak bisa dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Pemerintah menggunakan kekuasaan untuk dengan bebas menyingkirkan rakyat kecil dari tanahnya, melakukan apapun terhadapnya, apalagi dengan dalih proyek pembangunan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di bawah tekanan, petani Depok terpaksa melepaskan tanah disertai penandatanganan/cap jempol pada blangko kosong.
Setelah proses pengambilalihan usai, tanah tersebut ditanami cengkeh dan mempekerjakan 4 orang dari 22 petani yang tergusur sementara 18 petani lain dibiarkan tidak mempunyai lahan garapan. Namun, 4 orang petani yang bekerja di perkebunan cengkeh juga tidak terangkat kesejahteraannya, hampir 8 bulan mereka tidak digaji, maka mereka beramai-ramai keluar dari pekerjaan.
Selepas perkebunan cengkeh hancur, pada tahun 1989 lahan disewakan kepada pabrik gula Kalibagor sebagai perkebunan tebu. Petani yang ingin menggarap lahan, diwajibkan membayar sewa. Pada tahun 1996 untuk menggarap 50 ubin petani harus membayar sewa ke perusahaan sebesar Rp 10.000 untuk masa sewa selama 2 tahun. Delapan tahun setelah pengambilan paksa, pemerintah kembali mengumpulkan petani. Maksudnya adalah melakukan sosialisasi, akan dibangun perguruan tinggi swasta di tanah tersebut. Petani yang masih merasa keberatan dengan proses 'jual-beli tersebut meminta agar tanahnya dikembalikan. Melihat kegigihan warga, pemerintah akhirnya melakukan penambahan ganti-rugi. Sebagian tanah mendapat tambahan Rp 1.750,00 per ubin dan sebagian Rp 2.000,00 per ubin dalam waktu yang berbeda.
Petani Bangkit!
Pemerintah ternyata berbohong soal penggunaan di tanah tersebut, dulu tanah tersebut akan digunakan sebagai lahan penghijauan, ternyata gagal. Berikutnya pemerintah mensosialisasikan di atas tanah tersebut akan dibagun perguruan tinggi swasta. Nyatanya, tanah tersebut kosong, maka petani kembali menanyakan status tanahnya. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba tanah tersebut sudah disertifikatkan atas nama 3 (tiga) orang yaitu, Sbg, Snr, dan Isk. Ketiganya adalah pengurus Yayasan Wijayakusuma, pengelola Universitas Wijayakusuma, sebuah universitas swasta di Purwokerto. Manipulasi ini bisa terjadi karena orang-orang yang duduk di kepengurusan Yayasan Wijayakusuma adalah kroni-kroni pejabat penting pemerintah Banyumas waktu itu.
Pada tahun 2001, dibantu beberapa mahasiswa dan aktifis partai politik, petani Depok mulai menata perjuangan merebut kembali tanah tersebut. Langkah awal yang dilakukan petani adalah membentuk organisasi yang dinamai Serikat Tani Masyarakat Depok (Seni Madep). Seni Madep diharapkan mampu membulatkan tekad dan kekuatan petani untuk melawan kecurangan pemerintah, organisasi ini dibentuk atas kesadaran bahwa perjuangan akan lebih kuat apabila dilakukan bersama-sama.
Seni Madep juga bergabung dengan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), sebuah wadah yang bergerak untuk mendesakkan terlaksananya tujuan reforma agraria. Jaringan ini selain memberikan dukungan moral, juga turut memberikan data-data yang berkaitan dengan sengketa agraria. Dengan demikian dukungan yang dimiliki Seni Madep-pun hingga tingkat nasional.
Setelah dukungan kuat dimiliki, strategi perjuangan berikutnya adalah melakukan negoisasi dengan pihak yang berlawanan. Petani mengadakan pertemuan dengan pihak pemerintah desa guna mengetahui secara jelas, siapa yang memiliki sertifikat tanah mereka. Dari hasil penelusuran tersebut diperoleh informasi bahwa pemilik lahan tersebut adalah 3 orang dengan sertifikat tanah milik pribadi. Informasi tersebut menimbulkan tanda tanya besar dari masyarakat karena sepengetahuan mereka, tanah tersebut dibeli pemerintah, namun kenapa sertifikat atas nama perseorangan?
Berbagai forum telah dibentuk dan pertemuan-pertemuan telah dilakukan, namun hingga saat ini masih belum ditemukan penyelesaiaan yang menguntungkan kedua belah pihak (masyarakat, pemerintah desa, dan pemilik sertifikat). Petani pun saat ini masih mempertahankan tanahnya dengan melakukan penanaman tanaman pangan untuk mencukupi kebutuhan keluarga petani. Bahkan sampai saat ini, baik pemerintah daerah dan Yayasan Wijayakusuma tidak pernah mau mengungkap secara transparan kasus ini, dan sulit diajak berdialog, karena memang akan mengungkap mal administrasi dan manipulasi yang dilakukan pemerintah dulu. Sengketa masih terjadi, dan pihak Yayasan menawarkan kompromi, tetapi tidak mau mengungkap kronologi dan sejarah penipuan ke masyarakat, satu hal yang tetap ditolak petani.
Seni Madep Hari Ini
Obyek sengketa agraria yang melibatkan Seni Madep dan beberapa mantan pejabat atas nama Yayasan Wijayakusuma sekarang memang telah dikuasai petani Depok. Untuk menggarapnya, anggota Seni Madep dikenalkan pada penataan produksi untuk dapat meningkatkan produktivitas lahan. Penataan produksi ini meliputi pengelolaan sumberdaya alam, pengolahan hasil panen, pemasaran, akses penggunaan alat-alat produksi, pengairan, konservasi lahan dan lain sebagainya.
Kegiatan ini dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan perencanaan. Utamanya adalah perencanaan konservasi, karena dulu lahan pernah dikelola dengan cara yang serampangan dan tidak mengindahkan kaidah-kaidah kelestarian alam. Konservasi menjadi landasan bagi keberlanjutan usaha tani, kegiatan ini dilakukan dengan membuat demplot-demplot pertanian dengan variasi jenis tanaman yang mendukung keadaan ekologi lahan pertanian.
Reklaiming lahan memang telah mengembalikan kehidupan yang dulu pernah mereka miliki. Menurut Boedhi dan Herlambang pada buku “Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat” beberapa hal yang masih perlu dilakukan paska reklaiming adalah menata penguasaan obyek reklaiming, mengembangkan penataan produksi, serta mengupayakan pengakuan hukum (legalisasi).
Sembari melakukan penataan produksi, Seni Madep terus melakukan lobi-lobi agar secara hukum tanah tersebut dapat kembali ke tangan mereka. Karena, meskipun secara de facto lahan itu telah dikuasai petani, namun secara hukum kepemilikan tanah berada pada tangan tiga orang penting di atas.
Proses reklaiming yang memerlukan perjuangan selama lebih dari 30 tahun sedikit banyak menguras tenaga petani. Petani mengalami hambatan besar ketika harus kembali mengelola lahan.
Budaya bertani lahan kering perlahan-lahan terkikis akibat tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Pilihan mereka pun beralih menjadi pekerja di luar sektor pertanian.
Diperlukan regenerasi yang diwakili oleh pemuda-pemuda, anak anggota kelompok sebagai motor penggerak pembangungan pertanian. Namun demikian, solusi tersebut juga akan berhadapan dengan sedikitnya pemuda yang bermata pencaharian bertani. Derasnya arus globalisasi serta menipisnya budaya bertani dari orang tua mereka menimbulkan kesan bahwa profesi petani bukanlah profesi yang menjanjikan, bahkan cenderung menyengsarakan. Menjadi buruh kota merupakan mata pencaharian yang dipilih sebagai sumber penghasilan. Bertani yang memerlukan keuletan dan ketelatenan untuk memelihara tanaman dengan hasil yang sedikit menjadikannya tidak menarik.
Kondisi ini, mempengaruhi semangat anggota untuk melanjutkan perjuangan. Rentang waktu perjuangan yang panjang dan berliku-liku telah menyedot energi yang besar. Namun dengan kecintaan terhadap bumi, dan cita-cita mensejahterakan anak cucu, petani masih bertahan. "Wong tani Depok kudu tetep duwe rasa handharbeni, hangrungkebi, mulat sarira hangrasawani karo tanah kiye. Tanah kuwe sumber penguripane wong tani, angger tanah kiye ngasi ucul, terus kae wong arep pada mangan sekang endi? " ujar Pak Tarjo sesepuh warga, yang artinya kurang lebih begini, petani Depok harus tetap mempunyai rasa memiliki, menjaga, dan berani mempertahankan tanah ini. Tanah adalah sumber penghidupan petani, kalau tanah ini sampai lepas dari penguasaan, terus orang-orang mau makan dari mana lagi.
Thursday, February 8, 2007
Revitalisasi Organisasi Tani : Refleksi Advokasi Sengketa Tanah Di Depok, Teluk, Purwokerto Selatan
Labels:
Edisi Advokasi,
Liputan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment