Thursday, February 22, 2007

Liberalisasi Pertanian:Lonceng Kematian Petani Indonesia

Oleh
MN.Latief
Bagaimana negara yang pernah berswasembada beras menjadi pengimpor beras terbesar di dunia? Inilah pengalaman yang pernah dialami oleh negara kita. Susah payah membangun swasembada beras, tiba-tiba runtuh oleh badai krisis akhir 90-an. Bahkan di tahun anggaran 1998/1999 Indonesia menjadi pemimpor beras terbesar di dunia, waktu itu Indonesia mengimpor beras sebanyak 4,8 juta ton. Sampai kini Indonesia menjadi pembeli beras terbanyak di dunia, 10 persen dari beras yang diperdagangkan di dunia masuk dalam pasar produk pertanian dalam negeri. Menurut Bonie Setiawan, dalam buku Globalisasi Pertanian, bila ketergantungan pada impor beras terus naik, maka Indonesia akan terus menjadi pemimpor beras terbanyak selamanya.

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Untuk menjawabnya kita harus mengurai lebih banyak pernak-pernik dunia pertanian tanah air. Khusunya kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian yang menjadi persoalan mendasar pertanian kita. Di negeri ini, kebijakan pertanian begitu kompleks, rumit dan sarat kepentingan pihak, dari petani, pejabat, perusahaan besar, sampai para pemburu rente. Mereka ribet dengan urusannya masing-masing, kongkalikong dan memburu keuntungan paling tinggi.

Karena ruwetnya kebijakan pertanian di negeri ini, kita hampir tiap tahun mengalami kenaikan harga beras, kelangkaan pupuk di pasaran, anjlognya harga gabah, dan persoalan lain yang merugikan masyarakat. Seperti diakhir 2006, harga beras melonjak lebih dari 30 persen. Khusus mengenai lonjakan harga beras tahun ini, Bustanul Arifin seorang guru besar pertanian dari Universitas Lampung mengatakan bahwa pemerintah menerapkan manajmen yang buruk dalam mengurusi beras. Menurutnya, persoalan mendasar dalam menajemen stok pemerintah adalah tidak adanya penanggungjawab atas pengadaan beras dan bagaimana pengadaan dilaksanakan. Setiap daerah, menurutnya harus mempunyai cadangan stok beras yang diadakan oleh pemerintah pusat dan daerah (Kompas 14 Desember 2006). Hampir senada, Faisal Basri, pengamat ekonomi menilai bahwa memahami kenaikan harga beras sesungguhnya tidak terlalu rumit. Kejadian ini sudah berulangkali dan seperti telah menjadi ritual tahunan. Namun penyelesaiannya tidak pernah kunjung tuntas, jurus yang itu-itu saja, yakni membuka kran impor beras. Akibatnya seribu satu masalah yang menjadi penyebab carut marutnya dunia perberasan tak kunjung ditangani dengan seksama (Kompas. 18 desember 2006).
Siapa yang dirugikan, tentu saja petani dan masyarakat pedesaan lain. Mereka adalah golongan paling lemah dalam konstelasi ekonomi pertanian nasional. Importir beras, pedagang besar, perusahaan-perusahaan multinasional yang menguasai benih, pupuk, obat-obatan, mesin pertanian, tanaman transgenik, penguasa tanah besar tentu bukan lawan yang seimbang bagi petani kita. Rata-rata petani kita hanya menguasai kurang dari 0,3 ha, selain jutaan petani lainnya yang tidak mempunyai tanah, bagaimana mungkin mereka melawan oranng-orang dan perusahaan yang mempunyai modal jutaan kali lipat.

Liberalisasi Pangan
Mulai tahun 1995 Indonesia masuk pada perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture) World Trade Organization. Perjanjian ini adalah perjanjian yang mengikat secara hukum dan harus ditaati oleh negara yang mengikutinya. Dengan mengikutinya, Indonesia berkewajiban untuk pertama, mengurangi dukungan domestic. Dukungan domestic ini biasanya diberikan pemerintah kepada petani dalam bentuk kredir lunak dan subsidi input bahan-bahan pertanian. Setelah perjanjian ini, sedikit-demi sedikit bantuan pemerintah tersebut akan dikurangi sampai akhirnya dihapus sama sekali. Kedua pengurangan subsidi ekspor. Dengan pengurangan ini, petani kita dibiarkan pemerintah untuk menghadapi pemain-pemain besar pemasar produk pertanian. Ketiga, perluasan akses pasar yang diartikan sebagai penghapusan seluruh hambatan impor dan dikonversi dalam bentuk tariff. Tariff ini nantinya akan dikurangi sebesar 36 persen bagi negara maju, sementara bagi negara berkembang, tariff impor akan dikurangi 24 persen dalam jangka waktu 10 tahun dan pengurangan minimum 10 persen.

Selain Agrement On Agriculture, adalagi beberapa perjanjian internasional yang merugikan petani kita. Misalnya TRIPs, suatu perjanjian yang mengatur tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual dalam bidang perdagangan. Perjanjian ini mewajibkan setiap negara untuk memberikan paten terhadap produk dan proses atas penemuan-penemuan di bidang biotekhnologi, termasuk lingkup pangan dan pertanian. Artinya Negara harus mengakui paten atas tanaman-tanaman dan bibit yang kebanyakan berada di negara dunia ke-tiga, dan sebaliknya tidak mengakui hak-hak komunitas setempat atas sumber daya mereka sendiri. Celakanya, perusahaan-perusahaan multi nasional sekarang telah menguasai 97 persen paten di dunia. Jika hal ini terus terjadi, bisa jadi petani kita yang ada di desa-desa harus membeli bibit Jagung pada perusahaan besar Mosanto di Amerika sana, atau membeli bibit padi pada perusahaan agrobisnis raksasa lain.

Isu lain yang berkaitan dengan liberalisasi pertanian di dunia adalah perjanjian SPS (Sanitasi dan Fitonisasi) yaitu perjanjian mengenai aturan karantina barang-barang impor pertanian untuk perlindungan terhadap kesehatan manusia, tanaman dan hewan, yang harus sesuai dengan standar-standar kesehatan yang bisa dibenarkan secara ilmiah. Dalam perjanjian ini, WTO menunjuk badan yang bernama Codex Alimentaius yang diurus oleh WHO dan FAO. SPS ini banyak dipakai oleh negara maju sebagai penghalang akses pasar produk pertanian dari negara-negara dunia ketiga. Standar ini sangat mahal untuk diterapkan di negara berkembang dan tidak sesuai dengan kebutuhan. Akibatnya banyak produk pertanian dari negara berkembang yang tidak bisa masuk ke negara maju karena standar yang tidak bisa dipenuhi oleh pertanian skala kecil dan tradisional.

Hampir serupa dengan perjanjian Sanitasi dan Fitonasi adalah TBT (Technical Barriesrs to Trade). Perjanjian ini mengatur standarisasi baik yang bersifat mandatory (wajib) maupun yang bersifat voluntary yang mencakup karakteristik produk; metode dan proses produk; terminology dan simbol; serta persyaratan kemasan (packaging) dan label (labeling) suatu produk. Ketentuan ini ditetapkan untuk memberikan jaminan bagi kualitas suatu produk ekspor, memberikan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan hidup. Pertanjian TBT ini mewajibkan para anggotanya untuk menggunakan standar internasional sebagai dasar penetapan standar, seperti ISO dan lainnya.

Petani Kecil Makin Terpinggirkan
Petani di Indonesia oleh program revolusi hijau terlanjur diarahkan pada bentuk pertanian yang berasupan tinggi (high external input). Dengan model pertanian seperti ini, tidak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan petani akan input luar seperti benih, pupuk, racun pada hama dan penyakit tanaman sangat tinggi. Apa jadinya jika pemerintah mengurangi subsidinya pada bahan-bahan ini? Petani akan menanggung kenaikan biaya produksi dan usaha tani akan memerlukan modal yang sangat besar walaupun pada skala kecil dan tradisional. Mana mungkin petani kita mampu menyediakan modal dalam jumlah yang besar sementara kredit-kredit usaha tani juga dipangkas pemerintah. Tentu saja produktifitasnya menurun, dan merugi.

Hal diatas baru kerugian petani kita dalam proses produksi, bagaimana dengan pemasaran hasil pertanian mereka? Ambil contoh harga beras, apakah harga beras yang mahal berarti juga peningkatan kesejahteraan petani? Ternyata tidak, jika sekarang kita merasakan harga beras yang mahal, ternyata kenaikan harga beras tidak dinikmati oleh petani. Mereka tetap saja membeli beras dengan harga mahal karena hasil pertanian mereka terlanjur dijual dengan harga murah. Harga jual gabah di tingkat petani belum mampu mengangkat taraf hidup petani, kenaikan harga jual gabah tidak semimbang dengan laju inflasi dan selalu tertinggal jauh dari kenaikan barang konsumsi selain pertanian. Perjanjian yang ditandatangani pemerintah dalam bidang pertanian juga membuka kran impor beras, akibatnya harga beras di pasar lokal hancur dan berakibat pada sistem pengadaan pangan lokal dari dalam negeri. Impor beras sebenarnya hanya ditujukan untuk mengendalikan harga beras dan menambah stok di daerah-daerah rawan pangan, namun kenyataannya daerah yang surplus seperti Lampung, Sumatra Utara, Jawa Tengah, Karawang, Indramayu juga kedatangan beras impor. Tentu saja, harga beras dan gabah di daerah tersebut hancur, dan petani mengalami kerugian.

Sesungguhnya, banyak pihak yang telah menyadari ketidakadilan dalam mekanisme perdagangan produk pertanian internasional ini. Dalam perdagangan ini, mereka hnya melihat dominasi negara-negara maju dan perusahaan agrobisnis raksasa. Misalnya Vatikan, pimpinan tertinggi umat Katolik dunia ini mengeluarkan pernyataan perlunya reformasi perdagangan dunia. Menurut Vatikan, peraturan-peraturan perdagangan seharusnya disesuaikan dengan komitmen yang lebih luas untuk mengembangkan umat manusia dan untuk mengangkat standar kehidupan masyarakat miskin. Khusus untuk kesepakatan perdagangan pertanian, Vatikan meminta agar menjadikannya tes moral dan ekonomis karena hasilnya nanti tidak hanya untuk kepentingan kehidupan banyak petani dan keluarga kecil, tetapi juga untuk keseluruhan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan di negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang seharusnya mampu mengekspor produk mereka ke negara-negara maju tanpa hambatan tarif atau hambatan apapun, dan negara berkembang juga tidak diharuskan untuk membuat komitmen yang tidak sesuai dengan status ekonomi dan pembangunan mereka.

Terakhir Paus Benediktus XVI mengemukakan keprihatinannya terhadap para petani kecil: ‘Tidak boleh dilupakan bahwa kerentanan kawasan pedesaan memiliki dampak yang sangat besar terhadap keberlangsungan hidup para petani kecil dan keluarga mereka’, katanya. Paus juga meminta adanya rasa ‘solidaritas’ dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO lalu dan adanya perlindungan khusus melalui mekanisme pengamanan bagi kaum miskin, keluarga-keluarga di daerah pedesaan, dan, khususnya, kaum perempuan pedesaan dan anak-anak. Paus juga menunjukkan ‘pentingnya untuk membantu komunitas-komunitas asli di pedalaman karena mereka juga sering menjadi subyek apropriasi untuk kepentingan keuntungan semata’.

Baca selengkapnya...

Monday, February 12, 2007

Sistem Ijon, Pola Lama dalam Perdagangan Pertanian yang Masih Berkembang

Oleh Akhmad Solehudin

Pak Kartawiraji (60 th) duduk di gubug kecil di tengah ladang, ubi goreng dan teh "tubruk" kiriman istrinya tinggal sisa-sisa, sementara pandanganya menyapu lembah. Sore itu, di ladangnya berkumpul banyak orang. Beberapa orang terlihat sedang memetik buah Duku, sementara anak-anak kecil berkerumun di bawah pohon memandang ke atas, mengikuti gerak orang yang berada di atas ranting. Mereka tengah asyik menungu jatuhnya buah duku yang dipetik pemanen di atas, jika ada buah jatuh, mereka ramai berebut.

“Mau minta sedikit, buat cucu” ujarnya. Ladang tersebut milik Pak Kartawiraji, juga pohon Duku diatasnya, tapi mengapa dia harus meminta duku? Ternyata, lima pohon Duku miliknya sudah dibeli juragan sejak masih berupa bunga, atau diijonkan. Maka dia dan keluarganya tak bisa puas menikmati hasil kebun sendiri, karena hasil panen sudah bukan menjadi haknya, karena itulah dia harus meminta kepada juragan yang nebas (membeli) Duku miliknya. Walaupun sudah dibeli, Pak Kartawiraji masih harus bertanggungjawab menjaga keutuhan dan memelihara tanaman sampai masa panen.

Menurut Faried Wijaya (1991), ijon, merupakan bentuk perkreditan informal yang berkembang di pedesaan. Transaksi ijon tidak seragam dan bervariasi, tetapi secara umum ijon adalah bentuk kredit uang yang dibayar kembali dengan hasil panenan. Ini merupakan “penggadaian” tanaman yang masih hijau, artinya belum siap waktunya untuk dipetik, dipanen atau dituai. Tingkat bunga kredit jika diperhitungkan pada waktu pengembalian akan sangat tinggi, antara 10 sampai dengan 40 persen. Umumnya pemberi kredit merangkap pedagang hasil panen yang menjadi pengembalian hutang.

Praktek ijon yang dilakukan pedagang/tengkulak hasil pertanian sudah mengakar dan menjadi tradisi perdagangan hasil pertanian di pedesaan. Studi yang dilakukan BABAD untuk menganalisa rantai pemasaran produk pertanian di Pasar Sokawera, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, menemukan bahwa praktek ijon pada komoditas buah dan rempah-rempah pertanian lahan kering melibatkan banyak aktor dalam mata rantai yang berperan sebagai distributor pinjaman sekaligus pengepul hasil pertanian dengan sistem multilevel. Tengkulak biasanya terbagi menjadi beberapa level yang mencerminkan tingkat kekuatan modalnya. Tengkulak kabupaten memiliki “bawahan” beberapa tengkulak kecamatan. Tengkulak kecamatan memiliki beberapa “bawahan” tengkulak desa, begitu seterusnya sampai level dusun. Modal yang dipinjamkan sampai dengan petani merupakan milik pemodal besar di tingkat kabupaten, sementara tengkulak kecamatan, desa dan dusun hanya mendistribusikan.

Siklus peredaran modal dimulai pada setiap awal musim produksi tiap komoditas, misalnya ketika pohon Petai mulai berbunga, maka saat itu pula modal pinjaman dari tengkulak besar digelontorkan. Jika dalam waktu berdekatan terdapat lebih dari satu jenis komoditas yang mulai berbunga, misalnya sedang musim Duku, musim Melinjo, dan musim Pala berbunga, maka volume modal pinjaman yang beredar juga berlipat ganda. Di Kecamatan Somagede saja terdapat setidaknya 5 tengkulak besar yang menyalurkan pinjaman dan menampung pembelian komoditas Gula Kelapa, Kelapa,Pala, Cengkih, Melinjo, Petai, Duku dan Jengkol.

"Nulung Menthung"; Menolong tapi Nyolong
Petani meminjam uang dan mengijonkan tanamannya untuk kebutuhan konsumtif dan jangka pendek. Budaya konsumerisme yang merebak sampai pelosok pedesaan juga menjadi faktor pendorong maraknya sistem ijon. Dalam beberapa kasus, petani meminjam karena ada kebutuhan mendesak, dan tengkulak yang meminjamkan uang anggap sebagai penolong. Di daerah pedesaan, hubungan petani dan tengkulak pengijon memang sangat pribadi dan patronase. Antara petani dan tengkulak merasa sebagai satu keluarga yang saling tolong menolong, dan saling menjaga kepercayaan. Hal ini yang jeli dimanfaatkan pemodal besar dari luar daerah sehingga eksploitasi yang dilakukan tersamar dengan hubungan kekeluargaan dan saling tolong menolong. Petani sendiri merasa dirugikan tetapi juga diuntungkan. Mereka merasa rugi karena seharusnya dia bisa mendapatkan hasil lebih jika tanamannya tidak diijonkan, namun mereka merasa untung juga dengan adanya pengijon, karena jika ada kebutuhan mendesak, mereka akan cepat mendapatkan uang.

Prosedur pinjaman dengan sistem ijon memang mudah, luwes dan informal, tidak terikat waktu dan tempat. Hal ini yang menjadi daya tarik petani untuk memperoleh pinjaman dengan cepat dan praktis. Di Desa Kemawi contohnya, meskipun telah dibentuk Badan Kredit Desa (BKD) atas kerjasama Pemerintah Desa dan BRI Unit Somagede, ternyata kurang dimanfaatkan, alasannya terlalu rumit dan prosedural, walaupun mereka mengetahui hitung-hitungan ekonomisnya akan lebih menguntungkan. Jadi maraknya ijon bukan sekedar derasnya modal yang ingin mengeksploitasi petani, namun juga karena persoalan budaya dan sesat pikir masyarakat.

Tengkulak sebagai kreditor dan pembeli hasil produk pertanian mendapatkan keuntungan berlipat. Keuntungan tersebut didapat dari bunga dari pinjaman yang diberikan, dan keuntungan dari selisih harga beli di petani dengan harga jual di pasar konsumen. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tengkulak leluasa membeli hasil panen petani dengan rendah karena posisi tawar yang sangat kuat di hadapan petani. Walaupun harga akan bergerak sesuai tarik ulur permintaan dan penawaran barang, selisih keuntungan akan lebih banyak dinikmati tengkulak atau pengepul. Sebaliknya, petani akan dirugikan karena terbebani hutang dengan bunga pinjaman tinggi, serta dirugikan untuk mendapat kesempatan memperoleh harga yang layak bagi hasil panennya.

Upaya yang dilakukan untuk membebaskan petani dari jeratan ijon bukannya tidak dilakukan oleh pemerintah. Di setiap desa telah dibentuk Badan Kredit Desa dan inisiasi untuk membentuk koperasi pertanian sudah sering dilakukan. Namun jerat dan jaring sistem ijon ternyata sulit dipupuskan. Untuk mengurangi penderitaan petani dari sistem ijon, harusnya petani sendiri yang bangkit kesadarannya dan mulai merupah perilakunya. Hidup berhemat, menabung, memanfatkan fasilitas kredit yang diberikan pemerintah atau lembaga keuangan mikro lain, dan membentuk wadah bersama petani lain untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi produksi dan konsumsi. Sistem ijon merupakan permasalahan ekonomi pertanian yang sudah usang disebutkan di buku-buku pelajaran sejak sekolah dasar, dan ternyata hingga era kemajuan teknologi dan informasi, sistem ijon seakan menjadi bangunan tua, kokoh yang tak runtuh-runtuh.

Begitu lebarkah kesenjangan kesadaran dan pengetahuan masyarakat desa, begitu kuatkah mitos kekeluargaan dalam hubungan ekonomi antara petani dan tengkulak. Dahulu, petani mengijon karena memang tidak ada alternatif dalam pemasaran produk dan mendapat pinjaman. Namun setelah konteks sosiologis yang berubah, kondisi dan struktur ekonomi yang berubah, mengapa ijon masih menjadi pilihan padahal banyak alternatif tersedia bagi petani untuk tidak mengijon. Pembangunan infrastruktur pedesaan yang memudahkan distribusi barang dan jasa, akses informasi dan akses pasar yang cukup tersedia ternyata tidak merubah pilihan petani untuk mengijon. Apakah tengkulak dan pemodal lokal juga berhasil berbenah diri merubah pendekatan memasarkan ijon di era sekarang, atau jeratan hutang petani kepada tengkulak tak pernah putus sejak nenek moyangnya? Jawaban-jawaban pertanyaan tersebut yang belum selesai kami kami kaji sampai saat ini. []

Baca selengkapnya...

Permasalahan Pemasaran Produk Pertanian di Banyumas: Studi Kasus Desa Kemawi, Kec. Somagede

Oleh Widya K.


Penduduk Desa Kemawi, desa yang berada di perbukitan Serayu Selatan ini sudah sepatutnya bersyukur atas rahmat dan karunia Sang Pencipta yang telah menumbuhkan berbagai jenis tanaman dari tanah-tanah pekarangan maupun kebunnya sebagai sumber kehidupannya. Desa ini berpenduduk 5.530 orang yang terbagi dalam 1.378 KK., sebagian besar menjalani profesi sebagai petani dan pengrajin gula kelapa, sehingga sektor pertanian niscaya menjadi tumpuan penghidupan utama bagi mereka. Kemawi, memang cukup beruntung, setelah sempat berjaya dengan komoditas cengkeh pada akhir 80-an, meskipun belum ada komoditas yang diakui masyarakat dapat menggantikan, namun beranekaragam jenis tanaman yang saat ini dibudidayakan telah dapat memberikan kontribusi pendapatan yang cukup layak bagi kelangsungan hidup keluarga petani.

Berdasarkan survey pemasaran produk pertanian yang dilakukan Babad, diketahui bahwa sedikitnya terdapat 21 produk pertanian yang biasa diperdagangkan di Kemawi dengan volume/jumlah produksi yang masih terbatas hingga yang melimpah ruah, sehingga saat pada musim panen tertentu (panen raya) seringkali dihargai murah oleh tengkulak[1] maupun pengepul.[2] Sebagian besar produk yang dihasilkan Kemawi berasal dari tanaman tahunan, karena kondisi ekofisiologisnya, dengan tanah podzolik merah kuning dan kondisi iklim dataran tinggi kering yang ada lebih mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman tersebut dibandingkan tanaman pangan dan sayuran yang banyak di budidayakan di wilayah lain di Kec. Somagede. Kondisi ini justru menguntungkan, karena beberapa komoditas seperti pala, cengkeh, kopi, melinjo, durian, duku dan jahe menjadi jenis komoditas unggulan yang jarang bahkan tidak ditemui di wilayah Kabupaten Banyumas lainnya.

Walaupun, tidak menghasilkan tanaman padi sebagai bahan makanan pokok, penduduk Kemawi tetap bisa membiayai kebutuhan pangan harian dari hasil penjualan gula kelapa. dan warung hidup yang dikelolanya di sekitar rumah (pekarangan). Rata-rata kepala keluarga (KK) dapat memproduksi gula kelapa sebanyak 3-4 kg per hari. Sementara itu, tanaman palawija (kacang tanah, ketela pohon); tanaman obat (jahe); tanaman rempah (pala, cengkeh, kopi, lada); tanaman hutan (melinjo, petai, jengkol) dan tanaman buah-buahan (duku, durian, kelapa) menjadi sumber pemasukan lain bagi kebutuhan yang lebih besar seperti biaya sekolah, biaya kesehatan dan pemeliharaan rumah. Adapun, tanaman kayu (albasia, jati, mahoni, sonokeling, akasia) baru dipanen saat petani membutuhkan biaya dalam jumlah besar, seperti investasi (membeli tanah, sawah), pernikahan, kesehatan, dan pembangunan rumah.

Roda perekonomian pada sektor pertanian berjalan dengan adanya jual-beli antara petani sebagai produsen dengan lembaga pemasaran (tengkulak, pengepul). Sebagian besar tengkulak merupakan penduduk Kemawi, sehingga sebagian besar dari mereka juga menjadi pemilik warung untuk menyediakan kebutuhan petani sehari-hari. Jadi ketika mereka membeli hasil petani, terutama gula kelapa, biasanya dibarter/ditukar dengan barang yang dibutuhkan oleh petani. Berdasarkan Kecamatan Somagede dalam Angka Tahun 2005, di Kemawi terdapat 43 warung yang tersebar di 16 dusun, maka di setiap dusun terdapat sekitar 2-3 warung. Menurut Pujo, salah satu pedagang di dusun Cerean, transaksi atau jual-beli yang lazim dipraktekannya adalah tebas atau ijon. Menurut penuturannya, tanaman yang sering dijual secara tebas oleh petani adalah cengkih, petai, jengkol, pala, melinjo, durian, dan duku jika hasil produksi tanamannya melimpah; dan kayu jika jumlahnya sedikit. Khusus, untuk komoditas cengkih, pala dan melinjo, ia melakukan nilai tambah dengan menguliti buah dan pengeringan, sehingga harga jual ke pengepul menjadi lebih tinggi. Pada musim panen raya, ia bisa mengepul 1 ton buah cengkeh basah dan sekitar 5 kuintal pala basah. Sementara itu, tanaman yang sering di-ijon-kan oleh petani adalah cengkih dan pala. Praktek ini dilakukan jika ada petani yang sedang benar-benar membutuhkan uang, sehingga semata-mata bukan untuk mencari keuntungan akan tetapi juga memberikan bantuan.

Menurut Junaedi, Ketua KSM Sekar Kuning, budaya tebas dan ijon, telah menjadi hal yang akrab bagi petani Kemawi, bahkan telah mendarah daging. Petani lebih menyenangi menjual secara tebas karena mereka tidak perlu melakukan pekerjaan tambahan (pemetikan hasil) ketika panen tetapi sudah langsung menerima uang cash, “nyingget pegawean Mbak, dadi bisa nyekel gawean liyane” ujarnya sambil tersenyum. Alasan lain yang sering diutarakan untuk lebih memperkuat pilihan cara penjualan tebas adalah mereka membutuhkan sejumlah uang yang harus dipenuhi dalam tempo waktu yang cepat.”Dadi nek wohe wis katon abang-abang utawa mateng , ya cepet-cepet bae ditawakna maring tengkulak Mbak, apa maning nek wis kudu mbayar utang, yang langsung bae cepet-cepet didol,” penjelasannya lebih lanjut. Beberapa petani, seiring dengan perbaikan infrastruktur jalan dan kemudahan untuk memperoleh akses kendaraan kredit pun memilih untuk menjual langsung hasil buminya ke Pengepul di Kecamatan. Dua sentra pengepul yang sering dikunjungi petani maupun tengkulak Kemawi adalah Sokawera dan Somagede. Infrastuktur jalan yang telah diperbaiki pada akhir 2003, diakui sangat berkontribusi dalam pemasaran produk mereka karena bisa lebih mendekatkan mereka ke pasar (jarak Desa Kemawi ke pasar terdekat sekitar 10 km) dan memudahkan mereka dalam memperoleh informasi pasar produk. Pak Junaedi mencontohkan, Saat panen petai kemarin ia bisa mengetahui harga jual petai di Sumpiuh lebih mahal dibandingkan Sokawera yaitu Rp 6.000,- per bendel, jadi terdapat selisih Rp 1.000,- per bendel dibandingkan harga yang ditawarkan oleh Pengepul di Sokawera Rp 5.000,-, walupun sebenarnya harga keduanya sangat murah. Hal ini memang salah satu kelemahan produk pertanian, karena produk pertanian yang cenbderung homogen dan diproduksi secara massal mudah diperoleh dari produsen (petani) mana saja, sehingga jika petani menaikkan harga, pembeli dapat mencari dari produsen laiinya. Walaupun melakukan penjualan sendiri ke pengepul, sebagian besar produk pertanian tetap dijual secara mentah karena mereka “sungkan” (tidak telaten) untuk melakukan pasca panen produk. Walaupun, harga beli yang diterima murah, dan sering dikeluhkan, praktek ini tetap dijalankan hingga sekarang.

Salah satu tengkulak (pengepul di tingkat desa) yang sudah memulai usahanya sekitar tahun 1985, Salud, menuturkan, sekitar awal tahun 2002, persaingan pemasaran di wilayah Kemawi cenderung lebih berat. Hal itu disebabkan banyak tengkulak baru yang mulai ikut bermain untuk turut mengais rezeki. Pria yang telah menekuni profesi pedagang selama 13 tahun ini menuturkan bahwa saat ini, dia mengkhususkan diri untuk menampung hasil gula kelapa dari petani di sekitar tempat tinggalnya (dusun Wanacala,Wanasari dan Wates) untuk dipasarkan ke luar kota, Yogyakarta dan dijual ke pengepul kecamatan, Pak Hodo, di Somagede. Sebelumnya, ia juga mengepul berbagai macam produk pertanian yang dihasilkan di Kemawi seperti petai, cengkeh, melinjo, jengkol, duku, kayu dan sebagainya, bahkan ia mendatangi lokasi-lokasi panen di wilayah Kemawi untuk mencari barang. Ketika itu, ia bisa mengepul hingga 0,9-1 ton melinjo per hari, atau cengkeh sekitar 1 kwintal basah per hari. Khusus, komoditas gula kelapa, per hari tidak kurang dari 4 kwintal dapat ditampungnya, bahkan pada saat tertentu ia bisa mengepul sebanyak 9 kuintal per hari. Namun, saat ini dapat mengepul gula kelapa sebanyak 2,5 kuintal saja sudah disyukuri. “Yah rejeki kan kudu dibagi-bagi ya Mbak, masak sing liyane mlarat bae, inyong dhewek-dhewek makmur kan kurang bener”, candanya. Untuk mempertahankan petani pemasok gula, mau tidak mau ia harus menyediakan uang untuk memenuhi kebutuhan petani terlebih dahulu. Nampaknya, ini pilihan satu-satunya untuk mempertahankan produsen gula, ujarnya sambil tertawa. Diakui, olehnya semenjak perbaikan infrastruktur jalan, mulai banyak penduduk Kemawi yang menjual langsung dagangannya ke pengepul di bawah (Sokawera dan omagede) dengan motor kreditan, mengurangi pendapatannya. Untuk tambal sulam, pendapatan yang hilang, karena petani kini tidak lagi menjual barang kepadanya, ia kini menjual jasa transportasi.

Ditanya tentang praktek ijon, pria beranak tiga ini, menuturkan, bahwa dirinya sudah jarang sekali melakukannya. Menurutnya, praktek ijon lebih banyak menguntungkan salah satu pihak, sehingga pihak lain banyak dirugikan. Ia melakukan ijon, jika kondisi petani yang meminta ijon memang benar-benar membutuhkan. Menurutnya, keuntungan ijon mirip riba, sedangkan riba diharamkan oleh agama, jadi ketika ia melakukan ijon. Beberapa petani mulai meninggalkan praktek ijon saat ini, tambahnya.

Nampaknya praktek-praktek jual-beli atau pemasaran produk pertanian yang ada di Kemawi, sudah sedemikian mapan sebagai pilihan cara terbaik petani menjual produknya kepada pembeli. Bahkan ketika petani sebenarnya merasa dirugikan dengan nilai tukar rendah dari tengkulak/pengepul, mereka tetap memilihnya, karena tidak ada alternatif cara lain yang lebih baik atau menjanjikan bahwa cara lain ini dapat memberikan nilai tukar yang lebih tinggi bagi produk mereka. Selain itu, akses dan informasi pasar yang lebih luas juga belum bisa diperoleh oleh petani, disamping sifat individual petani untuk melakukan jual-beli. Transaksi yang terjadi memang tidaklah sesederhana tentang petani menjual produk kepada orang lain, akan tetapi rentetan ketergantungan petani kepada tengkulak/pengepul juga merupakan salah satu jerat yang sulit untuk dilepaskan begitu saja oleh petani, seperti pinjaman atau kredit dari lembaga pemasaran yang bersifat mengikat sehingga memperlemah kedudukan petani dalam proses penentuan harga. Pola pikir yang ada dan gaya hidup yang dipilihnya ikut berkontribusi di dalamnya, sehingga pengelolaan aset-aset yang dimiliki habis untuk membiayai pola dan gaya hidup konsumtif.

Untuk permasalahan pemasaran di Kabupaten Banyumas secara luas, nampaknya Pemda melalui Dinas terkait belum bisa menjembatani kebutuhan ini. Pasar lelang Barlingmascakeb sepertinya belum bisa menyentuh persoalan mendasar petani, seperti penyediaan akses pasar dan bagaimana meningkatkan posisi tawar petani dalam pasar. Beberapa hal yang telah diperankan Dinas terkait untuk meningkatkan posisi tawar petani adalah program pelatihan pasca panen untuk memberikan nilai tambah pada bentuk. []

[1] Tengkulak adalah salah satu lembaga pemasaran yang secara langsung berhubungan dengan petani.
[2] Pengepul atau pedagang pengumpul adalah pembeli komoditi pertanian dari tengkulak

Baca selengkapnya...

Tuna Sathak Bathi Sanak?: Rantai Perdagangan Ternak Di Banyumas

Oleh Widoro

... jere wong tua, nang pasar langka kyai, langka pendeta. Makane tanah pasar kae tanah panas, jenenge be pasar ngone wong kesasar, anane wong ngolet bathi...mangkane nek arep tuku apa bae nang pasar kae kudu sabar, titi lan ati-ati

(Menurut orang tua,di pasar tidak ada kyai dan pendeta. Tanah pasar adalah tanah panas, hanya ada orang mencari untung, maka jika membeli barang di pasar harus sabar, teliti dan hati-hati)

Kurang lebih demikian peringatan Mad Darja, petani sekaligus peternak dari Dusun Cunil Desa Pegalongan Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas. Mad Darja sering bolak balik ke Pasar Hewan, dia didaulat untuk membantu pembelian ternak bagi beberapa petani penggaduh di kelompoknya. Saat ini kelompok taninya, Terus Jaya, sedang bermitra dengan BABAD, salah satu lembaga yang mengembangkan program kemitraan ternak dengan petani.

Tidak seperti pasar induk atau pasar lainnya yang ramai setiap hari, pasar hewan terutama kambing dan sapi, hanya ramai tiap hari pasaran, tiap pasar berbeda hari pasarannya. Jika tiba hari pasaran, tanpa komando dan undangan beragam profesi mulai dari pedagang, calo, penjual makanan, bahkan pengamen akan menyemut di pasar. Bukan hanya profesinya yang beragam, daerah asalnyapun berbeda, diantara mereka ada datang dari luar kabupaten, bahkan dari propinsi lain. Mashuri misalnya, seorang juragan Sapi asal Cirebon, dia sengaja jauh-jauh datang ke pasar Ajibarang untuk membeli Sapi yang konon lebih murah dibanding di tempat asalnya.

Selain pasar Ajibarang, di Banyumas pasar Hewan juga terdapat di Sokaraja, Sumpyuh, Banyumas dan Cilongok. Di Kabupaten Banjarnegara terdapat di Banjarnegara, Purwonegoro. Di Kabupaten Kebumen pasar hewan terdapat di Gombong dan Kebumen. Pasar Patikraja dan Pasar Manis Purwokerto juga menyediakan tempat untuk pasar hewan, namun kapasitas dan barang dagangannya lebih sedikit. Masing-masing pasar berbeda hari pasarannya, pasaran hewan biasanya didasarkan atas kalender Masehi dan kalender Jawa, misalnya reboan di pasar Ajibarang dan ponan di Cilongok.

Pelaku Pasar Hewan dan Mekanisme Pasar Hewan
Ada beberapa tipe penjual ternak di pasar hewan. Tipe pertama adalah penjual ternak dengan kapasitas besar, mereka adalah juragan atau pedagang besar yang biasanya datang dari berbagai daerah. Mereka berkeliling dari pasar ke pasar untuk menjual ternaknya, jika hari pasaran tiba, mereka pasti akan berada di pasar tersebut. Tipe kedua adalah jurangan dalam kapasitas yang lebih kecil. Tipe ketiga adalah petani yang ingin menjual ternak peliharaannya, mereka menjual ternak untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan volume penjualannya kecil.

Pembelipun beragam tipe. Tipe pertama adalah pemasok ternak bagi pedagang daging di kota besar lainnya. Mereka membeli ternak yang siap potong dalam kapasitas tertentu, selanjutnya dibawa ke kota besar seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang dan Yogjakarta. Selanjutnya dipotong dan dagingnya dipasarkan di kota tersebut. Tipe kedua, konsumennya adalah penjual daging yang datang dari sekitar karsidenan Banyumas, mereka adalah para pedagang daging yang biasanya menyembelih sendiri atau tukang Jagal. Pedagang daging atau tukang jagal ini berperan untuk memenuhi kebutuhan para penjual bakso, rumah makan, pedagang daging dan rumah tangga. Selain mencari ternak sapi siap potong, konsumen tersebut juga mencari bibit ternak yang bagus untuk digemukan. Tipe ketiga adalah konsumen pasar hewan, mereka adalah petani dan peternak yang mencari bibitan untuk pembesaran atau penggemukan. Mad Darja dan lembaga pendampingnya termasuk pembeli tipe ini, mereka membeli bibit ternak untuk digemukan kemudian dijual kembali. Tipe ke empat adalah konsumen yang hanya membeli ternak untuk kebutuhan sendiri, baik untuk syukuran ataupun disembelih untuk kepentingan lainnya. Dua konsumen terakhir, umumnya berganti-ganti dan relatif sedikit, tergantung kebutuhan mereka.

Tukang Pantheng
Selain penjual dan pembeli, di pasar hewan terdapat satu lagi pelaku perdagangan, mereka adalah "tukang pantheng", atau calo ternak. Para calo ini, bisa mendatangkan keuntungan, tapi juga bisa membuat rugi pedagang dan pembeli hewan ternak. Mereka menambah panjang rantai perdagangan ternak. Penambahan rantai menambah panjang rantai distribusi, artinya semakin banyak juga keuntungan yang harus dibagi. Namun, para calo ini juga bisa membantu konsumen mencari ternak yang dibutuhkan atau juragan ternak menjualkan ternak.
Pada mekanisme pasar yang sehat, konsumen seharusnya bertemu langsung dengan pedagang untuk bertransaksi. Namun, perdagangan ternak terutama di pasar hewan ada kelompok yang di sebut ‘wong pasar’. Dari kelompok inilah, calo atau tukang panteng berasal. Disebut tukang panteng karena peran mereka adalah menarik (manteng, bahasa Jawa) pembeli dan mendorong terjadinya transaksi.

Di semua pasar hewan di Banyumas, tukang panteng selalu ada. Bahkan ada semacam aturan tidak tertulis bahwa di luar kelompok ‘wong pasar’ tidak boleh menawarkan ternaknya langsung ke pembeli. Laku atau tidak daganganya, mereka harus menyetor Rp. 5000,- untuk Kambing dan Rp. 10.000 untuk tiap sapi. Setelah urusan “administrasi” ini selesai, baru tukang panteng ini memulai aksinya, membantu menawarkan dagangan.
Dalam menawarkan dagangannya, tukang panteng biasanya menaikan harga. Untuk ternak kambing dinaikan Rp. 25.000,- sampai dengan Rp. 50.000,-. Sedangkan ternak sapi antara Rp. 200.000,- sampai dengan Rp. 500.000,- atau sesuai taksiran mereka. Setiap transaksi harus lewat tukang panteng, jika terjadi kesepakatan harga antara penjual dan pembeli secara langsung, tukang panteng bisa membatalkannya.
Beberapa tukang panteng yang memiliki modal biasanya membeli ternak dari petani yang akan menjual ternaknya. Selanjutnya mereka yang menjual ternak ke pada konsumen. Tukang panteng bekerja sendiri-sendiri atau bekelompok. Bagi yang bekerja berkelompok, keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan jasa masing-masing atau kesepakatan.
Menjadi tukang panteng tentu bukan cita-cita mereka, pekerjaan itu tidak menawarkan penghasilan yang pasti, kadang mereka bisa pulang dengan segepok uang, namun tidak jarang pula mereka pulang dengan tangan hampa. Mereka bagian dari tradisi perdagangan kita, perdagangan yang melibatkan banyak pelaku dan masing-masing berusaha mendapatkan untung dari sana-sini. Karena itulah banyak tukang panteng yang menekuni pekerjaan tersebut puluhan tahun lamanya, berpindah-pindah pasar sesuai hari pasar ternak, dan menghidupi keluarganya dari hasil menjual jasa.
Pasar memang benar-benar “panas” seperti kata Mad Dirja tadi, jika datang ke pasar Hewan, telinga kita akan sering mendengar olok-olok, bahkan celaan antara pembeli dan pedagang. Memang, dalam menawarkan ternak dagangannya, calo dan penjual biasanya menggunakan banyak cara, dari mencari-cari cacat ternak yang lain, saling mengolok dan hasutan lain agar pembeli tertarik dengan ternaknya. Namun, semuanya tidak berlangsung lama, celaan dan olok-olokan itu segera berakhir damai ketika pembeli sudah menentukan ternak yang diinginkan dan harga disepakati. Inilah hebatnya, mereka bersitegang tanpa harus marah dan emosi. []

Baca selengkapnya...

Membangun Gerakan Ekonomi Kolektif dalam Pertanian Berkelanjutan; Perlawanan terhadap Liberalisasi dan Oligopoli Pasar Produk Pertanian

Oleh Akhmad Solehudin

Pertanian Berkelanjutan dan Revitalisasi Pertanian
Pertanian sebagai basis ekonomi kerakyatan terus mendapatkan ancaman dan permasalahan baik dari dalam maupun luar. Marginalisasi sektor pertanian rakyat dengan pertanian korporasi (corporate farming) dan globalisasi pasar bebas melalui Agreement on Agriculture (AoA) merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.Sementara, sampai saat ini kebijakan proteksi dan subsidi yang dapat melindungi petani dari serbuan produk-produk pertanian dari negara lain belum juga diwujudkan. Jika hal ini terus dibiarkan, kebangkrutan ekonomi pertanian rakyat dan hilangnya kedaulatan produksi pangan terpampang di depan mata. Pertanian rakyat juga masih menghadapi banyak persoalan. Sulitnya memenuhi faktor-faktor produksi, dari tanah hingga sarana produksi pertanian (benih, pupuk, dll.), dukungan infrastruktur pertanian, inefisiensi akibat tinginya biaya input, minimnya aplikasi teknologi, sampai rendahnya nilai tukar hasil produksi pertanian merupakan masalah yang kunjung hilang dari dunia petani dan pertanian kita.

Jauh sebelum pemerintah mendengungkan program revitalisasi pertanian yang konon akan menyelesaikan krisis pertanian di Indonesia, sebenarnya sudah banyak pihak yang mengkampanyekan Pertanian Berkelanjutan (selanjutnya disebut PB) sebagai alternatif. PB mengandung pengertian bahwa petani harus mempunyai kedaulatan produksi yang dapat menjamin keberlanjutan ekologi, ekonomi dan sosial budaya.

Pemberdayaan ekonomi pertanian dilakukan dengan memperhatikan aspek keberlanjutan dan kemandirian petani melalui peningkatan produktifitas dan efisiensi produksi pertanian. Hal ini dilakukan dengan pengembangan pertanian organis, tata kelola produksi yang mendukung ketahanan pangan, kelestarian lingkungan, peningkatan pendapatan dengan usaha ekonomi produktif dan manajemen pasca panen, serta peningkatan posisi tawar dan akses dalam pasar produksi pertanian rakyat.

Dalam perspektif ekonomi, PB melalui inovasi teknis produksinya sesungguhnya bisa menjawab persoalan ekonomi mikro pertanian. PB melakukan efisiensi produksi dengan menekan input luar, serta meningkatkan produktifitas dengan aplikasi teknologi tepat guna dan ramah lingkungan. PB juga berusaha menambah pendapatan rumah tangga petani dengan produksi pasca panen.

Namun, penyelesaian persoalan pada aspek ekonomi mikro dan teknis seperti diatas tidak cukup untuk memajukan kesejahteraan petani. Kita harus melihat lebih dalam pada persoalan ekonomi makro. Pada kacamata ekonomi makro, petani sebagai individu-individu produsen menjadi bagian dari struktur ekonomi pada suatu wilayah atau negara. Disinilah peran pemeritah menjadi sangat penting. Pemerintah bisa menjamin tata perkonomian yang dapat mensejahterakan petani dengan kebijakan makro yang memihak kepentingan petani produsen. Namun, seperti sudah dinyatakan di awal tulisan, hal tersebut masih jauh dari harapan.

Konsumen Adalah Raja: Salah Kaprah
Dalam struktur ekonomi kita, petani produsen dengan jumlah mayoritas memiliki posisi tawar yang rendah dibandingkan dengan aktor lain, yaitu pemodal, pedagang, distributor, dan penikmat rente lainnya. Tata niaga produk pertanian kita sangat tidak adil terhadap petani. Nilai tukar produk pertanian sangat rendah dan jauh dari kelayakan, sementara marjin harga produsen dan harga konsumen akhir yang besar banyak dinikmati oleh pelaku distribusi. Bila terjadi kenaikan biaya distribusi, misalnya kenaikan harga BBM, maka distributor akan menaikkan harga konsumen, tetapi menekan harga produsen, maka marjin keuntungan distributor relatif stabil.

Kondisi ini terjadi karena tidak efisiennya pola distribusi produk pertanian selain memang tidak ada aturan yang membatasi ekspansi dan eskploitasi modal terhadap petani. Sebab lain adalah paradigma tata niaga pertanian yang lebih memihak konsumen. Paradigma ini menempatkan rakyat tani sebagai produsen dan rakyat lain sebagai konsumen dalam posisi vis a vis. Penyesuaian harga di tingkat produsen, dengan resiko memperbesar harga konsumen menjadi tabu dalam kebijakan. Apabila ada kecendengunan kenaikan harga produk pertanian, alih-alih justru menjadi alasan untuk membuka keran impor yang akan semakin memperpuruk ketahanan produksi pertanian dalam negeri.

Kelemahan petani juga terdapat dalam pemasaran hasil pertanian. Persoalan ini terjadi karena dominasi tengkulak dalam menentukan harga jual produk pertanian di tingkat petani. Ketergantungan pemenuhan modal kerja untuk pembelian sarana produksi dari tengkulak atau pemodal menyebabkan praktek ijon dan penentuan harga jual yang tidak bisa dielak oleh petani. Harga pasar tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan mekanisme harga dalam pasar persaingan sempurna yaitu hubungan tingkat penawaran dan permintaan. Bahkan, jaringan tengkulak dan pemodal membentuk kartel distribusi yang menyebabkan tipe pasar produk pertanian menjadi oligopoli. Konsekuensinya kartel distribusi yang terbentuk dapat dengan mudah mempermainkan harga pasar dengan tetap menekan harga produsen. Padahal baru komoditas padi (gabah) yang mendapatkan intervensi pemerintah dalam perlindungan harga, itupun belum dapat menyelesaikan persoalan tata niaga gabah dan persoalan petani padi lainnya.

Kolektifikasi Ekonomi Petani
Apa yang bisa dilakukan petani produsen dalam kondisi mekanisme pasar yang tidak terkontrol seperti ini? Upaya yang wajib dilakukan adalah menuntut pemerintah untuk membuat kebijakan pro petani. Upaya tersebut harus diimbangi dengan upaya untuk menaikkan daya tawar petani produsen, karena inilah salah satu persoalan yang mendasar, yaitu lemahnya posisi petani dalam permainan pasar, dan lemah dalam relasi ekonomi dengan pelaku lainnya.
Upaya menaikkan daya tawar petani produsen dilakukan dengan konsolidasi petani produsen dalam satu wadah untuk menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut pertama dilakukan dengan kolektifikasi semua proses dalam rantai pertanian, meliputi kolektifikasi modal, kolektifikasi produksi, dan kolektifikasi pemasaran. Kolektifikasi modal adalah upaya membangun modal secara kolektif dan swadaya, misalnya dengan gerakan simpan-pinjam produktif yang mewajibkan anggota kolekte menyimpan tabungan dan meminjamnya sebagai modal produksi, bukan kebutuhan konsumsi. Hal ini dilakukan agar pemenuhan modal kerja pada awal masa tanam dapat dipenuhi sendiri, dan mengurangi ketergantungan kredit serta jeratan hutang tengkulak.

Kedua, kolektifikasi produksi, yaitu perencanaan produksi secara kolektif untuk menentukan pola, jenis, kuantitas dan siklus produksi secara kolektif. Hal ini perlu dilakukan agar dapat dicapai efisiensi produksi dengan skala produksi yang besar dari banyak produsen. Efisisensi dapat dicapai karena dengan skala yang lebih besar dan terkoordinasi maka akan dapat dilakukan penghematan biaya dalam pemenuhan faktor produksi, dan kemudahan dalam pengelolaan produksi, misalnya dalam penanganan hama dan penyakit. Langkah ini juga dapat menghindari kompetisi yang tidak sehat di antara produsen yang justru akan merugikan, misalnya dalam irigasi dan jadwal tanam.

Ketiga, kolektifikasi dalam pemasaran produk pertanian. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan skala kuantitas yang besar, dan menaikkan posisi tawar produsen dalam perdagangan produk pertanian. Kolektifikasi pemasaran dilakukan untuk mengkikis jaring-jaring tengkulak yang dalam menekan posisi tawar petani dalam penentuan harga secara individual. Upaya kolektifikasi tersebut tidak berarti menghapus peran dan posisi pedagang distributor dalam rantai pemasaran, namun tujuan utamanya adalah merubah pola relasi yang merugikan petani produsen dan membuat pola distribusi lebih efisien dengan pemangkasan rantai yang tidak menguntungkan.

Bukan perkara mudah untuk dilakukan. Perlu dukungan organisasi dan pengorganisasian tani. Upaya ini juga harus diikuti dengan merubah orientasi pengorganisasian tani yang cenderung politik dan mengkritisi kebijakan nasional dan global menuju gerakan yang ekonomi politik. Pemberdayaan pertanian melalui program-program developmentalis masih berkutat pada tata kelola, produksi, dan pemasaran pada level mikro harus diimbangi dengan program advokasi yang bisa mengintervensi pada rantai pemasaran dan usaha merubah struktur pasar.

Perubahan struktur pasar, tata niaga dan pola relasi dalam pemasaran produk pertanian yang memihak dan mensejahterakan petani harus ditekan dari dua sisi, kebijakan pertanian yang pro petani, dan konsolidasi kekuatan ekonomi petani produsen yang dibangun dari bawah.
Upaya ini dimulai dengan pembangunan kekuatan ekonomi pertanian dari bawah, dimulai dari kelompok-kelompok tani dengan melakukan kolektifikasi seluruh aktifitas ekonomi, agar petani produsen lebih berdaya dalam perang kepentingan dengan pelaku pasar lain. Dimulai dari hal kecil, menyadarkan dan menggerakkan anggota kelompok tani untuk bekerjasama, berko-operasi, dan menjadikan kelompok sebagai organisasi politik dan ekonomi adalah hal yang harus dilakukan.[]

Baca selengkapnya...

Bu Giyem, Emping Melinjo dan Kemandirian Petani

Oleh MN. Latief

Dusun Cerean, Kemawi, akhir 2006. Kami berniat mendatangi rumah Bu Giyem, pelopor pengrajin empling Melinjo di desa Kemawi, kecamatan Somagede, Banyumas. Tak sulit mencarinya, semua tukang ojeg di gerbang desa Kemawi, kenal baik sosok ini. “Oh…tahu mas, bu giyem Mbah Carik kan? Sing nggawe emping kae mbok?”, jawaban para tukang ojek saat kami tanya arah menuju rumah bu Giyem. Tanpa ragu, mereka segera menunjukan jalan.
Waktu bertandang, rumahnya sedang direnovasi, agak berantakan, potongan kayu bertebaran disana-sini. ”Eternitnya sudah pada rusak, sering buat kejar-kejaran kucing sama tikus” ujar Bu Giyem, sambil mempersilahkan kami masuk.

Nama lengkapnya Sugiyem, umurnya sudah lebih dari setengah abad. Dia diperistri oleh mantan Carik di Desa Kemawi, karena itulah dia sering juga ikut-ikutan dipanggil oleh tetangganya Mbah Carik. Biasanya, istri orang penting di desa mempunyai seabreg kegiatan, tapi bagi bu Giyem bukan itu alasan satu-satunya untuk aktif berkegiatan di desanya.
”Saya itu orangnya tidak bisa diam, harus ada sesuatu yang saya kerjakan” ujarnya. Maka dia terlihat sangat menikmati berbagai kesibukan, mulai dari menjadi ketua kelompok Sekar Mulya, Dasawisma, arisan, bahkan dia menjadi ketua PKK desa, jabatan yang biasa dipegang oleh istri kepala desa.

Aktifitasnya di kelompok Sekar Mulya inilah yang mengantarnya menjadi ”pengusaha” emping. Awalnya, mereka berkenalan dengan BABAD, sebuah NGO di Purwokerto yang bergerak dalam pemberdayaan dan usaha ekonomi rakyat. Dengan NGO ini, mereka belajar berkelompok dan berorganisasi dengan lebih rapi, menggunakan prinsip-prinsip manajemen usaha tani. Kelompok Sekar Mulya kemudian menentukan kegiatan utamanya, yaitu mengembangkan usaha pasca panen yang berbasis sumber daya lokal.

Awalnya kegiatan kelompok ini sama dengan kelompok-kelompok tani lain yang didampingi oleh yayasan BABAD, berusaha menguatkan aspek produksi pertanian. Mulai dari bertanam Jahe Gajah, pembibitan tanaman usia panjang, membuat pupuk organik, mengelola lahan kelompok dan menanaminya dengan sayur mayur. Namun apa daya, sekian usaha telah dilakukan, namun hasil maksimal dari pengelolaan lahan belum juga didapat. Belum lagi urusan domestik yang menyita banyak waktu ibu-ibu ini, maka pekerjaan mengelola lahan dan mengembangkan pertanian kelompok terabaikan. Karena itulah mereka beranjak mencari usaha lain. Terpikir oleh Bu Giyem untuk mengembangkan usaha pasca panen Emping Melinjo. Pilihan ini bukan tanpa alasan, salah satu anggota kelompok pernah sukses mengembangkan usaha ini, namun karena kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, usaha ini tidak diteruskan. Dari hasil analisis usaha pun terlihat bahwa pengolahan melinjo mempunyai prospek pasar yang cukup besar, bahkan berapapun jumlah emping yang dihasilkan pasar masih tetap bisa menyerapnya. Masyarakat Kemawi biasanya membutuhknan emping dalam jumlah besar untuk acara-acara hajatan, selain konsumsi harian mereka.

Rantai Pertanian
Usaha pasca panen, menurut logika Pertanian Berkelanjutan yang dikembangkan oleh yayasan pendamping mereka adalah salah satu bagian penting dalam rantai pertanian berkelanjutan selain rantai produksi dan distribusi. Pengolahan hasil pertanian secara mandiri diyakini mampu meningkatkan value added produk, selain menyiasati sifat-sifat rentan hasil pertanian, seperti mudah rusak, tidak tahan lama, tidak tahan gesek, dan rentan terhadap perubahan cuaca.
Kemawi mempunyai cadangan Melinjo cukup melimpah. Setiap musim panen, daerah ini bisa menghasilkan 21 ton. Jika musim sedang bagus, dalam setahun bisa tiga kali panen. Dengen perhitungan ini, Bu Giyem yakin usahanya tidak akan kekurangan bahan baku.
”Untuk membuat 30 kg emping tiap bulan melinjo dari kemawi sudah cukup, tidak perlu nyari di desa lain” ungkap bu Giyem. Bahan baku dibeli dari petani langsung, tiap kilogram melinjo yang sudah dikupas kulitnya dihargai Rp. 2.250-Rp.2500, biji melinjo belum dikupas dihargai Rp. 500,-. Emping yang mereka hasilkan tergolong emping yang berkualitas bagus, mereka mengistilahkan dengan kualitas super. Cara pembuatannya sederhana, hanya butuh ketekunan. ”Tidak ada rahasianya mas” ungkap bu Giyem.

Proses pembuatan emping dimulai dari memisahkan biji dari kulit Melinjo. Biji melinjo yang masih bercangkang kemudian digoreng dengan pasir, bukan dengan wajan biasa, tapi sangan sejenis wajan yang terbuat dari tanah liat. Setelah itu, cangkang dibuang dan biji melinjo yang berwarna putih dipipihkan dengan cara dipukul. Satu keping emping dibuat dari 3 buah biji Melinjo, karena itulah berat melinjo menyusut, tiap satu kuintal Melinjo hanya menghasilkan 30 kg emping. Dengan kapasitas produksi saat ini, mereka belum mampu memenuhi pasar luar desa. ”Buat mencukupi permintaan di sini saja kami sudah kewalahan” ujar Bu Giyem.

Kemandirian dan Pertanian Masa Depan
Usaha Bu Giyem dan kelompok Sekar Mulya belum lagi berkembang besar, namun ada semangat untuk mengembangkan perekonomian keluarga berbasis sumber daya lokal. Inilah awal kemandirian, memulai dengan apa yang dimiliki, mengembangkan dan mendapatkan hasil darinya. Bu Giyem dan kelompoknya telah memberikan teladan yang baik. ”Memulai sesuatu memang dari hal yang kecil, tidak bisa langsung besar dan membawa keuntungan, apalagi usaha seperti ini, kita harus benar-benar sabar dan ulet” papar Bu Giyem.

Total produksi 30 Kg perbulan belum cukup untuk di”ekspor”, kecuali satu permintaan khusus dari Bandung, itupun karena pesanan salah seorang tetangga yang sedang membuka warung kecil-kecilan disana. Oh ya..setiap kilogram emping melinjo kualitas kelas 1 dihargai Rp. 18.000, untuk kualitas kelas 2 dijual dengan harga Rp. 15.000,- Perbedaan kualitas disebabkan karena rasanya, kualitas kelas 1 biasanya berwarna putih, rasanya gurih, terasa melinjo-nya dan lebih mengembang waktu digoreng. Sedangkan kualitas nomor 2 Emping berwana agak kelam, rasa melinjonya agak samar dan tidak mengembang sempurna jika digoreng.
Bu Giyem dan kelompoknya sedang berusaha memotong rantai pertanian yang selama ini membelenggu petani. Mereka memangkas jalur distribusi produk pertanian dan mengolahnya menjadi barang siap konsumsi. Sedikit demi sedikit mereka menggeser peran tengkulak dalam rantai pemasaran produk pertanian, menggantikannya dengan kemandirian, kerja keras petani untuk menghasilkan keuntungan yang sebanding dengan kerja keras petani.[]

Baca selengkapnya...

Thursday, February 8, 2007

Kerja Keras Pak Jayus untuk Bumi Cunil

Oleh Widoro

Tanyakan kepada Pak Jayus (52 th) bagaimana cara mengubah bukit tandus yang hanya menjadi tempat penggembalaan ternak menjadi bukit hijau penuh berisi pepohonan. Dia akan menjawab dengan gamblang dan senang hati sambil berharap ada orang lain yang meneruskan usaha yang selama ini dia lakoni. Hari-hari Jayus Basri Pamujo -nama lengkapnya- diisi dengan mengembangkan wanatani di dusunnya Cunil, sebuah dusun di atas bukit seluas kurang lebih 60 ha di tengah hamparan sawah desa Pegalongan Kecamatan Patikraja Kabupaten Banyumas. Dulu, kata Jayus, bukit ini hanyalah tanah negara terlantar dan tandus, satu-satunya fungsi lahah adalah tanah angon, tanah untuk menggembala ternak.

Jayus muda tergerak hatinya untuk merubah keadaan dusun kelahirannya. Impiannya adalah mengubah dusun yang gersang, tandus, dan tidak produktif menjadi dusun yang hijau oleh pepohonan dan produktif untuk penghidupan. Maka, selepas SMP Jayus bergabung dengan kelompok tani Terus Jaya, dia memandang kelompok tani adalah sarana yang tepat untuk mewujudkan impiannya. "Saya tidak akan menikah sebelum penghijauan di perbukitan Cunil berhasil", nadzar-nya waktu itu. Tahun 1982 dengan bimbingan Haryo Seno seorang Petugas Penyuluh Lapangan, Jayus memimpin kelompok tani Terus Jaya melakukan penghijauan dan membuat terasering. Tanaman pertama adalah Kaliandra untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar dan penguat teras. Setahun berikutnya, Tim Evaluasi Penghijauan Propinsi Jawa Tengah menetapkan kelompok taninya sebagai juara I Lomba Penghijauan. Terus Jaya mewakili Jawa Tengah pada Pekan Penghijauan Nasional yang diselenggarakan di Mataram NTB, tahun 1984. Bagi Jayus, inilah kesempatan untuk menimba ilmu, dan bertukar pengalaman sesama petani. Demikian juga pada pada Pekan Penghijauan Nasional pada tahun berikutnya yang dilaksanakan di Kedung Ombo, Wonogiri, Jayus menghadirinya dengan semangat yang sama, menambah pengetahuan, menambah saudara dan bertukar pengalaman.

Rupanya, keberhasilan melakukan penghijauan memberi dampak positif. Keinginan masyarakat Cunil untuk memiliki lahan garapan disambut baik oleh pemerintah kabupaten Banyumas. Maka, pada tahun 1989 berdasarkan inisiatif masyarakat Cunil, Pemerintah Dati II Banyumas melakukan redistribusi tanah negara kepada masyarakat. Luasnya sesuai dengan garapan masing-masing petani. Karena itu, tanah di perbukitan Cunil juga dikenal sebagai tanah suwunan. Jayus mengenang peristiwa ini dalam nama anak keduanya, Suto Cundoko yang artinya Laki-laki Cunil yang panjang karunianya. Sebelumnya Jayus juga menandai keberangkatannya ke Mataram dengan memberi nama anak pertamanya, Rambat Sri Uni. Rambat dia artikan sebagai Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Kearifan Seorang Petani
Jayus selalu kritis terhadap kebijakan pemerintah. Bahkan setelah tahun 1988 Jayus di diangkat menjadi kepala dusun Cunil. Menurutnya banyak program pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi petani. "P3KUK, Pilot Proyek Percontohan Kredit Usaha Tani dan Konservasi malah menyebabkan petani terlilit hutang" ujarnya. Bagi Jayus, program untuk petani harus dirumuskan bersama petani, untuk menghasilkan program yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan kondisi riil petani. Berbicara kemandirian dan inisiatif petani, Jayus memberi contoh dengan jelas, sejak tahun 1995 Jayus memimpin Kelompk tani Terus Jaya melakukan "penghijauan seri II". Program ini adalah inisiatif murni petani. Mulai dari rencana tata guna lahan, pemilihan bibit, dan pemeliharaan, dilakukan secara mandiri eleh petani, bukan lagi mengandalkan bantuan dari pemerintah. Dimulai dari program ini, petani Cunil mempraktekan konsep wanatani, sebuah konsep yang diyakini sesuai dengan keadaan alam Cunil. Wanatani dianggap mampu menyeimbangkan fungsi ekonomis lahan dan kaidah-kaidah konservasi.

Hari-hari Perjuangan
Desember 2005, sawah di sekitar desa Kedungrandu, Pegalongan dan Sokawera sudah 2 tahun gagal panen. Penyebabnya irigasi tidak lancar dan serangan tikus. Jayus kembali lagi ke medan perjuangan, kali ini tujuannya adalah menuntut pemerintah untuk serius mengurus irigasi yang menjadi salah satu hak dasar petani. Bersama beberapa kelompok tani wilayah perbukitan Gunung Tugel, Jayus mempelopori pembentukan Paguyuban Tani Sri Maneges (PTSM),paguyuban yang menuntut kepada pemerintah Kabupaten Banyumas untuk memperbaiki saluran irigasi Banjaran I sampai IVB yang tertutup sampah TPA Gunung Tugel. Tuntutan kepada PEMKAB Banyumas ini dilakukan setelah keluhan dan keresahan petani yang disampaikan lewat pemerintah desa tidak ditanggapi serius.

Nasib baik sedang berpihak pada petani ini, begitu PEMKAB mendengar rencana aksi demonstrasi PTSM mereka langsung memanggil tokoh-tokoh organisasi termasuk Jayus. Mereka langsung berkomitmen melalui Dinas Pengairan dan Sumber Daya Mineral serta Dinas Lingkungan Hidup untuk membersihkan saluran irigasi dan membuat bornjong-bronjong penahan guguran sampah.

Begitulah Jayus menjalani kehidupannya sebagai petani, anggota organisasi tani, dan aparat pemerintah desa. Sampai saat ini jayus masih berharap suatu saat nanti dia dan kaum tani akan menepuk dada dengan bangga berprofesi sebagai petani. Petani tidak enggan untuk menjadi pelopor bagi petani lainnya untuk tetap menjaga kelestarian alam dan memunculkan pemuda-pemuda yang mau bekerja sebagai petani. "Menjadi petani bukan kerena terpaksa, tapi pertanian adalah harapan bagi kehidupan masa depan", tuturnya.

Baca selengkapnya...

Wanatani Bukan Barang Baru Bagi Petani Kita

Oleh Akhmad Solehudin

Bagi kalangan akademisi maupun agroforester, pengetahuan tentang wanatani mungkin didapat dari buku-buku dan materi yang diajarkan di bangku kuliah, terutama yang mendalami pertanian dan kehutanan. Bagi yang tertarik dengan wanatani dan gemar ber-internet, sumber bacaan tentang wanatani dapat didapat dari sekian banyak situs yang menyediakan informasi tentang wanatani, diantaranya yang paling populer adalah situs milik World Agroforestry Center, sebuah lembaga penelitian wanatani internasional yang berpusat di Nairobi, Kenya, Afrika Timur yang sebelumnya bernama ICRAF (International Center for Research in Agroforestry).
Akan tetapi terdapat fakta yang menakjubkan di negeri kita maupun di belahan dunia lain. Selama berpuluh-puluh tahun, petani-petani Indonesia telah menerapkan pola wanatani! Ada beberapa istilah untuk menyebut jenis dan pola wanatani, misalnya kebon talun di Jawa Barat atau mamar di Pulau Timor. Saking banyaknya, seorang peneliti barat hanya membedakan pola wanatani menjadi dua jenis, wanatani sederhana dan wanatani kompleks. Selain pola tanam, sistem pertanian tradisional juga memilah-milah lahan sesuai pemanfaatannya, ada yang boleh ditanami tanaman palawija, ada yang khusus ditanami kayu-kayuan. Praktek tersebut dapat dilihat pada sistem mamar yang membedakan lahan aibaun yang berarti terlarang. Di Jawa Barat ada daerah leuweng titipan, daerah hutan yang tidak boleh diganggu karena titipan dari karuhun (leluhur). Masyarakat Banyumas mengenal wanatani dengan istilah alas atau kebon untuk membedakan dengan lahan sawah (tanaman padi), dan alas tua untuk hutan alam yang harus dijaga. Bagaimana para petani tersebut mendapatkan pengetahuan pola tanam tersebut yang asli Indonesia dan dijamin ramah lingkungan? Jawaban singkatnya adalah secara turun-temurun dan berdasarkan pengalaman empiris saja selama bertahun-tahun. Pengaruh kuatnya nilai-nilai dan budaya yang menghargai alam dan keseimbangannya di masyarakat kita juga menjadi pengaruh bertani ramah lingkungan tersebut.


Cara Bertahan Masyarakat
Hal menarik yang terjadi di petani Jawa adalah bertahannya tradisi wanatani setelah Jawa digempur eksploitasi sumber daya alam dengan tanam paksa (cultuurstelsel) yang diberlakukan pada tahun 1830-1875 oleh Van Den Bosch, Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu. Seluruh tanah pertanian rakyat dirampas dan ditanami tebu, kina, kopi, teh dan tanaman lain yang diperlukan oleh pemerintah Hindia Belanda.


Setelah tanam paksa, tanah Jawa juga dieksploitasi oleh perkebunan swasta (onderneming) yang hanya menanami komoditas yang laku di pasar Eropa. Kedua jaman tersebut menyebabkan krisis pangan luar biasa di Jawa, semua lahan produktif di komersialisasi dengan komoditas ekspor, dan petani bertahan dengan menanam aneka tanaman pangan di lahan pinggiran, seperti tepi hutan, bukit tandus, dan lahan tidur. Tradisi wanatanilah yang menjadi tumpuan ketahanan pangan masyarakat Jawa selama masa kolonial.
Pengalaman bertahan hidup dengan mengelola lahan pinggiran juga memunculkan penemuan besar oleh petani Jawa. Tanaman Kaliandra (caliandra calothyrus) awalnya didatangkan Belanda pada tahun 1936 untuk penaung tanaman teh, tetapi ternyata tidak cocok. Karena sifatnya yang mudah ditanam pada berbagai jenis lahan, petani Jawa menanam kaliandra untuk kayu bakar dan pagar tanaman di lahan kurang subur. Ternyata akar kaliandra dapat menahan Nitrogen dan menyubukan lahan. Daunnya yang kaya protein cocok untuk makanan ternak. Pengalaman petani Jawa tersebut memicu pembudidayaan tanaman kaliandra di wilayah tropis secara mendunia untuk penghijauan, makanan ternak, pendukung ternak lebah, dan kayu pulp.

Secara lugas dapat dikatakan, wanatani adalah bentuk kearifan lokal masyarakat kita, dan pengalaman petani telah menjadi pengetahuan berharga yang justru kini dikumpulkan para ahli untuk dibukukan. Tradisi dan kepercayaan masyarakat untuk menanam jenis-jenis tanaman tertentu di lahan, budaya membuat Karang Kitri (tanaman sayur dan obat di pekarangan), menaman berbagai jenis tanaman di lahan dan beternak untuk mendukung pertanian sudah dilakukan secara turun temurun. Namun hal tersebut juga terancam punah akibat pergeseran budaya, semakin terkikisnya kearifan lokal dengan budaya instan petani dalam produksi, dan tekanan ekonomi. Desakan kebutuhan hidup membuat mereka menjual ternak dan tak mampu membeli kembali, tanaman kaliandra dan glisiridia kemudian banyak yang dibuang. Menjadi tanggungjawab kita untuk mengembangkan kembali wanatani dan menjadikan wanatani dapat mensejahterakan petaninya, sehingga wanatani dapat menjamin keberlanjutan ekologi, dan keberlanjutan kehidupan petani secara ekonomi dan sosial budaya.

Baca selengkapnya...

Berseminya Kembali Wanatani di Perbukitan Gunung Tugel

Oleh Oktani F.

Mengembangkan wanatani bukan saja monopoli masyarakat dengan kondisi tanah yang subur dan baik. Masyarakat di kawasan perbukitan gunung Tugel juga melakukan pengembangan wanatani di lahannya yang kering dan tandus. Pada beberapa titik di perbukitan ini memang terdapat wilayah yang gersang dengan sedikit jenis tanaman tahunan yang tumbuh di atasnya.
Vegetasi yang minim lambat laun mengurangi tingkat kesuburan tanah. Misalnya di lahan milik Pak Narsudi (58 th), tiap tahun hasil panen ketela pohonnya terus berkurang. Padahal, dia sudah menambah dosis pupuk urea, namun tidak banyak merubah kondisi tanaman. Umbi ketela pohon miliknya tetap saja kecil, daun tidak hijau, dan panennya tidak menggembirakan.
Pak Narsudi tidak membiarkan kondisi lahannya itu lama-lama, tiap pergi ke lahan, dia selalu membawa barang satu atau dua karung kotoran ternak. Untuk menyuburkan dan menjaga kegemburan tanah, katanya. Kebiasaan tersebut ada hasilnya, sepintas bisa dilihat perbedaan kondisi kesuburan tanah. Warna tanah pada lahan-lahan yang penggunaan kotoran ternaknya sedikit, biasanya lebih terang, merah dan pecah-pecah. Berbeda dengan lahan milik pak Narsudi, warnanya gelap dan lembab.

Mengupayakan Kesuburan tanah
Untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, tanaman memerlukan tanah yang menyediakan hara dalam jumlah cukup. Hara dalam tanah, dengan bantuan sinar matahari digunakan untuk proses pembentukan batang, daun, buah, dan biji serta akar oleh tanaman. " Nek kebonan, apamaning sing miring ora dirumati, selat suwe ilang kasile", ujar Kang Ratim (45th), salah anggota kelompok Sri Murni saat menjelaskan pentingnya menjaga kesuburan tanah. Kreatifitas petani seperti yang dilakukan oleh Pak Narsudi inilah yang mampu mengembalikan kesuburan tanah.

Selain mengambil pupuk dan usur hara dalam tanah, beberapa jenis tanaman juga ada yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Guguran daun di tanah akan diuraikan oleh hewan-hewan tanah sehingga bermanfaat untuk mengembalikan hara dalam tanah. Akar pepohonan yang tinggi juga dapat mengurangi terjadinya peresapan air jauh ke dalam tanah. Rambut-rambut halus akar mampu memegang butiran-butiran air.
Konsep ini telah dipahami dan mulai dipraktekan oleh petani pada empat kelompok di wilayah perbukitan Gunung Tugel. Mereka sedang belajar untuk memanfaatkan lahan kering dengan konsep wanatani. Terdapat 4 kelompok yang melakukan rangkaian kegiatan yang mengupayakan pemanfaatan lahan kering berbasis lingkungan tersebut, yaitu Seni Madep di Grumbul Depok-Kelurahan Teluk, Sri Murni 1 dan Sri Murni 2 di Grumbul Klentheng-Desa Kedungrandu, serta Terus Jaya di Grumbul Cunil-Desa Pegalongan.

Dengan kondisi wilayah yang berbeda-beda, masing-masing kelompok mengupayakan pengelolaan lahan kering dengan menjaga kelestariannya.
Mereka menggunakan pupuk organik untuk mengembalikan dan meningkatkan kesuburan tanah. Petani membuatnya dengan campuran kotoran ternak dan arang sekam yang disiram dengan bakteri pembusuk. Kotoran ternak mereka bawa sesuai kemampuan, satu atau dua karung tiap petani. Sekam diperoleh dengan mendatangkannya dari tempat penggilingan padi di desa sebelah. Pupuk organik tersebut kemudian disimpan dalam lumbung pupuk yang dibuat sebelumnya dengan gotong royong.

Tanaman dan Ternak
Pupuk organik tadi, digunakan untuk membuat demplot pembibitan tanaman usia panjang. Bibit yang dipilih adalah Albasia dan Jati. Bibit tersebut nantinya akan digunakan untuk menghijaukan lahan kering mereka yang gundul. Ditanam pada lahan mereka yang kering dan terbuka, tanpa ada tanaman penutup tanah. Dua jenis tanaman tersebut dipilih dengan pertimbangan memiliki kemampuan untuk menjaga kondisi tanah dari erosi, Albasia dapat mengembalikan kesuburan tanah, serta memiliki nilai jual yang baik dalam jangka waktu 5 10 tahun.

Untuk memberikan contoh nyata pada petani, dibuatlah kebun kelompok yang mempraktekan keseluruhan proses wanatani di lahan kering. Dalam kebun kelompok, mereka mencoba memadukan jenis tanaman semusim dan tanaman tahunan. Sebagai awalan, lahan kelompok ini ditanami kacang panjang, pertimbangannya adalah harga jualnya cukup bagus, mudah dipelihara, dan kemampuan akar-akarnya untuk mengikat unsur Nitrogen (N) yang biasanya diperoleh dengan memberikan pupuk urea. Ketersediaan unsur Nitrogen (N) dalam tanah akan baik bagi tanaman berikutnya.

Bagaimana dengan ternak? Ternak adalah salah satu elemen penting dalam pengembangan wanatani dan pertanian terpadu pada umumnya. Keterpaduan antara tanaman dan ternak terletak pada penambahan nilai guna pada limbah yang dihasilkan oleh salah satunya. Ternak membutuhkan pakan (dari daun-daunan) dan tanaman mendapatkan kotoran ternak sebagai pupuk. Untuk mendukung pengembangan ternak, demplot juga ditanami hijauan makanan ternak, berupa Siridia, Rumput Gajah, dan Setaria yang bibitnya diperoleh dari Balai Pusat Pengembangan Ternak Unggul Sapi Perah (BPTU Sapi Perah) Baturraden. Hijauan makanan ternak (HMT) juga mereka tanam di pekarangan masing-masing. Fungsinya, selain untuk pakan ternak juga sebagai tanaman benteng teras agar tidak terjadi longsor dan erosi tanah pada musim hujan. Tanaman penguat teras tersebut memiliki perakaran yang cukup kuat serta mampu tumbuh dalam lingkungan marginal yang ketersediaan airnya sedikit, sehingga saat kemarau datang, dia dapat tetap tumbuh.

Baca selengkapnya...

Desa Kemawi dan Wanatani; Catatan Praktek Pengelolaan Lahan Kering Masyarakat Desa di Banyumas

Oleh Widya K.

Di ujung timur Kabupaten Banyumas,wanatani ternyata telah lama dipraktekkan sebagai cara bertani sebagian besar masyarakat. Di Desa Kemawi Kecamatan Somagede Kab. Banyumas model pengelolaan wanatani yang telah menjadi tradisi dan turun temurun.
Wanatani (agroforestry) adalah salah satu model pertanian terpadu, bentuk pengembangan pertanian berkelanjutan di lahan kering. Idealnya pengembangan wanatani didukung budidaya ternak. Bentuk wanatani biasanya adalah penggunaan lahan yang menyatukan komponen tanaman berkayu dalam pertanian dan peternakan. Model ini sejak lama telah dikembangkan oleh petani di Kemawi dengan mengelola tanaman kayu yang ditumpangasarikan dengan tanaman pertanian dengan didukung budidaya ternak, atau istilah akademiknya agrosilvopastural.

Pertanian model seperti ini cocok diterapkan di Kemawi, karena secara geografis,adalah desa dengan kondisi topografi berbukit-bukit pada ketinggian 400 m dpl. Jenis tanahnya podsolik merah kuning, USDA (United State Departement of Agliculture) yaitu departemen pertanian pemerintah Amerika Serikat, mengkategorikan tanah sebagai tanah jenis ultisol. Jadi, berdasarkan sifat-sifat ultisol, tanah Kemawi digolongkan dalam tanah kelas IV yang bercirikan sangat dangkal dan berlereng terjal (22-35 persen). Kemawi hanya memperoleh curah hujan sekitar 200 mm per tahun, sehingga petani sering mengalami kekurangan air saat musim kemarau.

Pada tahun 2004, Kemawi berpenduduk 5.414 orang, terbagi dalam 1.300 KK. Jumlah rumah tangga petani adalah 756 , dengan jumlah anggota keluarga petani sebesar 1.230 orang. Seperti desa di Kabupaten Banyumas pada umumnya, di desa ini juga terdapat 780 orang pengrajin gula kelapa.Luas lahan di desa ini adalah 967, 740 ha, Hampir semua petani memiliki lahan, 40 persen diantaranya memiliki lahan di bawah 0,5 ha, dan hanya 10 persen yang memiliki lahan di atas 1 ha. Studi yang dilakukan BABAD pada tahun 2005, menunjukan bahwa lahan penduduk 4,7 persen-nya dimanfaatkan untuk perumahan; 21,9 persen untuk pekarangan; 0,8 persen untuk peternakan; 72,6 persen untuk kebun dan 0,1 persen untuk kolam ikan. Jadi, sebagian besar penggunaan lahan memang diperuntukkan untuk pertanian.
Ada dua bentuk wanatani yang dikembangkan di desa tersebut. Pertama wanatani kompleks, biasanya dikembangkan di tanah pekarangan atau kebun milik mereka. Kedua adalah wanatani sederhana yang dikembangkan di lahan kontrak (hutan negara).

Kenanekaragaman jenis tanaman yang dibudidayakan cukup tingi. Dalam satu satuan lahan, kita bisa menemukan 8-30 jenis tanaman usia panjang berupa kayu, buah-buahan, tanaman rempah, dan tanaman hutan. Belum lagi di sela tanaman usia panjang disisipkan tanaman pangan atau palawija, obat-obatan, dan sayur. Selain itu pada lahan dengan tingkat kemiringan tinggi, petani Kemawi juga menanam hijauan makanan ternak sebagai tanaman pagar.
Untuk mendukung penyediaan input produksi, terutama pupuk bagi tanaman, petani membudidayakan ternak kambing dan ayam. Jenis kambing yang banyak dibudidayakan oleh petani adalah jenis Jawa Randu dan Kacang, sedangkan jenis ayam yang dipelihara adalah ayam kampung, karena lebih mudah dalam pemeliharaannya.

Menguntungkan dan Lestari
Salah satu syarat wanatani adalah adanya interaksi ekologis dan ekonomis. Artinya kegiatan pertanian yang dilakukan memberi manfaat ekonomi dan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi alam. Dengan sistem wanatani ini, petani di Kemawi bisa memperoleh pendapatan jangka pendek, menengah dan panjang. Petani memperoleh hasil jangka pendek (harian) dari hasil deresan kelapa (nira) yang diolah menjadi gula. Rata-rata penderes di Kemawi dapat memperoleh 3 kg dari 10 pohon kelapa per hari, dengan harga jual Rp 2.800-Rp 3.100. Pendapatan juga diperoleh dari tanaman rempah, tanaman hutan, tanaman buah-buahan, tanaman obat dan tanaman pangan/palawija. Beberapa petani yang telaten juga memperoleh penghasilan dari budidaya tanaman sayuran dalam skala kecil. Sedangkan tanaman kayu dan ternak kambing merupakan sumber pendapatan jangka panjang atau tabungan yang dapat dipergunakan untuk kebutuhan mendadak.

Untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari petani memperoleh beras dari hasil penjualan gula, sedangkan sayuran dan bumbu masakan diperoleh dari lahan pekarangannya sendiri. Kayu bakar diperoleh dari ranting-ranting yang patah atau cabang-cabang tanaman hijauan seperti Kaliandra atau Glisiridia. Kebutuhan protein hewani dipenuhi dari ternak ayam kampung berupa daging dan telur. Untuk membiayai kebutuhan yang memerlukan biaya cukup besar seperti pembangunan rumah, pendidikan, kesehatan, dan hajatan, biasanya diperoleh dari pendapatan jangka menengah dan panjang. Keanekaragaman jenis tanaman budidaya di Kemawi memang memberikan variasi pendapatan yang dapat mencukupi kebutuhan perekonomian keluarga.

Disadari atau tidak pemilihan jenis tanaman oleh masyarakat telah memenuhi fungsi konservasi tanah dan air. Seperti penguatan lahan miring dengan penanaman Kaliandra, Glisiridia, Kamijara (sereh) dan Nanas. Penutupan tanah oleh tajuk tanaman yang rapat juga mengurangi penguapan air dari tanah, dan mengurangi aliran permukaan saat terjadi hujan lebat.
Guguran dedaunan dan ranting menutupi permukaan tanah, menjadi humus dan pupuk hijau sehingga menjadi tempat yang nyaman untuk kehidupan biota tanah, yang berperan menguraikan bahan organik menjadi makanan tanaman. Pemilihan albasia tanaman Leguminosae lainnya (Kacang tanah, Kaliandra) dapat menyediakan unsur Nitrogen (N) karena pengikatan bakteri Rhizobium yang menempel pada akar tanaman, sehingga bisa menjadi pengganti pupuk urea.

Hal-hal yang masih perlu diperbaiki
Selain beberapa hal positif diatas, praktek pengelolaan wanatani di Kemawi memang masih dilakukan secara sederhana dan memiliki banyak kelemahan. Secara umum kelemahan silvikultur yang dipraktekkan petani Kemawi adalah kecenderungan untuk membudidayakan berbagai jenis tanaman kayu yang ditumpangsarikan tanpa memperhitungkan penetrasi tanaman kayu, dan jarak tanam. Petani juga tidak menyeleksi asal dan mutu bibit tanaman yang ditanam. Pemeliharaan tanaman kayu juga dilakukan minimal, hanya saat awal penanaman bibit, proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman selanjutnya seringkali hanya dibiarkan.
Petani juga kurang menguasai pola penanaman di lahan miring, seperti penguasaan cara penanaman yang mengikuti garis kontur,dan sengkedan untuk menghindari erosi. Banyak petani yang masih memaksakan penanaman tanaman semusim di lahan miring, terutama pada lahan yang dekat dengan pemukiman.

Perbaikan yang dapat dilakukan
Hal pertama yang harus dilakukan adalah peningkatan pengetahuan dan ketrampilan petani dalam silvikultur dan teknologi budidaya tanaman di lahan miring. Prinsip utama dalam model pertanian ini adalah konservasi tanah dan air untuk mendukung pertanian berkelanjutan. Silvikultur merupakan metode untuk membangun, memelihara dan mengatur komunitas pohon dan vegetasi.

Cara yang umum dilakukan silvikultur untuk memperbaiki wanatani adalah meningkatkan produktivitas dan mutu dari kondisi yang sudah ada. Peningkatan ini bisa dilakukan dengan menentukan pilihan jenis-jenis tanaman utama untuk ditumpangsarikan dalam wanatani, peningkatan ketrampilan pembibitan tanaman, pemeliharaan tanaman secara utuh, dan perencanaan penanaman hingga pemanenan.

Petani juga harus mendapatkan tambahan referensi dan informasi berbagai jenis tanaman agar petani lebih memahami kombinasi tanaman dan menemukan formulasi relung dan komposisi tanaman yang tepat. Selain itu, penanaman harus memperhitungkan kondisi tanaman, termasuk ruang yang digunakan untuk jenis yang ditanam, kompetisi terhadap sinar, kelembaban dan hara tanaman. Struktur tanaman harus memperhitungkan juga perspektif horisontal dan vertikal- bentuk kanopi di atas tanah, dan perakaran tanaman.

Upaya tersebut harus dilakukan agar produktifitas usaha tani dapat ditingkatkan, dan kualitas lingkungan juga tetap terjaga.

Baca selengkapnya...

Pertanian Lestari; Alternatif Pembangunan Pertanian di Banyumas

Oleh Oktani F.

Usai perang dunia 1, Robert Malthus, seorang ahli ekonomi dunia mengemukakan teori tentang pertumbuhan pendudukan dan pertambahan pangan. Menurutnya, pertambahan penduduk seperti deret ukur dan pertambahan bahan makanan akan seperti deret hitung. Artinya, pertambahan jumlah penduduk berlipat-lipat, sedangkan jumlah bahan makanan bertambah sedikit demi sedikit sehingga dunia terancam kelaparan. Demi mendengar ramalan tersebut, negara-negara besar dunia melakukan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan. Penelitian-penelitian benih-benih unggul, pupuk-pupuk kimia serta pestisida-pestisida sintetis.

Indonesia yang sedang berjalan pada tahap awal pembangunan juga melakukan hal serupa, program intensifikasi pertanian dengan panca usaha tani dan Bimas (Bimbingan Masyarakat), Program Intensifikasi Pertanian dilakukan sebagai upaya untuk menggenjot produksi pangan nasional.

Namun peningkatan produksi pertanian tersebut tidak berlangsung lama. Tercatat mulai tahun 1990 produksi pangan Indonesia menurun, bahkan pada tahun 1997 Indonesia mulai menjadi salah satu negara penimpor beras besar di dunia. Penggunaan benih-benih unggul, pupuk kimiawi dan pestisida buatan dalam jangka panjang terbukti menurunkan produktivitas, karena lahan sudah tidak dapat menyediakan unsur hara untuk tanaman akibat racun dari bahan kimia. Sayangnya kondisi tersebut tidak disadari, petani terus menerus melakukan pemupukan bahkan dengan dosis yang lebih tinggi untuk produktivitas lahan.
Begitu juga Banyumas, kabupaten ini larut dalam gegap gembita revolusi hijau, program ini dianggap berhasil di Banyumas, bahkan hingga saat ini Banyumas tidak terdaftar sebagai salah satu kabupaten rawan pangan di Jawa Tengah.

Jangan berbesar hati dulu, ternyata kontribusi sektor pertanian pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari tahun-ketahun menurun. Dari kondisi ini bisa disimpulkan bahwa pproduktifitas pertanian di Banyumas sedang menuju kondisi kritis.
Sesungguhnya hal ini bisa diantisipasi, produktifitas lahan sawah memang sangat fluktutif,karena sangat rentan terhadap hama dan kondisi lingkungan.Berbeda dengan produktivitas lahan kering. Keanekaragaman jenis tanaman yang tinggi, membuat lahan kering lebih tahan terhadap serangan hama-penyakt tanaman. Potensi inilah yang perlu digenjot lagi, selain bahwa luasan lahannya yang mencapai 90 persen dari luas wilayah Banyumas.

Potensi yang Terabaikan
Lahan kering di Banyumas tersebar menjadi lahan-lahan pekarangan dan nderik. Petani pedesaan pada umumnya memanfaatkannya untuk tanaman buah, kayu, dan tanaman tahunan lain. Hasil dari kebun tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan tabungan apabila sewaktu-waktu membutuhkan dana segar dalam jumlah besar.

Sayangnya, keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian masih setengah hati. Sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB yang mencapai 24,73 % pada tahun 2003 terus menurun. Salah satu sebab utamanya adalah peralihan fungsi lahan dari pertanian menjadi perumahan, selain karena serangan hama-penyakit tanaman dan kerusakan saluran irigasi.

Petani memerlukan dukungan penuh dari pemerintah dengan kebijakanyang bisa mendorong kemajuan pertanian. Pemasaran, sarana produksi, subsidi pertanian, dan kebijakan impor produk pertanian perlu ditetapkan dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat tani.

Berbagai produk pertanian lahan kering seperti tanaman buah, tanaman kayu, dan tanaman hias dapat dikembangkan secara optimal. Kesuburan tanah Banyumas yang baik, menyediakan cukup hara bagi tanaman agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Dari ratusan jenis tanaman lahan kering, Banyumas baru mengembangkan 14 jenis tanaman, diantaranya adalah Casiavera, Cengkeh, Jambu mete, Kakao, Kapuk, Karet, Kelapa, Kenanga, Kopi, Lada, Pala, Panili, Pinang dan Teh. Produk-produk tersebut tersebar hampir di seluruh kecamatan.

Kabupaten ini juga salah satu penghasil gula kelapa terbesar di Indonesia. Setiap tahun 44.000 ton gula dihasilkan dari 4.677 hektar kebun kelapa dengan 34.317 uni pengolahan. Unit-unit pengolahan ini terdapat di dapur-dapur petani yang tersebar di 22 kecamatan dari 27 kecamata di seluruh Banyumas. Gula kelapa di Banyumas menopang hidup banyak orang, tercatat 32.570 orang penduduk berprofesi sebagai penderes, diluar angka itu ada 90.241 orang menggantungkan hidup dari pengolahan gula kelapa.

Profil ini sedikit banyak menunjukan bahwa pertanian lahan kering Banyumas adalah potensi pertanian yang sangat besar.
Salah satu konsep pertanian di lahan kering adalah wanatani. Wanatani merupakan perpaduan antara tanaman hutan (tahunan) dengan tanaman semusim. Dari tanaman tahunan, petani dapat mendapatan hasil jangka panjang yang jumlahnya cukup banyak. Tanaman kayu itu juga berfungsi sebagai tabungan bagi petani yang dapat digunakan ketika kebutuhan keuangan dalam jumlah cukup besar datang. Sedangkan kebutuhan harian, dapat dipenuhi dari hasil tanaman semusim.

Di Banyumas, wanatani tidak hanya dilakukan di hutan .Lahan-lahan kering, baik yang terletak di sekitar rumah ataupun jauh dari rumah di dataran rendah pun banyak yang telah diusahakan dengan menerapkan sistem tersebut. Dengan menggunakan prinsip-prinsip wanatani, lahan kering diubah menjadi hutan mini dengan tanaman tegakan sebagai tanaman utama dan tanaman semusim sebagai tanaman tambahan atau sebaliknya.

Pertanian Lestari dan Kedaulatan Petani
Petani bukanlah semata-mata penghasil bahan makanan untuk masyarakat dengan target produksi tertentu agar kebutuhan masyarakat akan pangan tercukupi. Petani merupakan bagian dari masyarakat yang berprofesi sebagai penghasil bahan kebutuhan pangan masyarakat. Dengan pandangan ini, maka otoritas penuh kepada petani untuk mengelola lahan berdasarkan pada analisa lingkungannya. Sehingga petani dapat mengambil keputusan-keputusan berdasarkan pada kebutuhan dirinya dan keluarganya serta berkontribusi kepada masyarakat. Keadilan yang dibangun melalui pelibatan langsung petani, pengetahuan yang cukup mengenai lingkungan serta optimalisasi usaha tani menjadi landasan awal membangun kedaulatan petani.

Petani yang berdaulat adalah petani yang memiliki kekuatan untuk menentukan nasibnya sendiri, tanpa ada kekuatan lain yang mendominasinya. Dengan kata lain, petani yang berdaulat adalah petani yang dapat menentukan sendiri arah dan langkahnya dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Keputusan-keputusan yang digunakan dalam setiap kegiatan pertanian, akan diambil dengan pertimbangan keberlanjutan lingkungannya, bukan semata-mata menggunakan pertimbangan ekonomis. Mereka akan lebih bijak dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan usaha taninya. Bagaimana menghasilkan bahan pangan tanpa merusak lingkungan, apa saja yang akan memelihara dan melestarikan lingkungannya, merupakan salah satu bahan pertimbangan yang dipikirkan sebelum berusaha tani. Kearifan alamiah ini sesungguhnya menjadi dasar bagi upaya membangun pertanian yang lestari.

Konsep pertanian ini memandang bahwa mahluk hidup dalam ekosistem memiliki hubungan timbal balik. Tidak hanya dengan sesama makhluk hidup, benda-benda mati dalam ekosistem memiliki hubungan dengan makhluk hidup yang ada. Unsur-unsur hara yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat berasal dari daur unsur hara dalam ekosistem. Daun-daunan yang jatuh ke tanah, dengan bantuan mikroorganisme akan terurai menjadi bahan organik tanah yang mampu meningkatkan ketersediaan unsur hara dalam tanah. Dalam proses tersebut, terdapat aliran energi dan material. Tanaman sebagai penghasil bahan makanan (dikenal sebagai produsen), akan dimakan oleh hewan pemakan tumbuhan seperti misalnya kambing, sapi, ayam, dan lain-lain. Ketika hewan dan tanaman-tanaman itu mati, maka jasadnya akan diuraikan oleh mikroorganisme-mikroorganisme kecil dalam tanah menjadi unsur-unsur yang kembali digunakan oleh tanaman untuk tumbuh dan berkembang, demikian seterusnya siklus itu terjadi.

Praktek dalam bidang pertanian dengan sistem ini mensyaratkan keanekaragaman tanaman dan penghuni lingkungan lain. Sistem bertanam monokultur yang hanya mengandalkan satu jenis tanaman tidak termasuk ke dalam pertanian lestari. Cara-cara bertanam yang banyak diketahui masyarakat, yang sesuai dengan prinsip pertanian lestari adalah sistem tumpangsari dan tumpanggilir. Dalam cara bertani tersebut, petani juga menanam tanaman-tanaman lain, selain tanaman utama, sebagai tanaman pendukung. Pemanfaatan limbah ternak untuk tanaman dan sebaliknya akan meningkatkan optimalisasi usaha tani sehingga penggunaan masukan dari luar dapat dikurangi seminimal mungkin. Hal tersebut tentu baik untuk mengurangi biaya produksi usaha tani yang meningkat terus menerus tanpa diiringi peningkatan harga produk pertanian yang sebanding.

Baca selengkapnya...

Wanatani; "Alas Sing Tandurane Werna-werna tur Ngasilna Pangan"

Wanatani berasal dari kata dalam bahasa Jawa "Wana" yang berarti hutan dan "Tani" yang berarti pertanian. Sederhananya wanatani adalah pertanian yang komposisi tanamannya mirip dengan hutan. Namun tidak berarti wanatani se-lebat hutan, namun menggabungkan bermacam-macam manfaat tanaman yang ada di lahan. Misalnya, lahan kebun ditanami tanaman pangan semusim seperti Ketela pohon, Ketela rambat, Jagung, Kacang, tetapi juga ditanami tanaman kayu yang bermanfaat sebagai pencegah erosi dan menyuburkan tanah.

Bila ada pertanyaan mengapa Wanatani masih perlu untuk dibicarakan, jawabannya adalah karena banyak petani yang mengolah lahan perbukitan sudah meninggalkan cara bertani tradisional ini. Hal ini disebabkan berbagai faktor, antara lain kesadaran dan pemahaman yang kurang tentang fungsi keberagaman tanaman di lahan sehingga petani cenderung mengolah lahan dengan hanya menanam tanaman semusim. Penyebab lain adalah karena sebagian petani lahan kering mengelola lahan tidur yang masih dalam sengketa kepemilikan. Misalnya petani Depok Teluk dan Darmakradenan, maka petani hanya menanam tanaman semusim yang cepat panen. Tidak ada tanaman yang berguna bagi lahan. Hal ini juga menyebabkan petani cenderung mengelola dengan asal-asalan dan membahayakan lingkungan.

Faktanya, banyak petani di wilayah Banyumas adalah petani lahan kering, dan banyak petani lahan kering mengelola di bukan tanah miliknya atau masih menjadi sengketa, sehingga apabila pertanian lahan kering yang berkembang tidak dapat dikelola dengan baik dan berkelanjutan, maka ancaman terhadap kehidupan petani lahan kering dan lingkungan hidup di wilayah Banyumas tampak sangat nyata.

Dalam penerapan pembaharuan agraria oleh rakyat (agrarian reform by leverage), kegiatan reclaiming lahan juga harus didukung pengelolaan lahan yang baik dan menjaga kelestarian alam, sehingga pengelolaan lahan oleh rakyat dapat menunjukkan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat maupun lingkungannya. Petani tidak akan di-cap sebagai "perusak lingkungan" atau sekedar "penjarah" hutan dan perkebunan. Pada posisi ini, wanatani merupakan alternatif strategi penguasaan, pengelolaan, dan mempertahankan lahan yang dapat berkelanjutan secara ekonomi maupun ekologi.
Mengingat pentingnya mengembalikan pola tanam ramah lingkungan di lahan kering/perbukitan, maka pengembangan dan perbaikan wanatani di wilayah Banyumas merupakan kebutuhan mendesak.

Baca selengkapnya...

Mas Ratno, Guru yang Belajar pada Petani

Oleh M.N. Latief

Hampir pukul 3 sore ketika seorang pria datang tergopoh-gopoh ke sekretariat Paguyuban Tani Sri Rejeki (PTSR). “ Maaf agak terlambat, murid-murid saya sebentar lagi ujian, saya harus nge-les dulu” ujarnya usai memarkir motor Cina yang setia menjadi tunggangan sehari-hari. Hari ini pengurus Paguyuban Tani Sri Rejeki, Desa Bantarsari Cilacap, mengadakan rapat rutin bulanan untuk membahas perkembangan organisasi, dan Suratno Akhmad, nama pria yang baru datang, harus memimpin rapat.
Mas Ratno, begitu dia sering disapa, adalah sekretaris PTSR, organisasi tani yang sedang menghadapi konflik agraria. Sampai saat ini Mas Ratno sudah dua kali terpilih menjadi sekretaris organisasi,sejak organisasi berdiri pada tahun 2000. “Kami mempunyai sejarah yang panjang dengan tanah ini, sebelum seperti ini (persawahan-red) tanah ini adalah rawa-rawa yang tidak produktif, kamilah yang mengubahnya menjadi lahan subur dan produktif” ujarnya menjelaskan alasan petani mempertahankan garapan.

Mas Ratno cukup beruntung, jika umumnya petani tidak mengenyam pendidikan tinggi, lain halnya dengan Mas Ratno, dia berhasil menyelesaikan studi di Fakultas Ushuludin, IAIN Gunung Jati Bandung dan memperoleh gelar Sarjana Agama. Dengan bekalnya menimba ilmu, dia juga menekuni profesi sebagai seorang guru di yayasan pendidikan Muhamadiyah.
“Sebagai manusia, kita mempunyai kewajiban untuk menolong manusia lain keluar dari kesulitannya” kata Ratno. Aktifitasnya dalam organisasi dimaknai sebagai implementasi konsep tersebut. Dia ingin ingin ilmu yang dimilikinya bisa membantu menyelesaikan sengketa agraria antara PTSR dan Pemerintah Kabupaten Cilacap di tanah eks perkebunan NV. Rubber Culturr Maatschappy Kubangkangkung seluas 84,59 ha. Melalui organisasi tani inilah Mas Ratno ingin berguna bagi petani penggarap di desanya, karena bagi Mas Ratno, sebaik-baik manusia adalah manusia yang berguna bagi sesama.

Saling Belajar
Berinteraksi dengan petani bagi Mas Ratno sama dengan proses belajar yang tiada henti. Petani adalah sumber inspirasi yang selalu mengalir.” Mereka mengajari saya tentang hidup yang sesungguhnya, bagaimana menyelesaikan masalah dan mensyukuri nikmat” ujarnya. Karena itulah pada setiap pelajaran yang diberikannya di sekolah, dia selalu menekankan kebanggaan menjadi anak petani dan profesi petani. Diceritakan kepada murid-muridnya bahwa petani adalah manusia orang yang dinamis, mau bekerja dan belajar keras. Karena itulah petani bukan pekerjaan rendahan, tidak kalah bergengsi dengan pekerjaan lain di kota besar. Agamanya mengajarkan bahwa sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan yang menghidupi orang banyak, membawa manfaat bagi kehidupan. Menjadi petani menurutnya adalah perkerjaan yang membawa manfaat bagi sesama. Lahir dengan nama Akhmad Suratno, anak petani di Bantarsari pada tanggal 12 September 1972. Sebagai anak petani dia menyadari betul bahwa tanah adalah ruh petani, kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Masa SD dilewatkan di Bantarsari, SMP dan SMA-nya dijalani di Gandrungmangu, kota kecamatan di sebelah desanya.

Dinamika di organisasi tani membuatnya sadar bahwa banyaknya petani yang tidak mempunyai lahan garapan bukan hanya persoalan tidak mempunyai cukup modal untuk membeli tanah. Tapi ada persoalan struktural yaitu pemerintah tidak pernah serius melaksanakan reforma agraria yang menjamin tersedianya tanah garapan untuk petani. Seperti aktifis organisasi tani lain, Mas Ratno juga berjuang agar pemerintah secepatnya merealisasikan program revitalisasi pertanian yang mencakup pelaksanaan reforma agraria seperti diamanatkan UUPA.
Saat ini Mas Ratno dikaruniai dua orang putri. Jihan Arkani Fauziah dan Mutiara Tsani dari seorang istri Siti Nurkhasanah. Dengan keluarganyanya inilah dia harus berkompromomi dan memberi penjelasan bahwa aktifitas organisasi memang menyita waktu. Beruntung dia mempunyai istri yang memahami aktifitas organisas, maka tak menjadi masalah jika dia sering ditinggal malam-malam untuk menghadiri rapat dan koordinasi organisasi.[]

Baca selengkapnya...

Bertindak Arogan, Aparat Digugat ; Catatan Hukum Operasi Hutan Lestari III di Banyumas

Oleh Mahendra Bungalan (Tim Advokasi Kasus Kalipagu, Baturaden, Banyumas)

Senin, 13 Feburuari 2006, sekitar pukul 09.30 WIB, aparat gabungan yang terdiri dari Polres Banyumas dan Perhutani yang berjumlah kurang lebih 60 personil melaksanakan Operasi Hutan Lestari III di Dusun Kalipagu Desa Ketenger Baturraden Banyumas dengan mengendarai lima buah mobil pick up dan satu truk bewarna merah. Aparat menggeledah rumah warga dan menyita harta benda pada saat sebagian besar masyarakat pergi ke ladang /sawah tanpa menunjukkan selembar surat izin pun dan ini bertentangan dengan Pasal 33 KUHAP tentang Penggeledahan yang menyebutkan : 1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan.(2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah.(3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya.(4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.(5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau -menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan, dan Pasal 38 KUHAP tentang Penyitaan yang meyebutkan : 1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. (2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya

Kesaksian warga mengungkapkan bahwa aparat tidak berlaku sopan dan cenderung arogan dalam pelakanaan Operasi Hutan Lestari III di Dusun Kalipagu, antara lain dengan masuk rumah dengan mendobrak pintu pada saat pemilik rumah sedang di sawah atau ladang, aparat masuk lewat pintu belakang dan masuk tanpa ijin pemilik rumah. Bahkan kerusakan tidak hanya terjadi di rumah-rumah warga tetapi juga Pos Ronda milik warga pun dirusak, pintu Pos yang baru dibuat warga secara swadaya roboh ditendang aparat. Lebih ironis lagi, kesaksian seorang ibu muda yang saat kejadian hanya berdua dengan anaknya yang masih kecil, rumahnya dikelilingi sekitar 25 aparat gabungan sambil menodongkan senjata.
Dua orang warga ditangkap, Slamet Sumarto dan Darsito, dengan tuduhan menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan didalam hutan tanpa memiliki hak atau ijin dari pejabat yang berwenang (UU No. 41 Tahun 1999 pasal 50 ayat (3) huruf e tentang Kehutanan). Kondisi Slamet Sumarto saat itu dalam keadaan sakit, kaki kirinya luka parah akibat jatuh di sungai beberapa hari sebelum terjadinya Operasi Hutan Lestari III. Aparat pun mengatakan kepada keluarga Slamet Sumarto bahwa yang bersangkutan dibawa ke Polres Banyumas hanya untuk menjalani pemeriksaan dan tidak untuk ditangkap. Sedang, Darsito ditangkap di daerah Jurang Mangu, tempatnya bekerja sebagai tukang kayu, sore harinya setelah pelaksanaan Operasi Hutan Lestari III di Dusun Kalipagu digelar. Penangkapan Darsito pun tanpa pemberitahuan keluarga sempat membuat khawatir istri dan anak yang bersangkutan. Surat penangkapan dan penahanan kedua tersangka baru diterima pihak keluarga seminggu kemudian. Hal ini bertentang dengan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 21 ayat (3) KUHAP yang menyebutkan : Tembusan surat perintah penangkapan/penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan/penahanan dilakukan.

Upaya Non Hukum atau Non Litigasi
Upaya pertama yang dilakukan adalah penguatan di masyarakat, bahwa terjadinya penangkapan 2 warga tidak hanya menjadi orang per orang tapi permasalahan permasalahan kolektif yang menyangkut rasa keadilan, dan pemanfatan hasil hutan dan pola interaksi warga masyarakat pinggiran hutan dengan hutan disekitarnya. Hal ini menjadi sangat penting, karena menggugah kesadaran untuk melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan harus berasal dari masyarakat itu sendiri terutama masyarakat korban. Dan belajar bersama untuk mengkritisi kebijakan pemerintah adalah cara untuk sadar akan hak warga Negara dan apakah kebijakkan itu berpihak kepada masyarakat atau tidak adalah upaya berkelanjutan yang harus dilakukan.

Upaya selanjutnya merupakan lobi dan kampanye kepada publik bahwa ada kesewenang-wenangan yang dilakukan aparat dalam Operasi Hutan Lestari III. Lobi ini dilakukan melalui hearing (dengar pendapat) dengan anggota DPRD Tingkat II Banyumas mengenai Operasi Hutan Lestari III dan segala permasalahan pemanfaatan hutan. Masyarakat pun mengirimkan surat ke beberapa pihak seperti Komnas HAM, Kapolda Jawa Tengah, Kapolri, DPR RI sampai Presiden yang dimaksudkan untuk memberikan perhatian dan pengawasan dengan wewenang masing-masing terhadap perilaku aparat di lapangan.

Upaya Hukum atau Litigasi
Upaya hukum yang diambil salah satunya dengan menggugat pra peradilan Kapolri cq. Kapolda Jawa Tengah cq. Kapolwil Banyumas cq. Kapolres Banyumas sebagai pihak yang melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 2 orang warga Kalipagu (Tergugat) di Pengadilan Negeri Purwokerto berdasarkan Undang undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang undang Acara Pidana Pasal 77, yang menyebutkan : Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutuskan, sesuai ketentuan yang diatur dalam undang undang ini, tentang : (1) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (2) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyedikan atau penuntutan. Dan pasal 79 yang menyebutkan : “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya”.

Pra peradilan juga berfungsi sebagai kontrol perilaku penyidik dalam hal ini kepolisian agar tetap menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Baca selengkapnya...