Thursday, February 8, 2007

Pertanian Lestari; Alternatif Pembangunan Pertanian di Banyumas

Oleh Oktani F.

Usai perang dunia 1, Robert Malthus, seorang ahli ekonomi dunia mengemukakan teori tentang pertumbuhan pendudukan dan pertambahan pangan. Menurutnya, pertambahan penduduk seperti deret ukur dan pertambahan bahan makanan akan seperti deret hitung. Artinya, pertambahan jumlah penduduk berlipat-lipat, sedangkan jumlah bahan makanan bertambah sedikit demi sedikit sehingga dunia terancam kelaparan. Demi mendengar ramalan tersebut, negara-negara besar dunia melakukan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan. Penelitian-penelitian benih-benih unggul, pupuk-pupuk kimia serta pestisida-pestisida sintetis.

Indonesia yang sedang berjalan pada tahap awal pembangunan juga melakukan hal serupa, program intensifikasi pertanian dengan panca usaha tani dan Bimas (Bimbingan Masyarakat), Program Intensifikasi Pertanian dilakukan sebagai upaya untuk menggenjot produksi pangan nasional.

Namun peningkatan produksi pertanian tersebut tidak berlangsung lama. Tercatat mulai tahun 1990 produksi pangan Indonesia menurun, bahkan pada tahun 1997 Indonesia mulai menjadi salah satu negara penimpor beras besar di dunia. Penggunaan benih-benih unggul, pupuk kimiawi dan pestisida buatan dalam jangka panjang terbukti menurunkan produktivitas, karena lahan sudah tidak dapat menyediakan unsur hara untuk tanaman akibat racun dari bahan kimia. Sayangnya kondisi tersebut tidak disadari, petani terus menerus melakukan pemupukan bahkan dengan dosis yang lebih tinggi untuk produktivitas lahan.
Begitu juga Banyumas, kabupaten ini larut dalam gegap gembita revolusi hijau, program ini dianggap berhasil di Banyumas, bahkan hingga saat ini Banyumas tidak terdaftar sebagai salah satu kabupaten rawan pangan di Jawa Tengah.

Jangan berbesar hati dulu, ternyata kontribusi sektor pertanian pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari tahun-ketahun menurun. Dari kondisi ini bisa disimpulkan bahwa pproduktifitas pertanian di Banyumas sedang menuju kondisi kritis.
Sesungguhnya hal ini bisa diantisipasi, produktifitas lahan sawah memang sangat fluktutif,karena sangat rentan terhadap hama dan kondisi lingkungan.Berbeda dengan produktivitas lahan kering. Keanekaragaman jenis tanaman yang tinggi, membuat lahan kering lebih tahan terhadap serangan hama-penyakt tanaman. Potensi inilah yang perlu digenjot lagi, selain bahwa luasan lahannya yang mencapai 90 persen dari luas wilayah Banyumas.

Potensi yang Terabaikan
Lahan kering di Banyumas tersebar menjadi lahan-lahan pekarangan dan nderik. Petani pedesaan pada umumnya memanfaatkannya untuk tanaman buah, kayu, dan tanaman tahunan lain. Hasil dari kebun tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan tabungan apabila sewaktu-waktu membutuhkan dana segar dalam jumlah besar.

Sayangnya, keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian masih setengah hati. Sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB yang mencapai 24,73 % pada tahun 2003 terus menurun. Salah satu sebab utamanya adalah peralihan fungsi lahan dari pertanian menjadi perumahan, selain karena serangan hama-penyakit tanaman dan kerusakan saluran irigasi.

Petani memerlukan dukungan penuh dari pemerintah dengan kebijakanyang bisa mendorong kemajuan pertanian. Pemasaran, sarana produksi, subsidi pertanian, dan kebijakan impor produk pertanian perlu ditetapkan dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat tani.

Berbagai produk pertanian lahan kering seperti tanaman buah, tanaman kayu, dan tanaman hias dapat dikembangkan secara optimal. Kesuburan tanah Banyumas yang baik, menyediakan cukup hara bagi tanaman agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Dari ratusan jenis tanaman lahan kering, Banyumas baru mengembangkan 14 jenis tanaman, diantaranya adalah Casiavera, Cengkeh, Jambu mete, Kakao, Kapuk, Karet, Kelapa, Kenanga, Kopi, Lada, Pala, Panili, Pinang dan Teh. Produk-produk tersebut tersebar hampir di seluruh kecamatan.

Kabupaten ini juga salah satu penghasil gula kelapa terbesar di Indonesia. Setiap tahun 44.000 ton gula dihasilkan dari 4.677 hektar kebun kelapa dengan 34.317 uni pengolahan. Unit-unit pengolahan ini terdapat di dapur-dapur petani yang tersebar di 22 kecamatan dari 27 kecamata di seluruh Banyumas. Gula kelapa di Banyumas menopang hidup banyak orang, tercatat 32.570 orang penduduk berprofesi sebagai penderes, diluar angka itu ada 90.241 orang menggantungkan hidup dari pengolahan gula kelapa.

Profil ini sedikit banyak menunjukan bahwa pertanian lahan kering Banyumas adalah potensi pertanian yang sangat besar.
Salah satu konsep pertanian di lahan kering adalah wanatani. Wanatani merupakan perpaduan antara tanaman hutan (tahunan) dengan tanaman semusim. Dari tanaman tahunan, petani dapat mendapatan hasil jangka panjang yang jumlahnya cukup banyak. Tanaman kayu itu juga berfungsi sebagai tabungan bagi petani yang dapat digunakan ketika kebutuhan keuangan dalam jumlah cukup besar datang. Sedangkan kebutuhan harian, dapat dipenuhi dari hasil tanaman semusim.

Di Banyumas, wanatani tidak hanya dilakukan di hutan .Lahan-lahan kering, baik yang terletak di sekitar rumah ataupun jauh dari rumah di dataran rendah pun banyak yang telah diusahakan dengan menerapkan sistem tersebut. Dengan menggunakan prinsip-prinsip wanatani, lahan kering diubah menjadi hutan mini dengan tanaman tegakan sebagai tanaman utama dan tanaman semusim sebagai tanaman tambahan atau sebaliknya.

Pertanian Lestari dan Kedaulatan Petani
Petani bukanlah semata-mata penghasil bahan makanan untuk masyarakat dengan target produksi tertentu agar kebutuhan masyarakat akan pangan tercukupi. Petani merupakan bagian dari masyarakat yang berprofesi sebagai penghasil bahan kebutuhan pangan masyarakat. Dengan pandangan ini, maka otoritas penuh kepada petani untuk mengelola lahan berdasarkan pada analisa lingkungannya. Sehingga petani dapat mengambil keputusan-keputusan berdasarkan pada kebutuhan dirinya dan keluarganya serta berkontribusi kepada masyarakat. Keadilan yang dibangun melalui pelibatan langsung petani, pengetahuan yang cukup mengenai lingkungan serta optimalisasi usaha tani menjadi landasan awal membangun kedaulatan petani.

Petani yang berdaulat adalah petani yang memiliki kekuatan untuk menentukan nasibnya sendiri, tanpa ada kekuatan lain yang mendominasinya. Dengan kata lain, petani yang berdaulat adalah petani yang dapat menentukan sendiri arah dan langkahnya dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Keputusan-keputusan yang digunakan dalam setiap kegiatan pertanian, akan diambil dengan pertimbangan keberlanjutan lingkungannya, bukan semata-mata menggunakan pertimbangan ekonomis. Mereka akan lebih bijak dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan usaha taninya. Bagaimana menghasilkan bahan pangan tanpa merusak lingkungan, apa saja yang akan memelihara dan melestarikan lingkungannya, merupakan salah satu bahan pertimbangan yang dipikirkan sebelum berusaha tani. Kearifan alamiah ini sesungguhnya menjadi dasar bagi upaya membangun pertanian yang lestari.

Konsep pertanian ini memandang bahwa mahluk hidup dalam ekosistem memiliki hubungan timbal balik. Tidak hanya dengan sesama makhluk hidup, benda-benda mati dalam ekosistem memiliki hubungan dengan makhluk hidup yang ada. Unsur-unsur hara yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat berasal dari daur unsur hara dalam ekosistem. Daun-daunan yang jatuh ke tanah, dengan bantuan mikroorganisme akan terurai menjadi bahan organik tanah yang mampu meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah. Dalam proses tersebut, terdapat aliran energi dan material. Tanaman sebagai penghasil bahan makanan (dikenal sebagai produsen), akan dimakan oleh hewan pemakan tumbuhan seperti misalnya kambing, sapi, ayam, dan lain-lain. Ketika hewan dan tanaman-tanaman itu mati, maka jasadnya akan diuraikan oleh mikroorganisme-mikroorganisme kecil dalam tanah menjadi unsur-unsur yang kembali digunakan oleh tanaman untuk tumbuh dan berkembang, demikian seterusnya siklus itu terjadi.

Praktek dalam bidang pertanian dengan sistem ini mensyaratkan keanekaragaman tanaman dan penghuni lingkungan lain. Sistem bertanam monokultur yang hanya mengandalkan satu jenis tanaman tidak termasuk ke dalam pertanian lestari. Cara-cara bertanam yang banyak diketahui masyarakat, yang sesuai dengan prinsip pertanian lestari adalah sistem tumpangsari dan tumpanggilir. Dalam cara bertani tersebut, petani juga menanam tanaman-tanaman lain, selain tanaman utama, sebagai tanaman pendukung. Pemanfaatan limbah ternak untuk tanaman dan sebaliknya akan meningkatkan optimalisasi usaha tani sehingga penggunaan masukan dari luar dapat dikurangi seminimal mungkin. Hal tersebut tentu baik untuk mengurangi biaya produksi usaha tani yang meningkat terus menerus tanpa diiringi peningkatan harga produk pertanian yang sebanding.

No comments: