Oleh Widya K.
Di ujung timur Kabupaten Banyumas,wanatani ternyata telah lama dipraktekkan sebagai cara bertani sebagian besar masyarakat. Di Desa Kemawi Kecamatan Somagede Kab. Banyumas model pengelolaan wanatani yang telah menjadi tradisi dan turun temurun.
Wanatani (agroforestry) adalah salah satu model pertanian terpadu, bentuk pengembangan pertanian berkelanjutan di lahan kering. Idealnya pengembangan wanatani didukung budidaya ternak. Bentuk wanatani biasanya adalah penggunaan lahan yang menyatukan komponen tanaman berkayu dalam pertanian dan peternakan. Model ini sejak lama telah dikembangkan oleh petani di Kemawi dengan mengelola tanaman kayu yang ditumpangasarikan dengan tanaman pertanian dengan didukung budidaya ternak, atau istilah akademiknya agrosilvopastural.
Pertanian model seperti ini cocok diterapkan di Kemawi, karena secara geografis,adalah desa dengan kondisi topografi berbukit-bukit pada ketinggian 400 m dpl. Jenis tanahnya podsolik merah kuning, USDA (United State Departement of Agliculture) yaitu departemen pertanian pemerintah Amerika Serikat, mengkategorikan tanah sebagai tanah jenis ultisol. Jadi, berdasarkan sifat-sifat ultisol, tanah Kemawi digolongkan dalam tanah kelas IV yang bercirikan sangat dangkal dan berlereng terjal (22-35 persen). Kemawi hanya memperoleh curah hujan sekitar 200 mm per tahun, sehingga petani sering mengalami kekurangan air saat musim kemarau.
Pada tahun 2004, Kemawi berpenduduk 5.414 orang, terbagi dalam 1.300 KK. Jumlah rumah tangga petani adalah 756 , dengan jumlah anggota keluarga petani sebesar 1.230 orang. Seperti desa di Kabupaten Banyumas pada umumnya, di desa ini juga terdapat 780 orang pengrajin gula kelapa.Luas lahan di desa ini adalah 967, 740 ha, Hampir semua petani memiliki lahan, 40 persen diantaranya memiliki lahan di bawah 0,5 ha, dan hanya 10 persen yang memiliki lahan di atas 1 ha. Studi yang dilakukan BABAD pada tahun 2005, menunjukan bahwa lahan penduduk 4,7 persen-nya dimanfaatkan untuk perumahan; 21,9 persen untuk pekarangan; 0,8 persen untuk peternakan; 72,6 persen untuk kebun dan 0,1 persen untuk kolam ikan. Jadi, sebagian besar penggunaan lahan memang diperuntukkan untuk pertanian.
Ada dua bentuk wanatani yang dikembangkan di desa tersebut. Pertama wanatani kompleks, biasanya dikembangkan di tanah pekarangan atau kebun milik mereka. Kedua adalah wanatani sederhana yang dikembangkan di lahan kontrak (hutan negara).
Kenanekaragaman jenis tanaman yang dibudidayakan cukup tingi. Dalam satu satuan lahan, kita bisa menemukan 8-30 jenis tanaman usia panjang berupa kayu, buah-buahan, tanaman rempah, dan tanaman hutan. Belum lagi di sela tanaman usia panjang disisipkan tanaman pangan atau palawija, obat-obatan, dan sayur. Selain itu pada lahan dengan tingkat kemiringan tinggi, petani Kemawi juga menanam hijauan makanan ternak sebagai tanaman pagar.
Untuk mendukung penyediaan input produksi, terutama pupuk bagi tanaman, petani membudidayakan ternak kambing dan ayam. Jenis kambing yang banyak dibudidayakan oleh petani adalah jenis Jawa Randu dan Kacang, sedangkan jenis ayam yang dipelihara adalah ayam kampung, karena lebih mudah dalam pemeliharaannya.
Menguntungkan dan Lestari
Salah satu syarat wanatani adalah adanya interaksi ekologis dan ekonomis. Artinya kegiatan pertanian yang dilakukan memberi manfaat ekonomi dan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi alam. Dengan sistem wanatani ini, petani di Kemawi bisa memperoleh pendapatan jangka pendek, menengah dan panjang. Petani memperoleh hasil jangka pendek (harian) dari hasil deresan kelapa (nira) yang diolah menjadi gula. Rata-rata penderes di Kemawi dapat memperoleh 3 kg dari 10 pohon kelapa per hari, dengan harga jual Rp 2.800-Rp 3.100. Pendapatan juga diperoleh dari tanaman rempah, tanaman hutan, tanaman buah-buahan, tanaman obat dan tanaman pangan/palawija. Beberapa petani yang telaten juga memperoleh penghasilan dari budidaya tanaman sayuran dalam skala kecil. Sedangkan tanaman kayu dan ternak kambing merupakan sumber pendapatan jangka panjang atau tabungan yang dapat dipergunakan untuk kebutuhan mendadak.
Untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari petani memperoleh beras dari hasil penjualan gula, sedangkan sayuran dan bumbu masakan diperoleh dari lahan pekarangannya sendiri. Kayu bakar diperoleh dari ranting-ranting yang patah atau cabang-cabang tanaman hijauan seperti Kaliandra atau Glisiridia. Kebutuhan protein hewani dipenuhi dari ternak ayam kampung berupa daging dan telur. Untuk membiayai kebutuhan yang memerlukan biaya cukup besar seperti pembangunan rumah, pendidikan, kesehatan, dan hajatan, biasanya diperoleh dari pendapatan jangka menengah dan panjang. Keanekaragaman jenis tanaman budidaya di Kemawi memang memberikan variasi pendapatan yang dapat mencukupi kebutuhan perekonomian keluarga.
Disadari atau tidak pemilihan jenis tanaman oleh masyarakat telah memenuhi fungsi konservasi tanah dan air. Seperti penguatan lahan miring dengan penanaman Kaliandra, Glisiridia, Kamijara (sereh) dan Nanas. Penutupan tanah oleh tajuk tanaman yang rapat juga mengurangi penguapan air dari tanah, dan mengurangi aliran permukaan saat terjadi hujan lebat.
Guguran dedaunan dan ranting menutupi permukaan tanah, menjadi humus dan pupuk hijau sehingga menjadi tempat yang nyaman untuk kehidupan biota tanah, yang berperan menguraikan bahan organik menjadi makanan tanaman. Pemilihan albasia tanaman Leguminosae lainnya (Kacang tanah, Kaliandra) dapat menyediakan unsur Nitrogen (N) karena pengikatan bakteri Rhizobium yang menempel pada akar tanaman, sehingga bisa menjadi pengganti pupuk urea.
Hal-hal yang masih perlu diperbaiki
Selain beberapa hal positif diatas, praktek pengelolaan wanatani di Kemawi memang masih dilakukan secara sederhana dan memiliki banyak kelemahan. Secara umum kelemahan silvikultur yang dipraktekkan petani Kemawi adalah kecenderungan untuk membudidayakan berbagai jenis tanaman kayu yang ditumpangsarikan tanpa memperhitungkan penetrasi tanaman kayu, dan jarak tanam. Petani juga tidak menyeleksi asal dan mutu bibit tanaman yang ditanam. Pemeliharaan tanaman kayu juga dilakukan minimal, hanya saat awal penanaman bibit, proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman selanjutnya seringkali hanya dibiarkan.
Petani juga kurang menguasai pola penanaman di lahan miring, seperti penguasaan cara penanaman yang mengikuti garis kontur,dan sengkedan untuk menghindari erosi. Banyak petani yang masih memaksakan penanaman tanaman semusim di lahan miring, terutama pada lahan yang dekat dengan pemukiman.
Perbaikan yang dapat dilakukan
Hal pertama yang harus dilakukan adalah peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani dalam silvikultur dan teknologi budidaya tanaman di lahan miring. Prinsip utama dalam model pertanian ini adalah konservasi tanah dan air untuk mendukung pertanian berkelanjutan. Silvikultur merupakan metode untuk membangun, memelihara dan mengatur komunitas pohon dan vegetasi.
Cara yang umum dilakukan silvikultur untuk memperbaiki wanatani adalah meningkatkan produktivitas dan mutu dari kondisi yang sudah ada. Peningkatan ini bisa dilakukan dengan menentukan pilihan jenis-jenis tanaman utama untuk ditumpangsarikan dalam wanatani, peningkatan ketrampilan pembibitan tanaman, pemeliharaan tanaman secara utuh, dan perencanaan penanaman hingga pemanenan.
Petani juga harus mendapatkan tambahan referensi dan informasi berbagai jenis tanaman agar petani lebih memahami kombinasi tanaman dan menemukan formulasi relung dan komposisi tanaman yang tepat. Selain itu, penanaman harus memperhitungkan kondisi tanaman, termasuk ruang yang digunakan untuk jenis yang ditanam, kompetisi terhadap sinar, kelembaban dan hara tanaman. Struktur tanaman harus memperhitungkan juga perspektif horisontal dan vertikal- bentuk kanopi di atas tanah, dan perakaran tanaman.
Upaya tersebut harus dilakukan agar produktifitas usaha tani dapat ditingkatkan, dan kualitas lingkungan juga tetap terjaga.
Thursday, February 8, 2007
Desa Kemawi dan Wanatani; Catatan Praktek Pengelolaan Lahan Kering Masyarakat Desa di Banyumas
Labels:
Edisi Wanatani,
Liputan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment