Oleh Barid Hardiyanto*
"Ini bibit lokal mas, benihnya bisa ditanam lagi. Kalau yang satu ini buatan pabrik dan benihnya nggak bisa ditanam lagi", ujar salah seorang petani hutan yang menanam jagung menjelaskan kepada saya saat "jalan-jalan" mendukung pekerjaan Serikat Tani Hutan Banyumas-Pekalongan (Stan Balong) membangun jaringan petani hutan se Jawa. Apa yang diungkapkan seorang petani di atas, merupakan cerminan pengalaman yang juga dialami oleh banyak petani lainnya. Benih lokal yang beredar secara turun-temurun dipastikan bisa untuk benih pembibitan. Sebaliknya yang terjadi jika benih tersebut "buatan pabrik". Kenapa hal ini dapat terjadi?
Logika sederhana dari para pengusaha besar; tak ada lain dan tak bukan selain keuntungan. Untuk meraup keuntungan terbesar maka jalan terbaik adalah memunculkan ketergantungan konsumen. Dengan ketergantungan itulah, maka konsumen ’dipaksa’ untuk membeli barang yang dijual pengusaha tersebut. Hal ini akan tetap bertahan dan si pengusaha tentunya akan untung besar.
Ketergantungan hanyalah sekelumit dari dosa dari dusta industri pangan. Dalam buku "Dusta Industri Pangan - Penelusuran Jejak Monsanto" (Isabelle Delforge: 2003) dijelaskan berbagai macam dusta –baca : dosa-. Apa yang dilakukan oleh Mosanta dengan kata lain adalah meminggirkan petani. Dalam buku tersebut diceritakan, Pertama, kebohongan klaim. Klaim Monsanto dan juga perusahaan-perusahaan besar lain yang juga "disentuh" dalam buku tersebut mengatakan bahwa mereka bekerja untuk menyediakan pangan untuk dunia, untuk masa depan, untuk pemenuhan pangan, untuk panen yang berlimpah, untuk tanaman dan hasil yang lebih baik, dan lain-lain: "Saat ini, ada makanan dan minuman untuk semua orang. Produksi global cukup untuk diperoleh oleh setiap manusia hampir dua kilogram makanan setiap hari: 1 kilogram sereal, sayur dan bijian, lima ratus gram daging, susu dan telur, serta lima ratus gram buah dan sayur. Semua itu cukup untuk membuat semua penduduk dunia kenyang. Sepanjang sejarah, tak pernah komunitas manusia mendapatkan makanan sebanyak itu setiap orangnya selain pada awal abad 21 ini [hal.:194]". Ironisnya: "Saat ini, planet bumi memiliki 6 milyar penduduk. Di antaranya, hampir 800 juta mengalami kelaparan dan dua milyar menghadapi kekurangan pangan [hal.:194].". Penyebabnya: "Sekitar 1,22 milyar orang diperkirakan berpenghasilan kurang dari satu dolar setiap harinya. Penyebab terbesar kemiskinan mereka, justru diperkirakan akibat tergusur dari alat produksi pangan, seperti tanah, air, kredit, dan akses produksi –yang sekarang dikuasai oleh industri pangan, pen.[hal.: xxii]."
Kedua, pematenan hak. Bibit tanaman yang telah direkayasa secara genetika dipatenkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Hal ini melupakan begitu saja jasa dan hasil kerja bergenerasi-generasi petani selama berabad-abad untuk menyeleksi, mengembangkan, membudidayakan, dan menjaga varietas-varietas tanaman yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia -tanpa peduli pada urusan hak paten-. Akibat hak paten ini: "Di Kanada, perusahaan itu memberikan denda 115 dolar per acre, atau sekitar 194 Euro per hektar untuk kasus petani yang menggunakan benih tanpa membeli. Pada tahun 1996, Monsanto bahkan telah membayangkan untuk menginspeksi selama tiga tahun ladang-ladang dan gudang-gudang pertanian [hal.: 9]."
Ketiga, polusi dan racun genetika. Rekayasa genetik yang dilakukan oleh industri pangan akan berakibat pada timbulnya polusi dan racun genetik. "Karena angin, serbuk sari itu dengan mudah berpindah dalam jarak yang mengesankan. Organisasi Les Amis de la Terre menemukan serbuk sari colza transgenik di dalam sarang lebah yang berjarak 5 km dari ladangnya di mana colza itu berasal. Sekali di dalam, gen-gen pengembara itu dapat ditemukan di dalam spesies berbeda. Tanaman lobak liar menjadi resistan terhadap herbisida setelah berada di dekat colza yang resistan terhadap herbisida itu. Penemuan lain di Inggris juga telah memperkuat kekhawatiran melihat polusi genetika yang tak terkendali berlipat ganda [hal.:43]." Maka jangan heran jika Roundup Ready produksi Monsanto mengakibatkan: "gangguan kesehatan serius pada para pekerja yang menanganinya (iritasi pada kulit, rasa mual, serangan pada paru-paru), dan herbisida itu dalam jangka panjang akan meracuni makanan yang diproduksi. Pada bulan Maret 1999, peneliti-peneliti Swedia menyatakan bahwa herbisida itu meningkatkan risiko kanker dan merekomendasikan studi epidemiologik untuk masalah tersebut (hal.: 37]."
Sekali lagi, tulisan di atas hanyalah sebagian saja dari dusta-dosa yang dilakukan industri pangan. Dan seperti yang kita ketahui bersama yang akhirnya banyak mengalami keterpurukan adalah petani (Indonesia). Lantas?
Nampaknya ungkapan petani berikut ini bisa menjadi rujukan: "... Kami menolak teknologi, sebagaimana halnya dengan bio-teknologi, ketika ia bertujuan untuk memperbudak para petani dan mengisi kantung perusahaan-perusahaan multinasional! [hal.:181]."
* Direktur Eksekutif "Prakarsa" Learning Centre (PLC), Purwokerto
Thursday, March 6, 2008
Dusta Membawa Dosa Industri Pangan
Labels:
Edisi Pangan dan Kesehatan,
Liputan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Blog yang informatif & bermanfaat! Amat baik!
Terimakasih atas apresiasinya. Salam kenal dari kami.
Post a Comment