Oleh Tri Hadiyanto Sasongko1
Pangan, meski bentuknya serupa, memiliki arti yang berbeda bagi si kaya dan si miskin. Makan bagi si kaya, bukan hanya urusan perut, namun juga gaya hidup2. Tidaklah heran bila kaum muda (dan kaya) di kota ada yang rela membayar Rp. 35.000 hanya untuk secangkir kopi di Starbucks atau di restoran mewah lainnya. Konon kabarnya, banyak dari mereka yang bukan (hanya) “membeli kopi”, tapi justru “membeli suasana” atau untuk meningkatkan “gengsi sosial” di antara teman-temannya. Banyak anak muda yang merasa menjadi anak gaul, keren dan gaul hanya karena mereka mampu makan dan nongkrong di restoran mahal.Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Konon kabarnya, salah satu biang keroknya adalah industri periklanan. Lihat saja, betapa menariknya bujuk rayu iklan yang saat ini muncul di televisi. Iklan dikemas dengan begitu menarik, indah dan mudah dimengerti oleh semua orang. Hal ini bisa dimengerti karena salah satu fungsi iklan adalah menanamkan citra (image) atau gambaran tentang produk yang ditawarkan pada otak konsumen. Pada industri pangan, citra yang sering ditanamkan adalah citra modern dan gaul. Ada penciptaan “norma baru” di masyarakat seolah-olah membuat orang menjadi begitu udik, kampungan dan ketinggalan zaman bila belum pernah menyantap panganan siap saji (fast food) seperti pizza, hamburger, dan produk lainnya. Pizza, hamburger, dan spaghetti dan produk instan sering dianggap pangan elite oleh sebagian besar masyarakat kita (Khudori, 2005: 85).
Kapitalisme industri makanan memang sangat lihai. Mereka tidak hanya berhasil menciptakan berbagai jenis pangan siap saji, namun juga “menciptakan kebudayaan”. Makan, bukan hanya urusan perut, melainkan juga gaya hidup. Dengan makan makanan siap saji atau produk instan konsumen bukan hanya akan terasa kenyang, namun juga akan terdongkrak kelas sosialnya (karena mampu menyantap “pangan elite”). Ada pula yang mencitrakan bahwa panganan pabrikan adalah bersih, bergizi dan aman sementara panganan tradisional adalah kotor dan tidak aman. Siapa yang diuntungkan? Jelas para konglomerat pemilik pabrik panganan pabrikan tersebut. Siapa yang dirugikan? Jelas para pengusaha panganan lokal yang bangkrut karena tidak mampu bersaing serta keluarga petani pada umumnya yang telah terjerat menjadi “konsumen setia” panganan pabrikan tersebut.
Jangankan merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli gengsi sosial dan gaya hidup, sekadar mengganjal perut pun sulit. Itulah makna pangan bagi kaum miskin. Bagi kaum miskin, pangan hanyalah sekedar urusan perut. Jangankan memikirkan gengsi sosial, keamanan dan kesehatan (gizi) pangan yang disantapnya pun sering diabaikan kaum miskin. Dalam hal ini kaum miskin selalu menjadi pihak yang sangat rentan terhadap dampak negatif kapitalisme dan komersialisasi pangan.
Kaum miskin adalah kaum yang memiliki akses dan kontrol yang sangat terbatas pada sumber daya yang penting baginya, termasuk pangan. Keterbatasan tersebut membuat pilihan mereka terhadap pangan yang memenuhi standar gizi dan keamanan yang baik juga sangat terbatas. Pangan yang relatif mampu didapatkan oleh kaum miskin adalah pangan yang murah. Pangan murah yang merupakan hasil dari pasar yang kapitalis sering tidak mengindahkan asas kesehatan dan keamanan (bahkan kemanusiaan). Dengan dalih menekan biaya produksi, agar terjangkau oleh masyarakat miskin, para kapitalis kecil menghalalkan penggunaan zat yang berbahaya bagi tubuh manusia dalam pembuatan dan pengolahan pangan.
Prasetyo (2004) memaparkan survai Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), terhadap berbagai panganan dan minuman yang dijual di ratusan SD dari Nangro Aceh Darusalam hingga Irian. Survai tersebut menunjukkan bahwa dari 550 jenis panganan dan minuman yang dijajakan, 60% tidak memenuhi standar mutu dan kemasan. Sejumlah 56% contoh jajanan tersebut dicemari bakteri beracun seperti Escheria Coli dan Salmonella sp, 50% mengandung zat pewarna Rhodamin B yang hanya diizinkan sebagai pewarna tekstil, dan 33% mengandung bahan pengawet berbahaya Boraks (Prasetyo, 2004). Dalam hal ini siapakah korbannya? Masyarakat miskin yang daya belinya rendah, yang tidak memiliki banyak pilihan, atau bahkan anak-anak kaum miskin, yang bukan hanya daya belinya rendah, namun juga awam terhadap pentingnya keamanan pangan. Lalu siapa yang diuntungkan? Para kapitalis industri pangan, baik yang berskala kecil ataupun besar, yang mendapatkan keuntungan besar dari strategi mereka menggunakan bahan-bahan berbahaya hanya demi memangkas biaya produksi dan mereguk keuntungan sebesar-besarnya.
Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang tidak tergantikan. Seorang antropolog terkenal yang bernama Melville J. Herskovits menyatakan pangan adalah the primary determinants of survival bagi manusia. Karena pangan tidak boleh menjadi suatu komoditi yang diperjualbelikan untuk menumpuk keuntungan setinggi-tingginya di atas penderitaan orang lain. Pangan bukanlah komoditas ekonomi semata, melainkan juga komoditas politik. Kuat dan lemahnya suatu negara turut dipengaruhi oleh ketersediaan dan meratanya distribusi pangan tersebut ke seluruh lapisan masyarakat. Runtuhnya Orde Lama dan Orde Baru, misalnya, dipicu oleh guncangnya kondisi ekonomi bangsa Indonesia
Daftar Rujukan
KhudoriLapar : Negeri Salah Urus!, Resist Book, Yogyakarta
Prasetyo, Eko 2004 Orang Miskin Dilarang Sakit, Yogyakarta, Resist Book
Redana, Bre, Ongkos Sosial gaya Hidup Mutahir, dalam Ibrahim, Idi Subandy (editor) , Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat komoditas Indonesia, Mizan, Bandung
Ritzer, George The McDonaldization of Society: An Investigation into Changing Character of Contemporary Social Life, Pine Forge Press, California, London, New Delhi
1 Staf Peneliti Divisi Agraria di Yayasan AKATIGA
2 Lihat Redana, (1997), Ritzer (1996), Schlosser (2004), dan Khudori (2005)
Friday, November 23, 2007
Pangan Bagi Si Miskin dan Si Kaya
Labels:
Edisi Pangan,
Opini
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment